Lihat ke Halaman Asli

Eddy Mesakh

WNI cinta damai

Biaya Tiga Persen Itu Sering Gagalkan Transaksi Non Tunai

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SEBUAH city car berwarna merah parkir persis di depan toko kami. Sepasang suami-istri turun dari mobil, langsung melangkah memasuki toko. Sang suami lenggang kangkung, tangan kanannya memegang kunci mobil, sedangkan istrinya menggendong seorang anak perempuan kira-kira berumur dua tahunan.

Sang suami mengenakan celana pendek krem, kaus putih berkerah, dan kacamata minus (?) bertengger di batang hidungnya yang tak terlalu mancung. Istrinya yang berkulit putih dan cantik, membalut tubuh dengan kaus putih berlengan tigaperempat dan jeans biru ‘setengah tiang’. Dari penampilan dan busana yang dikenakan, keduanya menggambarkan sebuah keluarga mapan di usia muda. Taksiran saya, pasangan suami-istri ini berada di kisaran umur akhir 20-an atau awal 30-an.

Saat melintas di depan meja kasir, suaminya bertanya, “bisa gesek?”  

“Bisa,” jawab petugas kasir kami menjawab sambil menganggukkan kepala. “Tapiii....” Kasir tak sempat menyelesaikan penjelasannya karena suami-istri itu sudah berlalu untuk mengambil keranjang. Kira-kira 20 menit kemudian, keduanya sudah berdiri di depan kasir dengan belanjaan sekeranjang penuh. “Minta susu formula ..... (merek susu), 800 gram platinum rasa madu. Dua kotak ya,” kata si istri kepada kasir.

Kasir menghitung sekeranjang belanjaan itu, kemudian menyebutkan nilainya; “sekian...sekian...” Si suami membuka dompet dan mengeluarkan kartu warna kuning emas, menyerahkannya kepada kasir. Nah, sambil menerima kartu, si kasir kembali menyampaikan penjelasan yang tertunda sebelumnya, “kena biaya tiga persen, Pak!”

Mendadak pria itu berbicara dengan suara cukup tinggi. “Kok kena tiga persen sih?” ujarnya sembari menarik kembali kartunya. Wajahnya memerah. “Nggak jadi, Mah...kena tiga persen, katanya,” kata dia kepada sang istri yang berdiri persis di sisi kirinya sambil menggendong putri mereka. “Kenapa nggak bilang dari awal,” omel dia.

“Tadi mau kubilang, tapi Bapak sudah...” Suami-istri itu tak peduli lagi dengan penjelasan kasir dan pergi begitu saja meninggalkan belanjaan yang sudah berpindah ke dalam kantong plastik.

Saya, yang sore itu duduk di pintu masuk, menyaksikan ‘drama’ jelang akhir tahun 2014 tersebut dari awal sampai akhir. Sedikit kesal oleh ‘ulah’ pasangan suami-istri tersebut, karena kami (saya dan istri) juga sering dikenakan biaya seperti itu ketika bertransaksi menggunakan kartu kredit. Tak hanya kartu kredit, beberapa kali kami juga kena biaya antara 2,5 – 3 persen kala membayar dengan kartu ATM/debet.

Tapi kisah di atas bukan satu-satunya peristiwa tak mengenakkan yang kami hadapi hampir dua tahun terakhir sejak toko (minimarket) kami memasang mesin EDC (Electronic Data Captured) alias mesin gesek itu. Selain kasus-kasus pembatalan transaksi gara-gara dikenai biaya tambahan tiga persen, tak sedikit calon pembeli memutuskan untuk membayar tunai jika membawa cukup uang tunai. Ada juga yang – mungkin karena keberatan tetapi malu hati – memilih menitip belanjaannya lalu pergi tarik tunai di ATM untuk menebus belanjaan yang telah dipilih.

Sejujurnya saya sama sekali tak paham mengapa persoalan seperti itu sering muncul. Masalahnya saya sendiri sedang di luar kota selama beberapa bulan ketika pihak bank memasangnya di toko kami, sehingga kurang memahami bagaimana aturan mainnya. Tapi dari penjelasan istri saya, dirinya sepakat menerima tawaran dari sebuah bank untuk pemasangan mesin EDC demi menunjang usaha ritel kami, karena memang cukup sering calon pembeli bertanya; “bisa gesek?”  

 

Sudah dilarang

Lama-lama saya kesal juga lantaran sering dikomplain dan banyak calon pembeli membatalkan transaksi non tunai menggunakan mesin gesek itu. Padahal, sekali lagi, kami sendiri tak pernah mempersoalkan ketika dikenakan biaya serupa saat berbelanja.

Lucu juga sebenarnya, karena setelah hampir dua tahun baru saya melihat persoalan itu sebagai masalah serius. Saya pun bertanya kepada istri, kenapa harus dikenakan biaya tiga persen? Apakah toko-toko lain yang memiliki bisnis serupa dengan kami tak mengenakan biaya itu? Istri saya menjelaskan bahwa biaya tersebut ditetapkan oleh bank yang meminjamkan mesin EDC itu.

“Bisa nggak kita bilang ke bank agar biaya tiga persen itu dihapus?” tanyaku.

“Nggak bisa lah... kalau nggak di-charge seperti itu, dari mana bank dapat untung?” jawab istri.

Penasaran, saya kemudian ‘bertanya’ kepada Om Google yang serba tahu itu. Jawaban Om Google bikin saya terkejut. Saya baru tahu kalau tambahan biaya tiga persen itu istilahnya biaya transaksi alias surcharge. Istilah surcharge ini sendiri sebenarnya tak asing di telinga saya, tetapi untuk konteks biaya tambahan BBM pesawat terbang alias fuel surcharge yang sempat ramai diberitakan beberapa tahun lalu.

“Dasar manusia primitif,” saya mengumpat diri sendiri. Pasalnya sudah hampir dua tahun kami melanggar aturan dari Bank Indonesia (BI). BI sudah melarang praktik tersebut sejak tahun 2009 dan itu berarti sejak kami belum membuka toko. Waduh! Kami cukup beruntung karena tak ada konsumen yang mengadukan perbuatan kami.

Ya, BI telah melarang praktik penarikan biaya transaksi itu melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 11/11/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (AMPK) yang telah diubah menjadi PBI No 14/2/PBI/2012 dengan perihal sama. Larangan itu terdapat pada Pasal 8 ayat (2) dan (3) PBI tersebut.

BI telah menjelaskan secara rinci dalam dokumen berjudul; Kodifikasi Peraturan Bank Indonesia Non Bank Penyelenggaraan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) Tahun 2013. Di sana dijelaskan ayat  (2) acquirer (bank dan/atau penerbit kartu kredit) wajib menghentikan kerja sama dengan pedagang yang melakukan tindakan yang dapat merugikan. Termasuk dalam pengertian ”tindakan yang merugikan” adalah tindakan pedagang yang merugikan Prinsipal, Penerbit, Acquirer dan/atau Pemegang Kartu, antara lain pedagang diketahui telah melakukan kerjasama dengan pelaku kejahatan (fraudster), memproses penarikan/gesek tunai (cash withdrawal transaction) Kartu Kredit, atau memproses tambahan biaya transaksi (surcharge).

Ayat (3) Acquirer wajib melakukan tukar-menukar informasi atau data dengan seluruh Acquirer lainnya tentang pedagang yang melakukan tindakan yang merugikan dan mengusulkan pencantuman nama pedagang tersebut dalam daftar hitam pedagang (merchant black list). Kewajiban tukar menukar informasi dan data antar Acquirer, baik oleh Acquirer Kartu Kredit maupun Acquirer Kartu Debet, tentang nama dan data pedagang ditindaklanjuti dengan mengusulkan nama pedagang dalam suatu daftar hitam pedagang (merchant black list). Pengelolaan informasi tentang merchant black list dapat dilakukan oleh asosiasi Acquirer dan/atau Penerbit Kartu Kredit atau Kartu Debet.

Cabut mesin EDC

Saya dan istri membahas masalah ini secara serius. Kami berpikir, tentulah kami rugi bila harus menanggung biaya tiga persen itu. Sementara persaingan bisnis ritel serupa kami sangat ketat, belum lagi dengan hadirnya dua raksasa ritel nasional yang sedang menginvasi Kota Batam akhir-akhir ini. Asal tahu, kami tak mungkin mengambil keuntungan besar karena pasti ditinggalkan pelanggan. Bahkan pembeli, baik itu ibu-ibu maupun bapak-bapak, sudah mengomel jika barang yang sama lebih mahal seratus perak saja dari toko tetangga.

Terus terang saja, bisnis kami terlalu kecil, sehingga kami tak rela membagi tiga persen dari keuntungan kepada bank. Keuntungan yang kami kutip dari produk jualan terlalu kecil untuk dibagikan kepada pihak lain. Bagaimana mungkin kami menambah tiga persen lagi harga pada produk jualan untuk menutupi biaya transaksi menggunakan mesin EDC itu? Bisa-bisa penjualan kami merosot drastis hingga tak mampu mempertahankan usaha dan akhirnya tutup alias bangkrut.  

Itu pula alasan mengapa istri saya memutuskan membebankan kepada pembeli. “Kan, kita kalau belanja juga kena biaya itu. Mana pernah kita mempersoalkannya,” kata istri saya.

Setelah memikirkannya, apalagi kami sendiri adalah pengguna kartu kredit, kami sadar bahwa tidak adil pemegang kartu kredit/debet dikenakan biaya double. Bukankah pengguna kartu kredit juga dikenakan bunga oleh penerbit kartu setelah berbelanja? Artinya pemegang kartu kredit dibebankan biaya saat belanja dan nantinya dia juga harus membayar tagihan sekaligus bunga transaksinya.  

Akhirnya kami memutuskan untuk berhenti menggunakan mesin EDC sebelum dicabut sendiri oleh bank yang meminjamkan, atau lebih parah lagi bila kami diadukan ke sana - ke mari oleh pelanggan yang merasa dirugikan.  Kami telah mengembalikan mesin gesek itu sejak awal tahun 2015.

 

Kesimpulan Penulis, bisnis ritel dengan omzet kecil, apalagi berada dalam kepungan para peritel raksasa kelas nasional, tak memungkinkan untuk menggunakan mesin EDC. Transaksi non tunai itu lebih tepat untuk pebisnis beromzet besar. Pengalaman ini kiranya menjadi perhatian Pemerintah, BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan pihak terkait lain untuk dicari solusi terbaik bagi pelaku usaha, konsumen, dan pihak penerbit kartu kredit, demi menggairahkan transaksi non tunai  di Indonesia. (*)  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline