Lihat ke Halaman Asli

Eddy Mesakh

WNI cinta damai

Di Balik Pidato Jokowi: Stop Menuding Pihak Asing!

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1413880580374597527

[caption id="attachment_330360" align="aligncenter" width="640" caption="Presiden Joko Widodo (sumber: akun FB Jokowi)"][/caption]

TAK satu kata pun mengandung tudingan kepada pihak asing dalam pidato perdana Joko Widodo usai dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, Senin 20 Oktober 2014. Pidato yang dikasih judul “Di Bawah Kehendak Rakyat dan Konstitusi” itu lebih difokuskan untuk ‘diri sendiri’. Meski menggunakan pilihan kata yang berbeda-beda, namun Jokowi memberikan penekanan berulang-ulang mengenai pentingnya harga diri dan kewibawaan bangsa ini. Pidato Jokowi memiliki kemiripan dengan pidato Barack Obama saat pertama kali menjadi Presiden AS. Kesamaan tersebut akan kita bahas jelang akhir artikel ini.

Saya kutip kalimat pidato Jokowi berikut ini; “Kita juga ingin hadir di antara bangsa-bangsa dengan kehormatan, dengan martabat, dengan harga diri. Kita ingin menjadi bangsa yang bisa menyusun peradabannya sendiri. Bangsa besar yang kreatif yang bisa ikut menyumbangkan keluhuran bagi peradaban global.

Mengapa Jokowi tidak menuding-nuding pihak asing sebagai biang kerok terpuruknya negeri ini? Jelas, karena majunya sebuah bangsa bukan karena mereka pandai menyalahkan dan menuding-nuding bangsa lain, tetapi karena mereka mampu menjaga harga diri dan kewibawaan bangsanya sendiri. Pihak asing tidak mungkin mengobok-obok bangsa ini bila kita sendiri tidak membuka celah atau malah melacurkan diri kepada kepentingan mereka.

Pidato singkat dan sederhana, yang oleh beberapa lawan politik dianggap ”biasa saja” itu sesungguhnya sarat makna. Jokowi dengan semangat revolusi mental yang senantiasa digaungkannya, mendorong bangsa ini untuk bekerja keras, menjadi bangsa petarung yang selalu berjuang pantang menyerah dengan mengandalkan segala kemampuan dan sumber daya yang kita miliki. Persatuan, gotong-royong, dan kerja keras menjadi syarat mutlak agar Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar.

Penyebutan sejumlah profesi, mulai dari rakyat biasa hingga pengusaha dan aparat negara, di dalam pidato itu untuk mengingatkan bahwa bangsa ini tidak bisa apa-apa jika salah satu dari kita yang menggantungkan periuk nasinya pada profesi-profesi itu justru bekerja asal-asalan, malas, atau malah menyelewengkan posisi dan jabatan untuk kepentingan sendiri. Jokowi mendorong segenap anak bangsa dengan profesinya masing-masing untuk bekerja... bekerja... dan bekerja!

Pada alinea penutup, Jokowi menggunakan kapal sebagai analogi dan dirinya sebagai sang nakhoda. Tampaknya Jokowi sangat terinspirasi pada sebuah kapal, itulah sebabnya ketika pidato kemenangan dalam Pilpres pada 22 Juli 2014 pun dilakukan di atas Kapal Pinisi. Asal tahu, Pinisi hanyalah sebuah kapal kayu tanpa mesin dan hanya mengandalkan layar, tetapi dia mampu berlayar mengarungi samudra luas hingga ke berbagai belahan dunia.

Berikut kutipan alinea penutup pidato Presiden Jokowi; “Sebagai nahkoda yang dipercaya oleh rakyat, saya mengajak semua warga bangsa untuk naik ke atas kapal Republik Indonesia dan berlayar bersama menuju Indonesia Raya. Kita akan kembangkan layar yang kuat. Kita akan hadapi semua badai dan gelombang samudera dengan kekuatan kita sendiri. Saya akan berdiri di bawah kehendak rakyat dan Konstitusi. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa merestui upaya kita bersama.

Mari kita preteli kutipan pidato tersebut:

1.Indonesia ibarat kapal layar

Dunia begitu luas. Luasnya dunia di sini tidak semata soal ukuran atau dimensi geometrik. Banyak dimensi lain seperti geopolitik, ekonomi, relasi antar-bangsa, dan sebagainya. Dari sisi geopolitik, Jokowi ingin menyadarkan kembali cara pandang dan sikap bangsa ini mengenai siapa kita (mengenal diri sendiri), mengenal lingkungan sendiri, serta memahami Indonesia sebagai negara kepulauan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

Jokowi merasa tidak perlu menuding-nuding atau mempersalahkan bangsa lain, tetapi mengingatkan soal pentingnya geopolitik bagi bangsa ini untuk mampu mempertahankan negara dan ikut berperan penting dalam membina kerja sama dan penyelesaian konflik antarnegara. Dan jelas disebutkan dalam pidato itu bahwa dalam pergaulan antarnegara, posisi Indonesia tetap sama, “...akan terus menjalankan politik luar negeri bebas-aktif, yang diabdikan untuk kepentingan nasional, dan ikut serta dalam menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Memilih analogi “kapal layar” juga untuk menegaskan Indonesia sebagai negara maritim. Ini bermakna ganda. Pertama memang bermakna real sebagai sebuah negara yang memiliki lautan yang luas, di mana Jokowi merasa perlu mengingatkan lagi semboyan nenek moyang; Jalesveva Jayamahe, di laut justru kita jaya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline