Lihat ke Halaman Asli

Krisis Pangan Versus Kesejarteraan Para Petani Lokal

Diperbarui: 26 Mei 2024   18:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar 1: Korban Krisis Pangan Global

Pada saat ini dunia tengah dihadapkan pada ancaman krisis pangan parah. Berbagai faktor sebab, mulai dari perubahan iklim, peningkatan populasi, bencana alam, krisis ekonomi, konflik geopolitik, hingga gangguan rantai pasok telah berkomplikasi sedemikian rupa hingga menciptakan situasi yang sangat mengkhawatirkan. Jutaan orang di berbagai belahan dunia terancam kelaparan dan kekurangan gizi dengan konsekuensi yang luas di sektor-sektor kesehatan, stabilitas sosial, pendidikan, dan ekonomi global.

Ukraina adalah salah satu lumbung pangan dunia. Oleh sebab itu, peperangan di Ukraina saja sudah menjadi bagian dari pemicu krisis ini. Disrupsi pasokan gandum dan pupuk dari Ukraina telah berdampak pada negara-negara lain; terutama di Afrika dan Timur Tengah yang masih bergantung pada impor pangan. 

Belum lagi peperangan di Timur Tengah yang belum lama ini terjadi; khususnya antara Iran dan Israel. Demikian pula halnya dengan fenomena-fenomena cuaca ekstrim akibat dari perubahan iklim juga dapat memperburuk keadaan; menyebabkan kekeringan & banjir yang merusak atau setidaknya menurunkan hasil panen secara signifikan di berbagai wilayah.

Apakah Indonesia Terkena Dampaknya?

Karena pada saat ini dunia saling terhubung ke dalam sistem global yang kompleks, maka kita pun (Indonesia) terkena dampaknya. Krisis ini, besar atau kecil, akan menyebabkan kelangkaan dan lonjakan harga pangan di seluruh dunia hingga membebani ekonomi rumah tangga, menurunkan daya-beli, dan juga inflasi. 

Sehubungan dengan hal ini, di Indonesia saja, sebagai ilustrasi, BPS mencatat terjadinya inflasi harga pangan sebesar 1.26% pada tahun 2022. Sementara Badan Pangan Nasional menyebutkan bahwa harga beras naik hingga 14.08% dan harga gula juga naik 20% pada tahun 2023 (Upland, 2024). Jika situasi ini terbiarkan sekian lama tanpa upaya-upaya perbaikan yang signifikan, maka cepat atau lambat (potensi) kerawanan pangan dan gejolak sosial akan muncul. Cukup membahayakan.

Solusi Krisis Pangan di Indonesia

Karena krisis ini terkait (kolaborasi dan koordinasi) dengan berbagai pihak, maka potensi solusinya pun perlu melibatkan mereka secara proporsional. Ada pun beberapa potensi solusi itu adalah upaya-upaya: (1) penurunan faktor-faktor penyebab perubahan iklim [dalam jangka panjang]; (2) peningkatan produksi pangan (intensif dan ekstensif); (3) introduksi dan penguatan substitusi pangan [sebagai pengganti bahan pangan pokok]; (4) pencarian [penelitian, pengembangan, dan promosi] sumber-sumber pangan baru (yang beragam); (5) penurunan faktor-faktor pemborosan pangan; (6) membangun insfrastruktur pendukung ketahanan pangan (terutama jalan, jembatan, gudang penyimpanan, pasar & pelelangan, fasilitas penelitian dan pengembangan, pusat distribusi, sistem informasi persediaan dan pasar, bendungan dan irigasi); (7) melindungi [membeli] lahan-lahan produktif pertanian para petani; dan (8) dukungan pemerintah (terutama permodalan, pupuk, obat, dan bibit) bagi para petani.

Seiring dengan solusi-solusi itu, sejak beberapa tahun lalu muncullah program food-estate; konsep pengembangan pangan yang terintegrasi (mencakup pertanian, perkebunan, dan peternakan) di sebuah kawasan. Program yang tercakup sebagai salah satu program strategis nasional (PSN) 2020-2024 ini bertujuan umum untuk mengamankan ketersediaan, akses, dan konsumsi pangan yang berkualitas bagi masyarakat berdasarkan produksi dalam negeri.

Peran & Nasib Para Petani Lokal

Solusi-solusi di atas beserta program food-estate-nya tentu saja memerlukan peran sentral para petani. Tanpa mereka, solusi-solusi itu tidak akan berjalan. Peran dan jasa mereka memang sudah sangat besar bagi bangsa ini sejak dahulu; menyediakan bahan pangan bagi kita semua. Katanya, Indonesia adalah negara agraris; negaranya para petani. Meskipun demikian, sayangnya, terutama para petani kecil dan buruh tani, pengorbanan mereka belum sebanding dengan tingkat kesejahteraannya. 

Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika sebagian dari mereka telah menjual lahan-lahan produktifnya hingga luas lahan pangan secara keseluruhan di Indonesia semakin berkurang (beralih fungsi), jumlah petani menurun (beralih profesi), sedangkan jumlah buruh tani meningkat; berkonsekuensi pada tingkat pengangguran dan kemiskinan yang meningkat. 

Kesetiaan dan kecintaan para petani terhadap profesinya tentu saja tidak diragukan lagi, tetapi nampaknya, situasinya (secara keseluruhan) selama ini membuat mereka frustasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline