Lihat ke Halaman Asli

Eddy Mesakh

WNI cinta damai

Mencegah Tragedi seperti AirAsia QZ8501

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1419964161261318052

[caption id="attachment_344117" align="aligncenter" width="630" caption="Reaksi keluarga korban di Crisis Center kecelakaan AirAsia QZ8501, Bandara Juanda Surabaya, setelah menyaksikan laporan mengenai ditemukannya jenazah di Laut Jawa. (Sumber:independent/Manan Vatsyayanaâ/AFP/Getty Images)"][/caption]

NIL sine numini. Sebagai orang beragama,kita meyakini bahwa tiada sesuatu dapat terjadi tanpa kehendak Yang Mahakuasa, termasuk kejadian nahas yang menimpa pesawat AirAsia QZ8501. Kita patut bersyukur, karena atas kerja keras semua pihak terkait, Selasa 30 Desember 2014, pesawat tersebut telah ditemukan hanya dua hari setelah dinyatakan hilang. Situasi berbeda dialami oleh Malaysia Airlines MH370 rute Kuala Lumpur – Beijing yang masih belum ditemukan sejak menghilang pada 8 Maret 2014. Sudah lebih dari sembilan bulan nasib 239 penumpang dan awak pesawat tersebut tetap misterius.

Di tengah situasi duka seperti ini, para ahli penerbangan internasional tetap bersikap kritis dalam melontarkan opininya terkait kecelakaan yang menimpa QZ8501. Desmond Ross, Vice President International Aviation Security Management Association Asia Pacific, kepada abc.net.au, meyakini bahwa kondisi cuaca bukan satu-satunya penyebab jatuhnya pesawat tersebut. Menurut Ross, mestinya pilot memiliki cukup waktu untuk memulihkan posisi pesawat sebelum jatuh. Apalagi, lanjut dia, Airbus A320 tersebut dilengkapi radar cuaca canggih yang mampu membaca cuaca sampai jarak 150 mil di depan (dalam situasi normal), sehingga memungkinkan pilot untuk melihat di mana posisi bibit-bibit badai. Ini memungkinkan pilot mengambil keputusan menghindari sel-sel badai tersebut atau berbalik arah untuk mendarat di titik keberangkatan.

Tanpa bermaksud menyalahkan sang pilot, Ross menegaskan bahwa Kapten Pilot bertanggung jawab atas keselamatan penumpang dalam kondisi cuaca buruk. Tetapi, sekali lagi, dia meyakini bahwa cuaca buruk bukanlah satu-satunya penyebab kecelakaan tersebut. Ross mempertanyakan mengapa pesawat tersebut bisa terjebak ke dalam situasi cuaca buruk itu?

Artikel yang ditulis Tracy Connor di NBCNews berjudul “AirAsia Mystery: Key Questions About QZ8501” juga mempertanyakan hal yang kurang lebih senada. Mengutip pernyataan Greg Feith, mantan penyelidik Dewan Keselamatan Transportasi Nasional Amerika Serikat, bahwa masih banyak pertanyaan yang perlu dijawab terkait insiden ini. Menjawab pertanyaan apakah kecelakaan pesawat tersebut benar-benar diakibatkan oleh cuaca buruk, menurut Feith, bisa saja demikian. Tetapi, pada saat bersamaan ada enam pesawat lainnya juga melintasi area di mana badai itu terjadi. Sehingga dia mempertanyakan, apa alasan yang mendasari sehingga pilot tetap melewati lintasan itu?

Menurutnya, sebuah sistem cuaca sangat besar, sehingga sekalipun pesawat menaikkan ketinggian dari 32 ribu kaki ke 38 ribu kaki, itu belum menjamin untuk lolos dari cuaca buruk. Analisis ini sesuai dengan penjelasan Kepala Pusat Meteorologi Penerbangan BMKG Syamsul Huda seperti dikutip Kompas.com.

Kata Syamsul, sejak lepas landas dari Surabaya, QZ8501 terbang dalam kondisi cuaca berawan. Saat sampai di wilayah antara Belitung dan Kalimantan, pesawat menghadapi cuaca yang lebih buruk. "Pesawat menghadapi awan yang sangat tebal di lokasi (antara Belitung dan Kalimantan). Berdasarkan data, ketinggian puncak awan kumulonimbus yang dihadapi pesawat 48.000 kaki," kata Syamsul.

Artinya, seperti dijelaskan oleh Feith, meskipun pilot mendapat izin untuk menambah ketinggian ke level 38 ribu kaki, QZ8501 akan tetap terjebak di dalam badai.  Selain itu, menurut Feith, komunikasi antara para pilot dengan air traffic control (ATC) bisa didengar juga oleh pilot lainnya. Apakah permintaan pilot AirAsia kepada ATC untuk menambah ketinggian setelah mendengar adanya cuaca buruk? Atau pilot dan petugas ATC meyakini pesawat itu bisa menembus cuaca buruk sebagaimana bisa juga dilakukan oleh enam pesawat lainnya, tetapi mendadak kondisi cuaca memburuk sangat cepat? Menurut Feith, tunderstroms - petir dan hujan badai yang diproduksi oleh awan cumulonimbus - sangat dinamis dan berenergi tinggi.

Kepada ABC News, komentator penerbangan Peter Marosszeky juga menegaskan bahwa QZ8501 tidak semestinya berada di lokasi badai yang mencelakakan itu. Namun menurutnya, hal itu lebih tepat dibicarakan oleh para peneliti. Dia memaklumi panggilan darurat tidak segera dilakukan karena pesawat sudah telanjur terjebak di tengah cuaca buruk dan pada saat itu kedua pilot sangat sibuk dan sedang mengerahkan seluruh energi mereka untuk mengendalikan pesawat. Marosszeky meyakini bahwa kedua pilot pasti telah bekerja sangat keras. "Jika mereka menggunakan semua lengan dan kaki mereka untuk mencoba menyelamatkan pesawat, mereka tidak memiliki waktu untuk melakukannya (panggilan darurat)."

Penjelasan Marosszeky untuk sementara menjawab pertanyaan mengapa QZ8501 kehilangan kontak dengan ATC. Kunci untuk memahami apa yang terjadi kemungkinan akan terdapat dalam rekaman penerbangan pesawat. "Sampai kita mendapatkan kotak hitam, kita tidak akan tahu apa yang terjadi dengan mesin," kata Bill Savage, mantan pilot dengan 30 tahun pengalaman terbang kepada CNN.

Dalam perbincangan dengan beberapa teman, muncul komentar mengenai akurasi informasi cuaca dari otoritas terkait, misalnya Badan Meteorologi dan Geofisika. Mestinya ada peringatan keras bahwa dalam situasi musim seperti saat ini, badai di area penerbangan tersebut sangat intens dan terlalu berbahaya bagi penerbangan. Bukankah kecelakaan itu mestinya bisa dicegah apabila peringatan dini telah disampaikan berdasar hasil ramalan cuaca yang lebih akurat? Atau, jika memang informasi cuaca yang diperoleh dari BMKG sudah cukup akurat, apakah mungkin otoritas penerbangan mencegah/menunda penerbangan atau setidaknya menawarkan rute lain yang lebih aman?

Pelacakan real-time

Kita sedang berduka dan berempati oleh musibah yang menimpa saudara-saudara kita. Tetapi kita juga patut mendesak semua otoritas terkait penerbangan sipil agar lebih memerhatikan keselamatan penerbangan agar jauh lebih aman di masa mendatang. Untuk itu, jika memang telah ada teknologi canggih untuk melacak posisi sebuah pesawat, baik dalam situasi normal maupun cuaca buruk, bahkan setelah terjadi kecelakaan, semestinya teknologi tersebut secepatnya dipasang pada semua pesawat terbang komersial.

AirAsia Flight 8501 sudah ditemukan, namun MH370 hingga kini masih misterius. Meski tergolong cepat, toh upaya pencarian QZ8501 tetap mengalami kesulitan karena tak mudah menentukan posisi terakhir pesawat, selain komunikasi terakhir sebelum putus kontak dengan ATC. Seperti berita-berita yang beredar bahwa alat bernama ELT (Emergency Locator Transmitter) pada pesawat nahas itu tidak berfungsi setelah putus kontak. Padahal alat tersebut sangat bermanfaat untuk mencari lokasi hilangnya pesawat. Untuk sementara, diperkirakan alat tersebut rusak akibat hantaman badai.

Keberhasilan menemukan posisi QZ8501 bukan karena sistem/peralatan pelacakan yang ada pada pesawat itu, tetapi lebih karena kemampuan dan kecekatan Tim Basarnas bersama para pihak terkait lainnya yang terlibat dalam proses pencarian selama dua hari berturut-turut.

Saat ini dunia penerbangan masih sangat bergantung pada sang dewa “Black Box” atau kotak hitam untuk mengetahui apa penyebab terjadinya kecelakaan sebuah pesawat terbang. Padahal, menurut laporan Independent.co.uk,  sudah ada teknologi canggih yang secara real time memberikan informasi setara kotak hitam. Teknologi dimaksud adalah Automated Flight Information Reporting System (AFIRS) dari perusahaan Kanada, Flyht Aerospace Solutions. Alat ini mampu merekam suara di kokpit dan data penerbangan kemudian dikirim atau bisa dipantau secara real time oleh menara kontrol.

Masih menurut laporan itu, pada bulan Mei, Sekjen UN International Telecommunications Union, Hamadoun Toure, mengatakan bahwa kita harus melakukan segala upaya di level internasional untuk mengembangkan solusi pelacakan real-time bagi industri penerbangan. Pernyataan itu dilontarkan menyusul tak terlacaknya MH370.

Sebenarnya peralatan tersebut telah disertifikasi untuk digunakan pada Airbus A320, namun, mungkin membutuhkan biaya mahal sehingga maskapai penerbangan enggan menerapkannya. Di sinilah diharapkan peran International Civil Aviation Organization (ICAO) menginstruksikan seluruh maskapai penerbangan agar menerapkannya dan semua pesawat baru sudah harus memiliki alat tersebut.

Scott Anderson, seorang analis untuk penerbangan, mengatakan; "Sudah waktunya bagi ICAO untuk membuat keputusan, dan jika tidak maka regulator masing-masing negara perlu meningkatkan dan menerapkan pelacakan secara real-time.” Menurutnya, dengan langkah ini bisa mencegah terjadinya sebuah kecelakaan dan menyelamatkan nyawa (penumpang pesawat) di masa depan. (*)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline