Jokowi dan Megawati (sumber: http://ramalanintelijen.net)
JANGAN sampai riwayat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tamat di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Jokowi terpilih di antaranya karena dinilai bersih dan antikorupsi. Sementara KPK justru terbentuk (tahun 2003) saat tampuk kekuasaan berada di tangan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menjabat Presiden ke-5 RI (2001-2004).
Penulis tetap berkeyakinan bahwa Presiden Jokowi bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla dan jajarannya memegang teguh komitmen pemberantasan korupsi. Komitmen Jokowi-JK bisa kita lihat kembali dalam proposal setebal 41 halaman yang mereka ajukan kepada segenap rakyat Indonesia ketika Pemilihan Presiden tahun lalu. Proposal bertajuk "Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian", secara jelas dan tegas menyatakan komitmen tersebut. Di sana juga terdapat tekad untuk memperbaiki Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), mendukung KPK, dan meningkatkan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Artikel ini sekadar mengingatkan kembali klausul-klausul dalam kontrak politik antara Capres-Cawapres – termasuk parpol pengusungnya – dengan rakyat Indonesia. Sebagaimana lazimnya sebuah kontrak, klausul-klausulnya bersifat mengikat dan wajib dipenuhi. Jika tidak, rakyat Indonesia berhak membatalkan kontrak dan menarik kembali dukungannya kepada Jokowi-JK dan PDIP. Publik tidak mau tahu apapun alasannya, kecuali terjadi peristiwa force majeur yang tak terhindarkan.
Perbaiki POLRI
Presiden Jokowi langsung dihadapkan ujian berat mewujudkan janji-janji penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di saat pemerintahannya baru seumur jagung. Siapa sangka PDIP, sebagai penyokong utama pemerintah, justru disinyalir sebagai pemicu utama masalah yang kini menguras energi dan membebani langkah Jokowi. Polemik POLRI vs KPK meletus menyusul penunjukkan Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri, tetapi kemudian ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi oleh KPK. Konon Komjen Budi merupakan sosok titipan PDIP dan tetap diperjuangkan menjadi Kapolri kendati sedang menyandang status tersangka. Jokowi terjepit mengingat dirinya tak memiliki kekuatan dan pengaruh dalam partai politik berlogo banteng moncong putih yang dikuasai trah Soekarno itu.
Mengingat rendahnya kepercayaan publik terhadap POLRI, Jokowi-JK berjanji akan memperbaikinya melalui delapan prioritas utama. Berikut ringkasannya; (a) kembalikan kepercayaan publik dengan pembinaan mental dan disiplin anggota POLRI, (b) menyesuaikan kurikulum pendidikan dan latihan untuk menghasilkan anggota POLRI yang lebih baik dan tidak militeristik, (c) melakukan evaluasi terhadap kepemimpinan POLRI untuk memudahkan dan memastikan arah gerak penataan dan pengelolaan POLRI yang lebih baik, (d) evaluasi peraturan dan perundangan terkait POLRI agar lebih profesional, (e) menata kelembagaan dan tata-kewenangan POLRI melalui pemisahan pengambilan keputusan dan kewenangan pelaksanaan keputusan yang masih tumpang-tindih. POLRI akan ditempatkan dalam Kementerian Negara, (f) revitalisasi Komisi Kepolisian untuk meningkatkan efektivitas pengawasan terhadap kinerja POLRI dan memperkuat Kompolda, (g) membangun sistem keamanan nasional yang integratif, dilakukan dengan penataan hubungan POLRI dengan institusi lain, dan (h) menyediakan anggaran yang memadai untuk POLRI, baik dalam tugas maupun jaminan kesejahteraan.
Langkah pertama yang telah dilakukan adalah bermaksud mengganti pucuk pimpinan POLRI kendati masa jabatan Jenderal Sutarman baru akan berakhir pada Oktober 2015. Entah pergantian tersebut atas desakan parpol atau inisiatif Jokowi, pergantian ini malah memicu masalah yang berlarut-larut.Bukan karena Sutarman menolak diganti, melainkan calon (tunggal) penggantinya, Komjen Budi Gunawan, mendadak ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi oleh KPK. Jokowi tak mungkin melantik Komjen Budi sebagai Kapolri mengingat yang bersangkutan menyandang status tersangka kasus dugaan korupsi. Jika ngotot melantik, Jokowi jelas melanggar janjinya pada poin (ii) dalam 42 prioritas utama komitmen mewujudkan sistem dan penegakan hukum yang berkeadilan. Pada poin tersebut, Jokowi-JK berjanji akan memilih Jaksa Agung dan KAPOLRI yang bersih, kompeten, antikorupsi, dan komit pada penegakan hukum.
Jokowi terpaksa mengambil jalan tengah, yakni menunjuk Wakapolri Komjen Badrodin Haiti sebagai Plt Kapolri pada 16 Januari 2015. Sayangnya, institusi POLRI terlihat kurang solid di bawah kendali seorang perwira bintang tiga. Tampaknya Badrodin sulit mengendalikan para perwira selevel dirinya. Terbukti dia tidak dilapori saat operasi penangkapan terhadap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto oleh Bareskrim pada 23 Januari 2015.
Langkah Bareskrim POLRI tersebut menjadi kontraproduktif bagi perbaikan citra institusi penegak hukum itu. Justru kepercayaan publik terhadap POLRI semakin merosot. Langkah Pemerintahan Jokowi-JK memperbaiki POLRI jadi lebih berat dan bakal semakin berat karena adanya intervensi dari parpol pendukung utama. Penulis cukup yakin, hingga akhir pemerintahan ini pada 2019, Jokowi-JK kemungkinan besar gagal menempatkan POLRI di bawah Kementerian Negara sebagaimana tercantum pada poin (e) delapan prioritas utama di atas.
Melindungi KPK
Jokowi-JK berjanji melindungi dan memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini terdapat pada poin h komitmen mewujudkan sistem dan penegakan hukum yang berkeadilan, yang berbunyi, "Kami akan mendukung keberadaan KPK, yang dalam praktik pemberantasan korupsi telah menjadi tumpuan harapan masyarakat. KPK harus dijaga sebagai lembaga yang independen yang bebas dari pengaruh kekuatan politik. Independensi KPK harus didorong melalui langkah-langkah hukumnya yang profesional, kredibel, transparan, dan akuntabel."
Poin selanjutnya (poin i), Jokowi-JK menyatakan, "Kami akan memastikan sinergi di antara Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan KPK." Kondisi saat ini bukan sinergi malah terlibat perselisihan serius antar-lembaga, terutama antara POLRI dan KPK.
Kita tahu, sejak terbentuknya KPK sebagai lembaga khusus untuk memberantas korupsi di Indonesia, Kejaksaan Agung dan POLRI yang juga memiliki tugas dan wewenang memberantas korupsi kian terlihat ketidakmampuannya dalam hal tersebut. Malah terlihat lebih sibuk membangun citra melalui slogan di spanduk-spanduk. Mengapa? Terbukti ada jaksa dan polisi menjadi pesakitan oleh KPK terkait kasus korupsi. Kejaksaan dan POLRI sulit membersihkan dan membebaskan diri dari para mafia kasus dan koruptor. Masak jeruk makan jeruk?
Tak hanya Jokowi, PDIP pun seringkali menyatakan dukungannya kepada KPK. Politisi PDIP, Pramono Anung, pernah menegaskan bahwa KPK akan tetap ada selama korupsi ada di Indonesia. Dengan demikian, inilah saatnya PDIP sebagai Parpol pengusung dan pendukung utama Presiden Jokowi membuktikan bahwa mereka serius mendukung KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Pencegahan dan pemberantasan korupsi merupakan pekerjaan paling berat pemerintah Indonesia dari masa ke masa, termasuk oleh pemerintahan Jokowi-JK. Ada ungkapan; "dahulu korupsi di bawah meja, setelah Orde baru korupsi di atas meja, sekarang mejanya juga dikorupsi." Terlalu...!
Banyak janji dan komitmen Jokowi-JK mengenai pencegahan dan pemberantasan korupsi, antara lain mewujudkan sistem dan penegakan hukum yang berkeadilan, membangun politik legislasi yang jelas, terbuka, dan berpihak pada pemberantasan korupsi,akan memberantas korupsi di sektor legislasi dengan menindak oknum pemerintah yang menerima suap untuk memperdagangkan kepentingan masyarakat.
Jokowi-JK menyatakan akan membentuk regulasi yang mendukung pemberantasan korupsi melalui RUU Perampasan Aset, RUU Perlindungan Saksi/Korban, RUU Kerjasama Timbal Balik (MLA), dan RUU Pembatasan Transaksi Tunai. Bahkan keduanya berkomitmen mengambil sikap zero tolerance terhadap tindak kejahatan perbankan dan kejahatan pencucian uang.
Jika Jokowi-JK memiliki komitmen kuat mencegah dan memberantas korupsi, maka untuk saat ini, tak ada jalan lain selain melindungi, menyelamatkan, dan memperkuat KPK sebagai institusi. Sampai detik ini hanya KPK yang bisa diandalkan dalam pemberantasan korupsi. Rakyat tak bisa berharap banyak kepada POLRI dan Kejaksaan dalam urusan ini.
Semestinya publik tak perlu meragukan komitmen antikorupsi dari Presiden Jokowi dan Megawati bersama PDIP. Jika sekarang KPK dilanda goncangan hebat akibat diserang dari delapan penjuru mata angin, semoga ini hanya ujian bagi KPK, sekaligus bagi bangsa ini, dalam upaya memerangi para koruptor yang kian membabi-buta dan semakin berani melakukan perlawanan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H