Lihat ke Halaman Asli

Eddy Mesakh

WNI cinta damai

Polri, Pahamilah Pikiran dan Isi Hati Rakyat

Diperbarui: 20 Juli 2015   07:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ini baru polisi (sumber: http://beritacenter.com)"][/caption]KEPOLISIAN Republik Indonesia (Polri) terus dihujat, terutama melalui media sosial dan kolom komentar pada pemberitaan terkait. Sebagai pelindung/penjaga masyarakat, sejatinya kehadiran Polri disyukuri, bukan malah dibenci. Mengapa masih banyak warga negara menghujat pengayomnya?

Bagaimana sebaiknya Polri bersikap agar bisa mengambil hati masyarakat Indonesia? Polri dan setiap anggota Polri perlu memahami bagaimana masyarakat memandang mereka. Ini penting agar Polri dapat meraih kembali legitimasinya. Bila hari-hari ini kita menemukan begitu banyak opini publik memandang negatif terhadap Polri, itu tak lain karena sikap dan perilaku (oknum?) Polri sendiri. Pendekatan kekuasaan dan penerapan hukum yang kaku tak lagi relevan di zaman teknologi informasi, pers bebas, dan hebatnya kekuatan media sosial.

Kekesalan terhadap Polri ditumpahkan masyarakat melalui media sosial hingga komentar pada berita-berita terkait. Contohnya komentar pedas berikut ini; “Apa-apaan ini, masak setiap pengaduan ke polisi oleh pihak yg menguntungkan polisi selalu ditetapkan sebagai tersangka. Harus dibentuk lembaga yang menyelidiki institusi polisi agar tidak menimbulkan kesan terjadinya kriminalisasi.” Komentar ini terkait penetapan tersangka oleh Bareskrim Polri terhadap dua komisioner Komisi Yudisial, Suparman Marzuki dan Taufiqurrahman, karena dianggap telah mencemarkan nama baik Hakim Sarpin Rizaldi.

Perhatikan juga ketika Polri mengimbau masyarakat agar membuat laporan polisi manakala terjadi tindak pidana atau pelanggaran hukum. Diingatkan.Pentingnya.Membuat.Laporan.ke.Polisi. masyarakat justru memilih mengumbarnya di media sosial karena merasa repot dan berbelit-belit bila lapor polisi. Bahkan tak sedikit yang dicuekin.

Penulis sendiri pernah mengalaminya. Pernah suatu ketika berhasil menangkap maling (tepatnya pengutil) di toko, diserahkan kepada polisi lengkap dengan barang bukti. Petugas menerima laporan dan menyuruh datang lagi besok pagi. Ketika datang paginya, maling itu sudah raib dari kantor polisi. Dengan enteng seorang petugas menjawab, “mungkin dia kabur lewat loteng.”

Ketika ada lagi pengutil tertangkap, kami terapkan aturan sendiri, yakni meminta bayaran sepuluh kali lipat dari harga barang yang dicuri. Praktik seperti ini dilakukan juga oleh para pemilik toko lainnya. Padahal ini termasuk tindakan main hakim sendiri dan tentu saja melanggar hukum. Tetapi, belakangan kami tak lagi main hakim sendiri, melainkan melaporkan kepada Ketua RW agar pelakunya dinasihati. Jika pelakunya anak-anak, praktik “main hakim sendiri” kembali diterapkan dengan cara menghukum pelaku membersihkan halaman lalu mengantar pulang ke orangtuanya agar dinasihati. Persoalan selesai!

Lalu, bagaimana sebaiknya Polri bersikap agar bisa mengambil hati rakyat Indonesia? Malcolm Gladwell dalam bukunya; “David and Goliath” khususnya bagian ketiga tentang “Batas-batas Kekuasaan” menceritakan bagaimana seorang polisi bernama Joanne Jaffe melakukan pendekatan terhadap masyarakat ketika menjabat Kepala Biro Perumahan Kota di kawasan Brownville, New York City. Ini adalah kawasan kumuh dan miskin, terletak di bagian timur Brooklyn, yang dihuni sekitar seratus ribu orang dan terkenal sebagai ‘sarang penjahat’. Inilah kota yang melahirkan dua juara dunia tinju; Mike Tyson dan Riddick Bowe.

Dalam menghadapi para pelaku kriminal, Jaffe sama sekali tidak menggunakan pendekatan kekuasaan. Dia melakukan hal sebaliknya, tetapi sebelumnya dia telah menginventarisir nama-nama para kriminal, paling tidak yang pernah sekali tertangkap polisi. Jaffe menjalankan program bernama J-RIP, Juvenile Robbery Intervention Program (Program Intervensi Rampok Remaja). Telah banyak upaya pendekatan terhadap keluarga para kriminal tetapi selalu mendapat penolakan. Seisi kota itu sangat membenci polisi  

Jaffe tak hilang akal. Ketika hari Thanksgiving, Jaffe menghadap atasannya, meminta duar ribu dollar untuk membeli 125 kalkun bagi 125 keluarga yang terdapat daam ‘daftar hitam’ kepolisian. Malam itu, dengan sebuah mobil boks berpendingin, para polisi berkeliling dari rumah ke rumah membagi-bagikan kalkun beku. Dalam kantong kalkun itu terdapat brosur bertuliskan; “Dari keluarga kami untuk keluarga Anda, Selamat Thanksgiving.”

Jika sebelumnya para polisi bahkan tak diperkenankan masuk rumah, kali ini justru Jaffe dan timnya disambut hangat. “Kami cuma mau bilang, Selamat Thanksgiving. Lalu, ‘Ayo, silakan masuk!’ Sambil menarik kami masuk, lalu, Johnnie, ada polisi! Lalu ada banyak orang lari kesana-kemari, saling peluk dan menangis.” “Saya selalu mengatakan hal yang sama; ‘saya tahu kadang kalian bisa benci polisi. Saya mengerti itu. Tapi saya cuma ingin kalian tahu, biarpun kelihatannya kami mengganggu dengan mengetuk pintu kalian, kami peduli, dan kami benar-benar ingin kalian bisa merayakan Thanksgiving.’”

Kepada Gladwell, Jaffe menjelaskan bahwa dirinya sangat terobsesi bertemu para keluarga pelaku kriminal karena dia tidak menganggap polisi di Brownsville dipandang punya legitimasi. Dan legitimasi itulah yang ingin direbut oleh Jaffe melalui program J-RIP. Sebab, menurut Jaffe, tidak mungkin menyadarkan para remaja yang sudah mencuri dan merampok, sementara polisi jugalah yang menjebloskan ayahnya, abangnya, atau sepupunya ke penjara. Maka, polisi perlu meraih kembali rasa hormat dari masyarakat dengan pendekatan humanis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline