SETELAH postingan terakhir pada 20 Juli 2015, akhirnya saya menulis lagi di Kompasiana. Ya, nyaris tak ada waktu untuk diri sendiri, apalagi menyediakan sedikit waktu di depan komputer untuk menulis sebuah artikel di blog kesayangan kita ini.
Waktu dan energi saya benar-benar habis terkuras untuk bekerja keras. Tak kenal siang atau malam. Beberapa waktu belakangan saya berusaha untuk bekerja cerdas, kerja keras, dan segiat mungkin, sampai-sampai enggan merebahkan kepala barang satu-dua jam di atas kasur. Saya merasa sangat rugi manakala tertidur sampai tiga jam. Tubuh ini tampaknya mulai menyerah lantaran tak sanggup dipaksa bekerja melampaui kemampuannya. Tapi tak ada pilihan lain selain memaksa raga kurus kerempeng ini. Apa daya, sudah bekerja keras saja masih kepayahan, apalagi bila sedikit bermalas-malasan.
Kenapa begitu? Entahlah, apakah karena perekonomian negara kita sedang merosot sehingga berdampak pada melorotnya daya beli masyarakat, atau karena persaingan bisnis yang semakin tak sehat gara-gara kesembronoan para pemimpin - terutama di daerah - dalam mengurus dan menata negeri dan rakyatnya.
Jika persoalannya adalah kondisi makro ekonomi kita sedang memburuk, setidaknya kami sebagai masyarakat masih memiliki harapan dalam hati dan keyakinan bahwa ada secercah cahaya di depan sana. Kami bisa bertahan dalam situasi perekonomian yang memburuk itu dengan berbagai strategi sampai situasinya membaik.
Tetapi situasi yang sedang kami hadapi di Batam belakangan ini, terutama kami sebagai pelaku usaha ritel (toko kelontong), bukan semata karena kondisi ekonomi makro yang tidak bersahabat. Hemat saya, situasi ini diakibatkan oleh kesembronoan para pemimpin dalam menata bisnis ritel (minimarket), terutama jarak antar-minimarket yang terlalu dekat dan jor-joran pemberian izin kepada dua raksasa ritel nasional. Asal tahu, dua musuh bebuyutan itu tengah menginvasi Pulau Batam, Kepulauan Riau. Konon kabarnya, satu di antara "dua sekawan" itu saja membuka hingga 150 gerai di Batam. Entah yang satunya lagi membuka berapa banyak gerai.
Saya sendiri tak terlalu mempersoalkan berapa banyak gerai yang dibuka dua raksasa itu. Bukankah setiap warga negara Indonesia berhak menjalankan usaha? Tapi persoalannya adalah jarak yang terlalu rapat dengan usaha toko kelontong yang telah kami lakoni sebagai satu-satunya sumber penghidupan. Kami dikepung dari kiri-kanan dan depan. Di kanan ada I Mart, di kiri ada A Mart, di depan ada A Mart, dan kira-kira tiga ratus meter dari situ ada A Mart lagi. Lalu kira-kira 200 meter di sisi kanan kami terdapat dua gerai A Mart dan satu gerai I Mart. Dalam radius kurang dari 500/600 meter dari posisi kami terdapat lima gerai A Mart dan dua gerai I Mart. Belum termasuk sesama kami pemain ritel lokal/semi tradisional berjumlah belasan atau mungkin puluhan gerai.
Jadi, situasi yang terjadi saat ini adalah KAMI TERPAKSA HARUS SALING MEMBUNUH! Pada akhirnya, hanya peritel berkantong tebal yang bakal mampu bertahan. Kami yang harus merayap ketika memulai bisnis ini, maju dengan modal pas-pasan plus nekat melepas profesi sebagai karyawan, tampaknya bakal tersingkir.
Asal tahu, sebelum dikepung seperti sekarang, bisnis kami tergolong sehat. Semua tagihan lancar jaya, kendati sesekali harus bermain petak-umpet dan tarik-ulur dengan para sales. Saat ini, kami tak bisa bermain petak-umpet seperti itu lagi. Dengan omzet yang merosot lebih dari 50 persen, tak ada lagi lubang persembunyian bagi kami. Maka, situasi yang terjadi sekarang adalah menyampaikan kondisi real secara jujur kepada sales yang menagih. Apabila dia tak mau mengerti, maka perang mulut tak terhindarkan. Ujung-ujungnya, perusahaan distributor enggan mengirimkan produknya kepada kami dan ini semakin memperparah kondisi.
Saya ingat ketika Pak Jokowi masih menjabat Walikota Surakarta, konon Beliau menolak memberikan izin kepada minimarket beroperasi di wilayah tersebut. Sekarang Pak Jokowi telah menjadi Presiden Republik Indonesia dengan jangkauan kekuasaan hingga seluruh pelosok negeri ini. Tentu kami tak meminta Pak Presiden untuk melarang total dua peritel nasional itu. Kami hanya meminta agar ada pengaturan yang MASUK AKAL. Sebab, menurut saya, kehadiran para peritel kelas nasional itu tidak saja bakal membunuh kami yang kecil-kecil ini, tetapi mereka pun saling membunuh.
Selain ingatan mengenai sikap tegas Pak Jokowi, saya juga menemukan artikel mengenai pendapat Pak Wapres Jusuf Kalla mengenai masalah ini. Kata Pak JK, "Satu minimarket buat mati 20 warung." Dikutip Merdeka.com pada Desember 2013 silam, Pak JK meminta para Kepala Daerah tak mengobral izin minimarket. Katanya; "Minimarket di mana-mana muncul tapi warung mati. Jangan sembarang kasih izin, satu minimarket buat mati 20 warung. Tidak salah itu, tapi jangan tinggalkan toko-toko kecil. Izin beri toko harus diperbaiki."
Walah, kok persoalan remeh temeh seperti ini pun lapornya sampai ke Presiden dan Wakil Presiden segala. Apa tak ketinggian tuh? Bukankah di daerah ada wakil rakyat, ada gubernur dan walikota pula? Mau bagaimana lagi? Satu-satunya harapan hanya pada Presiden dan Wapres... karena kami tidak melihat sikap bijak para pemimpin dan wakil rakyat di daerah. Buktinya seperti yang sudah dipaparkan di atas. Peritel kecil di daerah-daerah lain di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, tentu sudah lebih dahulu mengalami kondisi yang kami hadapi saat ini. Itu sudah membuktikan bahwa hanya Presiden dan Wapres yang bisa diharapkan menyelesaikan persoalan remeh-temeh ini.