Lihat ke Halaman Asli

Eddy Mesakh

WNI cinta damai

Rahasia di Balik Status BBM Ibu Negara dan Kicauan Presiden Jokowi

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Jokowi dan Ny Iriaana (sumber: tempo.co)

[caption id="" align="alignnone" width="620" caption="Presiden Jokowi dan Ny Iriaana (sumber: tempo.co)"][/caption]

SEJUMLAH nama perwira disebut-sebut, tapi hanya satu nama yang disodorkan Presiden Joko Widodo kepada DPR untuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan sebagai calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Komjen Budi Gunawan menjadi calon tunggal pengganti Jenderal Sutarman. Jokowi seolah meniru pendahulunya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga menyodorkan calon tunggal, Komjen Sutarman, sebagai pengganti Jenderal Timur Pradopo, tahun 2013 silam. Lantas, kenapa cara Jokowi berdampak lebih ‘mengharu-biru’ dibanding cara serupa oleh SBY dua tahun lalu?

Karena status Komjen Sutarman dan Komjen Budi berbeda saat dicalonkan sebagai calon tunggal Kapolri. Ketika SBY  mengusulkan Sutarman, yang bersangkutan tidak memiliki rekam jejak terkait kasus dugaan korupsi. Berbeda dengan Komjen Budi yang dalam empat tahun terakhir namanya disebut-sebut dalam daftar perwira Polri pemilik rekening gendut. Datanya juga dapat dipertanggungjawabkan karena bersumber dari hasil analisis institusi resmi negara, yakni  Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tahun 2010.

Semakin ramai karena Jokowi seperti terburu-buru menyodorkan nama Komjen Budi kepada DPR tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan PPATK dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mengapa harus terburu-buru, sementara masa jabatan Jend Sutarman baru akan berakhir pada Oktober 2015? Semakin aneh lantaran nama Komjen Budi pernah ditandai stabilo merah oleh KPK dan PPATK ketika masuk dalam daftar calon menteri Kabinet Kerja Jokowi-JK.

Publik pun bertanya-tanya, apakah Jokowi benar-benar menginginkan Komjen Budi menjadi Kapolri? Atau itu hanya sebuah trik untuk menghindari benturan dengan kalangan elite partai politik dengan cara memicu ledakkan kontroversi agar dirinya bisa memilih nama lain sesuai hati nuraninya?

Isyarat awal mengenai sikap Jokowi disampaikan oleh istrinya, Ny Iriana, melalui status BBM berbunyi “tks, KPK” pada Selasa (13/1/15) sore. menyusul penetapan status tersangka terhadap Komjen Budi oleh KPK.  Sejumlah pihak menduga kuat status BBM Ibu Negara itu sebagai ungkapan terima kasih kepada KPK karena telah bertindak cepat dan langkah tersebut menyelamatkan Jokowi dari “sebuah pilihan yang salah”.

Sinyal rahasia

Pada hari dan waktu yang sama dengan status BBM istrinya, Selasa sore, Jokowi sendiri memberi sinyal rahasia melalui status facebook-nya. Jokowi menulis status berbunyi; “Melihat dengan hati, merasa dengan kehalusan budi, berpikir dengan jernih dan lantip (tajam)...”

[caption id="attachment_346386" align="aligncenter" width="300" caption="Tiga status terakhir Presiden Jokowi di akun facebook-nya. (capture FB Jokowi)"]

14212723981404128520

[/caption]

Dari bunyi kalimat itu, tampaknya Jokowi sedang berbicara mengenai pencalonan Komjen Budi yang telah dia sodorkan kepada DPR. Jokowi berada dalam tekanan, tetapi dia juga tak boleh salah pilih. Maka dirinya harus “melihat dengan hati” siapa sosok yang paling tepat memimpin institusi penegak hukum itu. Jangan sampai Jokowi mengecewakan mayoritas rakyat yang telah mati-matian mendukung dirinya.

Sebagai pemimpin, Jokowi juga harus mendengar kata hatinya untuk menjawab  apa yang dikehendaki sebagian besar rakyat yang telah menaruh harapan mereka ke pundaknya. Di sini Jokowi mengikuti pesan bijak Mahatma Gandhi; “Satu-satunya penguasa yang saya akui di dunia ini adalah ‘suara hening kecil’ di dalam hati.”

Tetapi, pada saat bersamaan, Jokowi harus menghindari benturan dengan kalangan elite, terutama di lingkaran PDIP, yang telah mengantarnya ke Istana. Tak boleh ada yang terluka, sehingga dia harus “merasa dengan kehalusan budi”. Pada akhirnya Jokowi wajib mengambil keputusan sesuai pilihannya sendiri dengan cara “berpikir dengan jernih dan lantip (tajam)”.  Sekalipun Komjen Budi telah berjasa bagi PDIP - mungkin juga bagi Jokowi ketika Pilpres -  serta memiliki kedekatan dengan Megawati karena pernah menjadi ajudannya, namun kasus yang kini membelit dirinya  bukan karena kesalahan PDIP, Megawati, dan Jokowi. Semua itu merupakan tanggungjawab pribadinya sehingga tidak mungkin demi membalas jasa Komjen Budi, lantas PDIP, Megawati, dan Jokowi mengorbankan kepentingan bangsa dan negara.

Para elite di PDIP pun semestinya berterima kasih kepada Jokowi jika nanti dia memutuskan untuk mengganti calon Kapolri dengan sosok lain. Keputusan itu justru menyelamatkan PDIP dalam jangka panjang. Sebab, jika ngotot Komjen Budi harus jadi Kapolri, bukankah masyarakat akan menilai PDIP sebagai parpol yang anti pemberantasan korupsi?

Tujuh belas jam sebelumnya, Jokowi menulis status berikut: “Selamat pagi bangsaku, mari kita bangun bangsa ini lewat gagasan-gagasan besar dan kurangilah perdebatan-perdebatan yang membuat kita selalu jalan di tempat. Di sana ada masa depan menunggu, ada generasi anak cucu kita yang kelak meminta pertanggungjawaban kita atas kerja kita di hari ini. Bekerjalan segaris dengan mimpi-mimpi besar kita, jangan mendiskon mimpi kita dengan perdebatan omong kosong. Indonesia akan kuat bila manusia di dalamnya manusia yang menguasai alam tindakan.”

Status Jokowi kali ini sedikit keras. Dia seperti menghardik agar publik, terutama para elite, jangan cuma sibuk berdebat soal polemik calon Kapolri. Jokowi sekaligus ingin meyakinkan publik melalui penggalan kalimat kedua, “Di sana ada masa depan menunggu, ada generasi anak cucu kita yang kelak meminta pertanggungjawaban kita atas kerja kita di hari ini.” Dari kalimat ini tersirat pesan bahwa dirinya pun tak ingin keputusannya hari ini berimplikasi buruk bagi generasi di masa mendatang.

Jokowi lagi-lagi berkaca dari pesan Gandhi berikut ini; “Dia yang menyerah akan jatuh. Dia yang melepaskan diri dari semata–mata penghargaan akan naik. Tetapi tidak mementingkan diri sendiri bukan berarti bersikap acuh tak acuh terhadap hasil akhir. Dalam mempertimbangkan setiap tindakan, orang harus mengetahui hasil akhir yang diharapkan, di samping itu juga mempertimbangkan caranya dan kesanggupan mencapai hasil tersebut. Dengan demikian dia, yang diperlengkapi, yang tidak memiliki hasrat akan hasil akhir, dan juga asyik sepenuhnya dengan pemenuhan tugas yang diberikan kepadanya, bisa dikatakan meninggalkan buah – buah tindakannnya."

Selanjutnya, melalui status terakhirnya, Rabu 14 Januari 2015, Jokowi membuka sikapnya lebih lebar dengan menggunakan kutipan dari Pramoedya Ananta Toer berbunyi; “Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?”

Saya yakin, ketika mengambil kutipan itu, Jokowi tak melewatkan dua pesan bijak lainnya dari Pak Pram. Pesan pertama; “Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain.” Pesan kedua; “Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri”

Artinya, sudah waktunya presiden sebagai pemegang hak prerogatif, berani mengambil sikap. Di sini dia telah siap membayar harga atas apapun konsekuensi dari keputusan yang diambilnya. Mungkin masih ada sedikit ketakutan, lebih tepatnya rasa sungkan, tapi tak ada lagi pilihan lain, kecuali dia nekat berhadapan dengan caci maki ratusan juta warga Republik ini. Jokowi memilih sikap tokoh Afrika Selatan, Nelson Mandela; “Saya belajar bahwa keberanian tidak akan pernah absen dari ketakutan. Tetapi mereka berhasil menang atas itu. Orang berani bukan mereka yang tidak pernah merasa takut, tapi mereka yang bisa menaklukkan rasa takut itu.”

Kira-kira seperti itulah rabaan saya mengenai sikap dan (rencana) tindakan Jokowi yang terbaca melalui status di akun facebook-nya. Seperti artikel saya sebelumnya, tidak mungkin Jokowi tidak tahu rekam jejak Komjen Budi. Jika saja rekam jejak Komjen Budi bersih mengkilap, bebas dari praduga-praduga negatif, namanya tidak disebut-sebut terkait “rekening gendut perwira Polri”, mungkin dalam dua tiga hari ke depan kita sudah memiliki Kapolri baru. Sayang, begitu namanya mencuat sebagai calon tunggal, mendadak KPK menyematkan status tersangka kasus dugaan korupsi kepadanya.

Mudah-mudahan setelah polemik ini Presiden Jokowi mampu menemukan sosok Hoegeng dalam diri Kapolri baru yang akan dipilihnya sendiri. (*)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline