[caption caption="foto : kompas.com"][/caption]
Kebakaran hutan yang mengakibatkan bencana asap di Sumatra dan Kalimantan akhirnya mulai diperhatikan serius. Media sudah makin banyak menyoroti soal bencana bencana kabut asap ini dibandingkan tiga bulan yang lalu, dua bulan yang lalu atau sebulan yang lalu sekalipun. Begitu juga solidaritas warga tak terdampak asap kepada warga yang terdampak.
Ada asap ada api, bencana kabut asap terjadi karena pembakaran lahan yang dilakukan perorangan dan korporasi untuk membersihkan lahan. Di sebuah facebook page organisasi lingkungan hidup internasional seorang mengomentari pembakaran lahan yang berujung bencana kabut asap di Sumatra Kalimantan Singapura dan Malaysia ini dengan satu kata saja “ Greedy “ !! memang karena rakus orang tidak berpikir panjang membersihkan lahan dengan cara yang murah dan gampang tanpa mempedulikan orang lain. Semuanya pasti dilakukan sembunyi sembunyi dengan akibat yang dahsyat bagaikan api makan sekam.
Kebakaran hutan bisa dideteksi dengan satelit sebagi hot spot, tetapi itu artinya kebakaran sudah besar. Asap yang membumbung pastilah cara yang terbaik untuk mendeteksi kebakaran hutan karena skalanya masih kecil. Kalau sudah membesar susah megatasinya kata pepatah api kecil baik padam !! Tapi peralatan dan sumber daya kita tidak punya, kalau cuma ember selang dan pompa air sih ada tapi kan kebakaran hutan yang besar butuh pesawat pemadam kebakaran dan tehnologi yang canggih !!. Kalau cuma pakai ember, selang, ranting dan pompa air itu bagaikan menggantang asap mengikir langit !!.
Seharusnya rakyat disekitar tempat hotspot kebakaran hutan ditangani lebih dulu. Mereka inikan ibarat angus tiada berapi. Sudah kena kabut asap yang pekat dengan tingkat polisi diatas membahayakan, fasilitas kesehatan yang tidak memadai, terisolir karena transportasi terganggu, pekerjaan juga kacau karena dampak kabut asap, informasi tentang tingkat bahaya kabut asap per hari saja mereka tidak tahu. Seorang sukarelawan singapura di Kalimantan tengah melihat banyak orang di sana tidak memakai masker seklipun indeks pencemaran sudah 1900 kalaupun ada yang dipakai masker bedah padahal seharusnya untuk tingkat yang sudah berbahaya yang dipakai adalah masker N95. Benar benar jauh panggang dari api.
Pemerintah pada awalnya sibuk beretorika dengan negara tetangga yang memprotes asap kiriman akibat bencana kebakaran hutan. Seperti kebakaran jenggot saja, malah tawaran bantuan untuk memadamkan kebakaran sampai 3 kali ditolak entah mengapa. Padahal nyatanya kabut asap makin tebal dan beberapa daerah terkurung asap selama berbulan bulan. Betul betul seperti meletakkan api dibumbungan, karena rakyat di daerah terdampak merasa diabaikan begitu saja mereka bisa marah karena negara dianggap tidak hadir ditengah kesulitan warganya.
Singapura harus tahu memadamkan kebakaran hutan itu bukan hal yang mudah, begitu kata seorang pejabat. Memang hutan kita sedemikian luasnya malahan dulu pernah dijuluki paru paru dunia. Ini adalah kekayaan yang tak terkira yang mestinya harus di jaga juga dari bahaya kebakaran. Tetapi kita ini seperti bersuluh minta api, sudah tahu hutan begitu luas tetapi pesawat pemadam kebakaranpun tak punya. Kita ini juga seperti dibakar tak hangus di rendam tak basah, masa setiap tahun selama 20 tahun terakhir ini terjadi kebakaran hutan dan bencana kebakaran kabut asap. Sepertinya tidak pernah belajar dari kejadian setiap tahunnya.
Jangankan 10 seharusnya kita punya 50 pesawat pemadam kebakaran kalau mau menjaga hutan kita yang demikian luas se Indonesia. Kita juga butuh puluhan pesawat angkut untuk menyemai hujan buatan. Tapi nyatanya kita tidak punya apa apa. Hutan ditebangi sejak dulu saja kita juga nggak tahu, kita bagaikan tungku tak berasap cuma mengandalkan pasukan dengan tangan kosong mengatasi kebakaran hutan yang menggila. Yang disalahkan cuma iklim dan anomali cuaca alias elnino. Bagaikan kucing minta api, kita cuma mengharap hujan datang !!
Semoga kebakaran hutan dan bencana kabut asap tahun ini menjadi pelajaran berharga, pepatah mengatakan api kecil jadi kawan jika besar jadi lawan. Untuk pemerintah jangan pula beretorika dalam menghadapi kebakaran dan kabut asap yang meluas sampai ke negara jiran, itu bagaikan bersuluh menjemput api !! semoga mulai tahun ini pemerintah sungguh sungguh bekerja keras menyelesaikan masalah kebakaran hutan dan bencana kabut asap ini ibarat peluh diurut hujan ditampung. Termasuk merehabilitasi para korban bencana kabut asap ini yang adalah rakyat kita sendiri.
Hutan dan segala isinya termasuk masyarakat yang ada disekitarnya adalah kekayaan negara kita yang harus dijaga dengan baik itulah kewajiban negara. Pepatah mengatakan hutan jauh diulangi, hutan dekat dikendana !! Kalau masalah ini dibiarkan berulang lagi dan lagi inilah bencana yang sebenarnya karena negara dianggap tidak hadir di tengah tengah rakyatnya yang menderita karena bencana kebakaran hutan dan kabut asap inilah yang disebut telah ketengah makan api !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H