Lihat ke Halaman Asli

Eddy Roesdiono

TERVERIFIKASI

Kru Suay Mak (24)

Diperbarui: 13 September 2015   23:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Kru Suay Mak (23) bisa dibaca di sini.

Tanpa Nut, perasaan Mirza sangat tak nyaman. Ke mana Nut dibawa oleh Madam Lawan dan centengnya? Kalau mau menyusul ke Pang Mapha, ke arah mana pula jalannya?

 

Mirza mengemudikan scoopy itu kencang, mengikuti jalan berdebu ke arah yang ia perkirakan sebagai Pang Mapha. Ia sangat berharap bisa ketemu Chon, mahasiswa yang menugasinya dalam proyek gila ini. Ke mana gerangan pemuda itu? Bagaimana cara Mirza menghubunginya? Bukankah kemarin-kemarin Chon bilang ia sudah sampai di Pai, yang berarti tak terlalu jauh dari Mirza. Benar-benar ia tak tahu apa yang harus dilakukan

 

Meski matahari bersinar, udara tetap dingin menusuk. Mirza mulai merasakan makin nyeri di luka sayat parang di lengannya. Ia harus cari dokter, atau setidaknya tempat rawat kesehatan sekelas puskesmas.

 

Setelah sekitar 45 menit bermotor hanya dengan mengikuti intuisi, motor mulai mulai terbatuk-batuk, dan mesinnya langsung mati. Tak perlu ia menduga-duga penyebabnya. Bahan bakar habis. Ia membuka penutup tanki bahan bakar dan ia benar. Motor berhenti di tengah hutan sunyi.

 

Ia standarkan motor di bawah pohon, mencabut kuncinya dan melihat sekeliling.

 

“Bagus! I am somewhere in nowhere,” gumamnya.

 

Tak ada pilihan kecuali melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Rindunya pada Nut, atau kuatirnya ia pada perempuan itu, makin menjadi-jadi. Sungguh ia tak rela kalau terjadi hal buruk pada Nut. Sejam berjalan, Mirza dihadapkan pada dua cabang jalan, ke kanan dan ke kiri. Ini keputusan yang sulit. Mana yang musti diambil?

 

Tiba-tiba ia merasa harus mengambil jalan yang mengarah ke kanan, yang ia ikuti terus meski tak tahu ke mana jalan itu menuju.

 

Beberapa saat kemudian ia mendapati dirinya terdampar di pelataran sebuah wat kecil di antara rerimbunan pohon. Ia melihat kendi yang terletak pada sebuah dudukan di jalan masuk ke wat itu. Ia raih leher kendi dan segera meneguk air. Lega rasanya tenggorakan tersiram air.

 

“Sawadi khap,” tiba-tiba seorang rahib Buddha seumuran Mirza berdiri di belakangnya. Mirza segera melakukan gerakan wai, menyembah dengan kedua belah tangan.

 

“Maaf, saya tersesat. Di mana saya?” tanya Mirza.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline