Lihat ke Halaman Asli

Eddy Mesakh

WNI cinta damai

Ribuan Buruh Shipyard di Batam Terancam PHK

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14329464072120503711

[caption id="attachment_368402" align="aligncenter" width="631" caption="Galangan Kapal di Tanjunguncang, Batam. (sumber:batamtoday)"][/caption]

KABAR buruk datang dari Batam, Kepulauan Riau. Ribuan buruh yang bekerja pada industri galangan kapal (shipyard) terancam pemutusan hubungan kerja (PHK). Alasan pengurangan karyawan lantaran sepinya orderan pembuatan kapal dari pasar global.

Saat ini sejumlah perusahaan shipyard Batam, yang sebagian besar berada di kawasan industri Tanjung Uncang, hanya memperoleh order perbaikan dan perawatan kapal. Artinya hanya lini docking yang masih beroperasi. Agar bisa bertahan, perusahaan terpaksa mengurangi karyawan melalui PHK massal.

Seperti dilaporkan Koran Sindo Batam edisi Rabu 27 Mei 2015, sebuah perusahaan shipyard, PT Drydocks World Nanindah Batam, yang memiliki sekitar 3.000 buruh, telah mengajukan surat pemberitahuan PHK kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Batam. Perusahaan shipyard lainnya, PT Nippon Steel asal Jepang, malah sudah menutup usahanya di Batam sejak tahun lalu. Belum ada laporan mengenai kondisi perusahaan sejenis lainnya.

Menurut data Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), sebelumnya di Batam terdapat sedikitnya 100 perusahaan shipyard dengan jumlah karyawan mencapai 250 ribu orang. Namun saat ini diperkirakan hanya 20-30 perusahaan yang masih beroperasi dengan jumlah karyawan sekitar 30 ribu orang.  Jika situasi industri ini tak kunjung membaik, diperkirakan puluhan ribu buruh tersebut akan kehilangan pekerjaan.

Situasi yang dialami industri shipyard saat ini sebenarnya telah diramalkan oleh Luc Verley selaku Ketua Asosiasi Perusahaan Galangan Kapal Batam (Batam Shipyard and Offshore Association/BSOA), sejak akhir tahun 2014. Selama ini produksi kapal di Batam merupakan permintaan dari negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah, namun belakangan mereka lebih banyak memesan dari Cina. Jenis-jenis kapal yang dipesan antara lain tanker, tongkang, tug boat, dan jack up drilling atau alat pengeboran minyak lepas pantai.

Lantas mengapa para pemesan kapal mengalihkan permintaannya ke Cina? Manajer Komite Eksekutif BSOA, Novi Hasni, mengungkapkan bahwa salah satu penyebabnya adalah masih berbelitnya birokrasi terkait perizinan impor (bahan baku) dan minimnya infrastruktur pendukung di Batam. Padahal, sebagai daerah yang telah ditetapkan sebagai free trade zone (FTZ) atau zona perdagangan bebas, mestinya tak banyak hambatan terkait izin impor bahan baku.

Masih ada lagi beberapa hambatan yang ditengarai sebagai penyebab lesunya industri galangan kapal di Batam, yakni tumpang tindih aturan pusat dan daerah. Direktur Promosi dan Humas BP Batam, Purnomo Andiantono, mengungkapkan bahwa persoalan status hutan lindung oleh Kementerian Kehutanan menghambat langkah BP Batam dalam mengalokasikan lahan untuk industri. Sementara Deputi BP Batam Istono mengatakan, UU Minerba (UU No 4/2009 tentang pertambangan dan Mineral dan Batubara) yang melarang ekspor mineral mentah juga ikut berpengaruh.

Belum ada solusi sebagai upaya untuk menggairahkan kembali industri galangan kapal di Pulau Batam. Meski begitu, ada secercah harapan bila program “poros maritim” yang dicanangkan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dapat dilaksanakan sesuai rencana. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline