Lihat ke Halaman Asli

Eddy Roesdiono

TERVERIFIKASI

Kaliandra (Novel Seru). Episode 1

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Desa Kemiren yang sunyi mendadak gempar. Seorang kakek diserang dan dianiaya sejumlah orang tak dikenal karena sang kakek diduga menyimpan sebuah benda sangat bernilai. Atmosfir desa makin keruh dengan kehadiran seorang mahasiswa antropologi dan seorang wartawati. Ada misteri, intrik dan konspirasi besar berskala internasional di desa terpencil itu.

KALIANDRA pernah dimuat sebagai cerita bersambung pada Harian Republika, 1990.

EPISODE 1

JELAGA

Sebuah desa kecil di Jawa, beberapa belas kilometer dari batas dua propinsi, sudah lewat tengah malam.

Tak ada bulan, sedikit bintang. Terlalu gulita. Teramat sepi. Dingin menyeruak ke dalam daging, menerobos tulang. Rerumputan berbasah embun.

Sepotong jari bergerak cepat, lewat dari belakang telinga ke bagian kanan depan, dari sepasang mata yang menyorot tegang. Beberapa pasang kaki bergerak perlahan, tanpa suara. Sejumlah bayangan hitam menerobos perdu-perdu liar.

“Sudah dekat. Kurangi nyala obor! Sebagian kecilkan, sebagian matikan,” terdengar seutas suara berat memerintah. Wajah orang itu bercoreng moreng jelaga hitam.

Hembusan nafas yang kuat, tapi perlahan menghempas mati dua nyala obor. Beberapa jemari kemudian sibuk memetik daun segar dan membuat semacam dinding di sekeliling obor yang masih menyala. Daun itu diikat oleh akar-akaran di sekeliling bibir obor agak ke bawah, agar tak jatuh tertiup angin.

Cahaya kini redup. Api obor seperti berkelojotan dilingkung daun basah. Sinar obor hanya menyembur ke atas, bebareng dengan jelaga yang menjilati pinggiran daun pelindung nyala obor.

“Lekas,” suara berat itu terdengar lagi, dengan kelebat jari yang memerintahkan agar orang-orang di belakang maju lebih cepat. Semua orang itu, juga berwajah coreng moreng jelaga. Nyaris tak tersisa warna rautnya. Bahkan, ekspresi yang sedikit tegang, rapi tersembunyi di balik belepotan warna arang itu.

Kini, sekitar 50 tapak di depan, sebuah rumah joglo besar berdinding kayu terpampang dalam remang. Secuil cublik yang digantung di tiang melintang hanya mampu membuat orang tahu ada pintu persis di dekat lampu minyak itu, namun tak cukup terang untuk menjelaskan warna pintu itu.

“Di mana kamarnya?” seseorang berbisik.

“Di ruas kanan, agak ke tengah!” seseorang menjawab, tak kalah lirih. Mata si penanya seperti elang mengibas ke kanan. Tampak tajam di balik baluran jelaga.

Segera tiga orang mengendap ke ruas kanan, sementara satu yang lain mengawasi dari kejauhan, dengan obor berdinding daun yang tak habis-habisnya menyemburkan jelaga.

“Jendela terkunci,” desis seorang yang mengendap persis di bawah kamar di ruas kanan tengah.

“Congkel. Tapi, jangan ada suara!” ujar salah seorang yang sedari tadi bertugas memberi perintah.

Sepotong linggis kemudian merangsek pinggiran jendela. Tak banyak derak terdengar. Orang yang memegang linggis melongok ke dalam, lewat jeruji kayu yang memalang-melintangi jendela. Matanya menyapu ruang dalam.

“Ada orang. Tapi bukan dia,” seru pemegang linggis itu pelan.

“Bukan dia? Lalu siapa? Tak mungkin ada orang lain di rumah ini. Perhatikan baik-baik sekali lagi,” kata si pemberi perintah. Pembawa linggis dan seorang lagi melongok. Ia membuka sedikit daun pelindung nyala obor. Jelaganya bertebaran ke dekat wajah. Cahaya lebih terang terhantar ke dalam ruang.

“Sini kulihat,” si pemberi perintah menyingkirkan bahu pembawa linggis dan melongok sendiri. Matanya melotot.

“Bukan dia!” gelegarnya lirih. “Lalu siapa?”

“Seperti bukan orang dari daerah ini. Pakaiannya bagus, berwarna-warni. Ada tas besar berwarna-warni pula di sebelahnya. Ia tidur pulas, jawab seorang, “bagaimana ini?”

Si pemberi perintah berpikir sebentar. “Biarkan dia. Tutup kembali jendela. Yang kita cari pasti berada di kamar lain. Kita masuk lewat pintu belakang. Tutup lagi obormu, tolol!”

Cepat seorang yang terlanjur mengupas daun pelindung obor membetulkan lagi daun itu. Si pemberi perintah kembali mengumbar perintah. Kali ini ia memimpin di depan berjalan mengitari rumah ke arah belakang. Gemerisik kaki menerjang rumput basah.

“Pintu belakang tak terkunci,” si pembawa linggis berseru lirih.

“Langsung masuk,” pemberi perintah mendesah. Pintu mengeliat sedikit, gesekannya menimbulkan lengking kecil. Keempat orang itu masuk satu persatu tanpa suara.

“Kasih lampu!” pemberi perintah menyalak lagi, pelan. “Periksa kamar itu,” telunjuk pemberi perintah mengarah ke depan. Delapan lonjor kaki bergerak ke arah telunjuk itu.

“Itu dia!” pembawa linggis mendesis, “Orangtua yang kita cari ada di sini”

Pemberi perintah merangsek maju, mengamati sejenak sosok yang teronggok di bale-bale kayu dengan penerangan lampu cublik yang sama redupnya dengan cublik di depan rumah. Tanpa suara, ia kemudian mendekati sosok itu; sesosok renta yang jelas-jelas nampak tua dengan tulang pipi yang menonjol seperti gunung dan pipi seperti lembahnya. Rambutnya putih, matanya cekung dan nafasnya berat. Tidurnya sangat pulas.

Pemberi perintah menarik nafas. Kumisnya berdiri, nyaris sama tegang dengan sorot matanya yang melotot. Secepat kilat tangan kanannya bergerak menjemba kerah kain dril baju orangtua itu.

“Bangun, peot!” berangasan sekali suara itu. Orangtua itu tergagap. Matanya berkedip-kedip. Nafasnya seperti mau putus. Tak langsung kesadarannya pulih. Tak pernah sebelumnya ia bangun dengan cara semendadak itu. Lama sekali ia mampu membaca situasi sekelilingnya.

“Aaaa..... pa ini.... siapa.... kalian?” gagap mulut tua itu berkata-kata. Pemberi perintah memandangnya dengan sorot mata kejam. Ia memberi orangtua itu jawaban dengan sebuah hempasan ke bale-bale, dengan suara gedebuk cukup keras.

“Cepat katakan, tua bangka, di mana kau simpan bukti-bukti itu?” hardik pemberi perintah.

“Apa yang kau..... bicarakan itu, ki sanak?” orangtua itu merintih.

“Bukti itu!” si pemberi perintah mendekatkan wajahnya ke wajah orangtua, “Bukti yang sudah kau simpan bertahun-tahun itu. Berikan padaku!” gemeletuk gigi si pemberi pemerintah, dengan ludah membuncah, menciprat di wajah renta.

Orang tua itu berusaha beringsut bangkit. Tapi cepat sebatang besi menghantam dadanya.

“Aduh biyung!......... apa ini......,” kakek itu merintih. Dadanya bergetar. Tak terkira rasa sakit linggis yang menghantam tulang tua itu.

“Cepat katakan. Kalau tidak, kuobrak-abrik seluruh isi rumah ini! Aku tidak sabar lagi”

“Aku...... sung.... guh tak faham..... maksud ki sanak. Mengapa.... malam-malam... ki sanak yang gagah ini masuk rumah orang tua.... untuk mena.... nyakan sesuatu yang aku tidak tahu,” masih merintih orangtua itu, dengan kedua belah tangan mendekap dada. Hidungnya bersusah payah memompa udara.

“Tua bangka banyak mulut,” pemberi perintah meraih kepala kakek itu dan tanpa belas kasihan membenturkan kepalanya ke dinding kayu. Suara tulang tua membentur dinding demikian memilukan. Orangtua itu melolong-lolong, “Ampuuuuun ki sanak. Gusti...... ada apa...... iniiiiii?”

“Bukti itu! Bukti itu! Lekas berikan padaku!” gelegar suara pemberi perintah membahana. Lupa sudah bahwa ia seharusnya menjaga agar suaranya tak menimbulkan gaduh. Kepalan tangannya yang seberat palu godam melibas kepala renta. Orangtua itu terjengkang dan nyaris terlempar dari tempat tidur.

“Ampuuuuuuunnn, ki sanaaaaaak! Biyuuuuuuung!”

“Kubunuh kau..... kubunuh sekarang juga kau. Dan kubakar rumah ini!” kembali suara berat dan keras menggelegar. Ia menyambar linggis dari tangan pembawa linggis. Kini ia adalah seorang pemberi perintah dan pemegang linggis, dengan ancaman kejam di bibirnya.

“Ayo bicara! Ayo!” suaranya lantang, linggis tergenggam mantap di tangan.

“Guuuuustiiiiiiiiiiii!”

“Modar kau, tua bangka!” berayun tangan berlinggis itu.

“Kang! Terlalu gaduh! Bisa didengar orang,” seorang dari empat orang itu memperingatkan. Bersamaan dengan itu, sebuah bayangan, dalam pakaian warna-warni berkelebat mendekat. Tak percaya ia melihat empat orang gagah berpakaian serba hitam sedang bersiap mengakhiri nyawa seorang kakek tua.

“Hentikan!” sebuah suara menerabas.

Cepat keempat orang gagah berbusana hitam itu mendengus sumber suara.

“Siapa kalian? Kenapa menyerang orangtua tak berdaya?” hardik orang muda berjaket cerah, yang muncul dari ruang dalam. Sebuah cublik di tangan.

Tak banyak cakap, secepat angin, tiga orang berbaju hitam bergerak menerjang sang pemuda. Faham ia tak mungkin meladeni tiga orang besar yang beringas itu, ia berlari ke dalam dan menerobos pintu tengah. Sekuat tenaga ia membanting pintu dan tak menyia-nyiakan waktu memasang palang pintu.

Sekuat tenaga pula ia menghambur ke pintu depan dan berteriak.

“Rampoooook..... maling.... bajingan..... tolong.... rampok..... pembunuhan.... rampoooooooook!”

“Celaka, kang! Orang kampung bisa bangun!” satu dari empat orang itu mulai panik.

“Lari.... lari, menyebar!” ini perintah terakhir yang disampaikan sang pemberi perintah. Selanjutnya ia sendiri segera berlari keluar rumah dan menghilang dalam gelap menyusul yang lain-lain. Gedebuk kaki masih terdengar. Linggis dilemparkan ke lantai tanah. Menghantam obor yang masih menyala. Jelaga obor membalut ujung linggis.

Tak lama kemudian, gedebuk orang tiba-tiba makin banyak. Kelap-kelip obor serentak mengitari rumah. Sang pemuda terengah engah memimpin orang kampung masuk rumah.

“Si mbah dianiaya empat orang berbaju hitam. Periksa kamar belakang!”

Berlarian orang-orang itu menyerbu rumah. Sang pemuda terduduk. Nafasnya tersengal-sengal. Orang-orang sibuk mengurus si mbah. Dua orang bergegas ke luar untuk menjemput Pak Mantri. Lalu terdengar pula perkataan bahwa ada darah bertebaran di sarung bantal. Rumah si mbah mendadak ramai dan sibuk dini hari itu. Tapi sama sekali tak tak terdengar rintihan si mbah.

(bersambung)

catatan :

cublik = lampu minyak tanah, biasanya terbuat dari kaleng bekas dan sumbu terbuat dari kain perca.

ki sanak = panggilan untuk orang yang tak dikenal

Pak Mantri = sebutan untuk tenaga medis di desa




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline