Lihat ke Halaman Asli

Solusi Kreatif bagi Dinamika Konflik di Laut China Selatan (LCS) terhadap Kedaulatan Indonesia

Diperbarui: 11 Mei 2024   20:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar 1: Wilayah Perairan Laut China Selatan/https://clsgatorprints.com/1892/features/what-is-unclos-and-the-9-dash-line/

Sejak beberapa dekade ini, situasi di Laut China Selatan (LCS) semakin memanas; sering terjadi konflik & ketegangan yang melibatkan beberapa negara. Karena wilayah ini sangat produktif di sektor perikanan tangkap dan juga telah ditemukan sumur-sumur minyak dan gas di dalamnya, maka potensi konflik dan ketegangan pun semakin besar. Catatan mengenai fakta ini dapat ditemukan di berbagai literatur dan media. Di lain pihak, sebagai negara yang berlokasi di area ini, tentu saja Indonesia pernah, sedang, dan akan terkena dampaknya. Oleh sebab itu, Indonesia perlu bersikap tegas; mempertahankan kedaulatan wilayahnya, menginventarisir dan mengelola potensi aset-aset yang terdapat di dalamnya, dan mengantisipasi potensi ancaman dan konflik yang muncul & berkembang di wilayah ini.

Letak Geografis

LCS merupakan wilayah perairan yang luas, strategis, dan terletak di antara regional Asia Tenggara dan Asia Timur; Pasifik Barat (Gambar 1). Wilayah yang sering digunakan sebagai prasarana transportasi dunia (bolak-balik) oleh kapal-kapal yang berlayar melalui Samudera Indonesia ke Samudera Pasifik ini dikelilingi oleh beberapa negara; China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Wilayah perairan yang juga mencakup beberapa pulau dan terumbu karang di dalamnya ini memiliki luas sekitar 3.5 juta km2, dan kedalaman yang bervariasi dengan rata-rata sekitar 1200 meter.

Potensi Ekonomi

Selain menjadi prasarana transportasi laut dunia yang penting dan strategis, wilayah ini juga dikenal sangat produktif di sektor perikanan tangkap beserta biota lautnya. Perairan ini merupakan habitat utama bagi sekitar 1500 spesies ikan. Tuna, makarel, croaker, teri, udang, dan kerang adalah beberapa spesies yang banyak ditemui di perairan ini. Dengan demikian, tidak mengherankan jika wilayah ini dapat menghasilkan 5 juta ton ikan pertahun dengan tambahan 5 hingga 6 juta ton pertahunnya jika sistemnya lebih efisien (World, 2019). Belum lagi dengan potensi ekonomi lainnya yang berasal dari temuan-temuan sumur-sumur minyak dan gas yang terdapat di dalamnya. China saja (dalam hal ini China National Offshore Oil Corporation) telah menemukan ladang minyak dengan kapasitas 100 juta ton di bagian timur wilayah ini. Ladang ini menghasilkan (rata-rata) 7680 barel minyak mentah dan 0.52 juta kaki kubik gas alam perhari (Erkalan, B., 2024). Sementara itu, di lokasi yang cukup dekat (Kepulauan Natuna), sudah terdapat 17 wilayah kerja (WK) industri migas milik Indonesia. Tujuh di antaranya sudah berproduksi, sementara 10 lainnya masih dalam tahap eksplorasi dengan perkiraan produksi minyak sekitar 7 hingga 15 ribu barel perhari (ESDM, 2016).

Masalah di Wilayah Perairan LCS

Menjadi prasarana transportasi dunia yang padat & strategis dan berpotensi ekonomi yang tinggi menyebabkan perairan LCS memiliki daya-tarik yang luar biasa. Konsekuensinya adalah terjadi gesekan, ketegangan, konflik, ancaman keamanan, atau masalah di wilayah itu. Sebagian dari (contoh) masalah itu adalah: (1) pencurian ikan (kapal-kapal China/Vietnam didapati mencuri ikan di ZEE Indonesia); (2) pelanggaran kedaulatan negara (kapal sipil/militer China/Vietnam didapati memasuki [apa pun tujuannya] wilayah Indonesia tanpa ijin); (3)  ancaman keamanan & ketegangan regional ([a] kapal non-sipil China/Vietnam melindungi kapalnya yang mencuri ikan sambil mengusir kapal nelayan Indonesia dan mengirimkan peringatan ke kapal Indonesia yang bertugas, [b] China mendeklarasikan kebijakan nine-dash line secara sepihak sebagai batas-batas wilayah perairannya, dan [c] China menggali sumur minyak & gas, membuat pulau buatan, melakukan aktivitas militer, dan melarang kapal-kapal asing menangkap ikan di Laut China Selatan berdasarkan kebijakan nine-dash line); dan 4)  pelanggaran lainnya (China menggali sumur-sumur minyak dan gas di wilayah LCS yang belum tentu secara syah miliknya dan meminta Indonesia untuk menghentikan pengeboran sumur-sumur minyak dan gasnya di Natuna karena Beijing mengklaim bahwa eksplorasi itu dilakukan di wilayah China (BBC, 2021)).

Formulasi Masalah 

Untuk membuat solusi (secara utuh) atau sekedar mengurangi dampak negatifnya (parsial), diperlukan pemahaman yang baik dan luas atas masalahnya. Baru kemudian diformulasikan. Formulasi itu akan lebih baik jika dilengkapi dengan diagram; agar logikanya cepat dipahami dan idenya mudah dikomunikasikan. Sehubungan dengan pentingnya hal ini, maka gambar 3 adalah formulasi permasalahan di LCS dalam bentuk diagram sebab-akibat dari perspektif Indonesia.

Pada dasarnya, masalah di LCS bermula ketika sejumlah besar populasi menyebabkan peningkatan pada variabel kebutuhan ekonominya. Karena itu, dilakukanlah pengeboran minyak & gas, penangkapan ikan, pengembangan pulau-pulau buatan, dan beberapa aktivitas militer di wilayah tersebut. Selain itu, untuk memuluskan aktivitas-aktivitas ini, dirancanglah kebijakan sepihak nine-dash line sebagai penguat, padahal perairan di LCS itu merupakan bagian dari prasarana transportasi dunia yang sangat penting, padat, dan strategis. Tentu saja aktivitas-aktivitas ini mendatangkan pendapatan yang besar bagi China untuk menopang kebutuhan ekonominya yang juga besar dalam jangka panjang. Situasi yang sudah nyaman, stabil, dan sistemik ini tentu saja akan terus dipertahankan.

Sebagian dari aktivitas-aktivitas China di atas tentu saja (berpotensi) menghambat kelancaran arus transportasi laut dunia dan juga merugikan negara-negara tetangganya; termasuk Indonesia. Di lain pihak, kebijakan sepihak nine-dash line itu juga tidak sejalan dengan UNCLOS 1982 dan bahkan menabrak batas-batas wilayah perairan beberapa negara; termasuk Indonesia di Kepulauan Natuna. Meskipun peran China nampak sangat dominan di LCS, dalam perspektif  Indonesia, persoalan di wilayah ini bukan karena itu saja, tetapi juga disebabkan karena pencurian ikan oleh kapal-kapal asing non-China beserta masalah lainnya.

Potensi Solusi Permasalahan 

Dengan spirit pemahaman atas masalahnya secara menyeluruh, proses penyelesaian yang berkelanjutan, dan semangat kolaborasi dengan berbagai pihak untuk menuntaskan masalahnya, maka berikut ini adalah usulan (potensi) solusi umum bagi konflik di atas: (1) penerapan UNCLOS 1982 dan penyelesaian batas-batas wilayah peraian antar-negara; dan (2) Patroli (pengawasan) Indonesia & kerja sama. Solusi umum bagi masalah ancaman konflik kedaulatan ini (di dalam Gambar 3) dapat dijabarkan ke dalam butir-butir (detil) seperti berikut:

Solusi internal (Nasional) Indonesia:

  • Penguatan moral dan idiologi bangsa.
  • Pemberian pelatihan dan seminar mengenai hukum laut, hubungan internasional, dan konvensi PBB mengenai hukum laut (UNCLOS 1982) bagi institusi-institusi di Indonesia yang tugasnya terkait keamanan laut dan batas-batas wilayah perairan laut.
  • Penyamaan persepsi mengenai (status-status) garis pantai, titik-titik batas (base-points), laut teritorial, dan wilayah ZEE Indonesia bagi institusi-institusi yang tugasnya terkait keamanan laut dan batas-batas wilayah perairan laut.
  • Pengkoordinasian dan kerja sama (antar-lembaga di Indonesia yang terkait dengan keamanan laut dan batas-batas wilayah perairan laut) patroli keamanan di wilayah perbatasan laut untuk mencegah kapal-kapal asing masuk wilayah perairan Indonesia tanpa ijin sekaligus melindungi kapal-kapal nelayan Indonesia yang mencari ikan.
  • Menggalakkan penelitian, eksplorasi, dan eksploitasi aset-aset ekonomi di wilayah perairan (di sekitar perbatasan yang berpotensi).
  • Penyiapan anggaran pendukung aktivitas-aktivitas keamanan dan keselamatan di wilayah perbatasan laut: pembelian kapal-kapal patroli, penyiapan tambahan personel, penelitian, pelatihan, dan lain sejenisnya.

Solusi Kolaborasi Indonesia dengan Negara & Lembaga Lain:

  • Berinisiatif,  meneruskan  (proses perundingan), dan menyelesaikan konflik titik-titik batas-batas wilayah perairan dengan negara-negara tetangga (terutama ASEAN) berdasarkan hukum laut & UNCLOS 1982.
  • Berkolaborasi dan berkoordinasi dengan negara-negara tetangga (terutama ASEAN) dan PBB untuk menghimbau (mendesak) China agar mengakui (menerapkan) hukum laut internasional & UNCLOS 1982 di LCS.
  • Berkolaborasi dan berkoordinasi dengan negara-negara tetangga (terutama ASEAN) dalam melakukan patroli bersama untuk mencegah peristiwa pelanggaran kedaulatan, pencurian ikan, penyelundupan barang terlarang & manusia, dan lain sejenisnya.

Dengan butit-butir solusi ini diharapkan: (1) kedaulatan bangsa Indonesia tetap terjaga; (2) banyak pihak di Indonesia yang memahami hukum laut internasional & UNCLOS 1982; (3) aset-aset ekonomi terselamatkan dan termanfaatkan secara optimal; (4) arus transportasi laut di LCS tidak terganggu; (5) hubungan antar-negara tetap harmonis; dan (6) ketertiban dan keamanan dunia tetap terjaga.

Catatan Akhir

Masalah di LCS tergolong besar dan sangat kompleks, banyak pihak yang terlibat dan kepentingan yang saling bertabrakan di dalamnya. Masalah ini hanya dapat dituntaskan dengan pemahaman yang sama, niat yang sama, tulus, kuat (serius), dan berkelanjutan, menekan ego masing-masing demi kepentingan bersama, perundingan, negosiasi, dan diplomasi (berkolaborasi dengan berbagai pihak), dan bersedia “berkorban” (mengalah) sesuai dengan aturan yang ada (resmi dan disepakati bersama). Diperlukan banyak waktu dan pengorbanan. Pertanyaannya adalah adakah pihak yang bersedia berkorban untuk itu? Oleh sebab itu, sebenarnya, jika tidak ada keajaiban, masalah ini mustahil dapat dituntaskan (100%) dengan cara parsial, apalagi pada masalah ini juga terindikasi adanya unsur sistemik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline