Lihat ke Halaman Asli

Ahok, Pahlawanku

Diperbarui: 18 November 2016   11:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Unconsciously we all have a standard by which we measure other men, and if we examine closely we find that this standard is a very simple one, and is this: we admire them, we envy them, for great qualities we ourselves lack. Hero worship consists in just that. Our heroes are men who do things which we recognize, with regret, and sometimes with a secret shame, that we cannot do. We find not much in ourselves to admire, we are always privately wanting to be like somebody else. If everybody was satisfied with himself, there would be no heroes.” - Mark Twain

Kutipan dari Mark Twain saya rasa sangat tepat, khususnya berlaku untuk saya sendiri. Setiap orang tentunya punya standar tertentu yang menjadi ukuran untuk menilai orang lain. Ketika seseorang mengatakan bahwa orang lain sebagai panutan, teladan, atau pahlawan, tentunya penilaian tersebut timbul setelah melakukan “pengukuran” standar orang itu sendiri.

Mark mengatakan bahwa pahlawan-pahlawan kita adalah orang-orang yang melakukan hal-hal yang kita sadari, dengan penyesalan, dan terkadang malu, bahwa kita tidak mampu melakukannya. Saya melihat bahwa apa yang Mark sampaikan sangat kental kaitannya dengan apa yang Ahok alami akhir-akhir ini. Ada orang-orang yang melihat Ahok secara positif dan kemudian meneladaninya serta mendukung sepak terjangnya. Namun, mungkin saja ada orang-orang, karena meyadari Ahok begitu unggul terhadap standar dirinya sendiri, alih-alih menjadikannya teladan, malah hendak “memberangusnya”. Suatu hal yang sangat negatif dan memalukan.

Sebagai orang yang lahir, besar, belajar, bekerja, dan hidup di Jakarta, saya merasakan dan melihat secara langsung betapa kota Jakarta berubah selama periode kepemimpinan Jokowi (saat menjadi Gubernur) dan kemudian dilanjutkan oleh Ahok. Pengalaman saya tersebut saya bagikan juga kepada rekan-rekan saya dan hampir selalu mereka mengamininya, meski ada juga yang kurang setuju dengan saya, entah murni karena alasan kinerja atau faktor lain yang dirahasiakan. Bagi saya kota Jakarta jauh lebih baik dari sebelumnya meski data-data statistik bukanlah menjadi cakupan tulisan ini.

Sebagai praktisi hukum, saya juga melihat dan merasakan bahwa birokrasi mulai berubah ke arah yang positif. Aturan hukum ditegakkan. Prosedur dan birokrasi dipotong sehingga proses administrasi menjadi lebih cepat. Menelpon pihak instansi pemerintah untuk memperoleh informasi menjadi lebih mudah dan cepat memperoleh tanggapan. Perlahan tapi pasti, kultur dan etos kerja mulai berubah menjadi lebih baik. Dampaknya, pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih berkualitas. Tentunya setiap kemajuan tersebut baik tapi masih jauh dari sempurna.

Gaya Ahok yang suka meledak-ledak dan cenderung bicara kasar bukan suatu hal yang saya banggakan. Sikap tersebut cukup saya sayangkan karena saya melihat, jika Ahok lebih santun, mungkin penerimaan masyarakat akan lebih baik. Namun, penilaian saya bisa jadi salah. Saya juga pernah mempelajari suatu studi kasus bisnis yang meneliti gaya kepemimpinan yang keras dan cenderung kasar seperti Ahok dengan gaya kepemimpinan yang tegas tapi sangat santun. 

Yang saya peroleh, tidak serta merta jika seorang pemimpin berbahasa keras dan cenderung kasar, maka pemimpin tersebut akan dibenci. Justru, banyak terjadi sebaliknya, banyak pemimpin seperti itu yang sangat dihormati dan diteladani. Saya juga bukan orang dengan tipe kepemimpinan santun dan lembut kepada orang lain. Gaya kepemimpinan saya cenderung seperti Ahok. Namun, sekali lagi, meski saya menerima itu sebagai salah satu fakta diri saya, bukan juga sesuatu yang saya banggakan. Bagi saya, manusia adalah makhluk yang selalu bertumbuh dan berubah, serta perlu menuju ke tingkatan/level yang semakin baik.  

Terlepas dari berbagai pandangan dan masalah yang menimpa Ahok, saya dengan bangga mengatakan bahwa Ahok adalah pahlawanku. Sebagai pahlawan dan teladan, saya melihat Ahok mempunyai kualitas diri sebagai manusia yang sangat baik dan patut untuk dibanggakan. Tentunya sangat sulit mengubah kultur dan etos kerja yang sudah mendarah daging bertahun-tahun dimana tidak ada seseorang pun yang berani mengambil risiko untuk melakukan perubahan berarti. Ahok berani. Ahok melakukannya.

Tepatlah apa yang dikatakan Mark, kita mengagumi mereka (pahlawan), kita mencemburui mereka, atas kualitas hebat yang kita sendiri tidak miliki. Sayangnya, pihak-pihak yang mencoba “memberangus” rasanya lebih karena “cemburu”. Alih-alih memperbaiki dan meningkatkan diri, malah mencoba menjatuhkan. Meskipun demikian, banyak juga yang menjadikan Ahok sebagai pahlawan dan teladan, serta siap mendukungnya. Saya salah satunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline