Lihat ke Halaman Asli

Jalan (masih) Panjang dan Berliku Buat Gregoria Mariska dan Fitriani

Diperbarui: 7 September 2015   20:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Minggu minggu ini kita boleh bangga, Gregoria Mariska menjadi juara tunggal putri Victor Indonesia Internasional Challenge 2015. Sebelumnya Jorji demikian dia dipanggil sehari hari sempat menjuarai Singapore Internasional series bulan agustus yang lalu. Bulan Agustus 2015 ini juga Fitriani di Vietnam open menjadi finalis Viernam Grand Prix tetapi kalah dari pemain remaja jepang Saena Kawakami. Sebelumnya Fitriani membuat kejutan dengan mengalahkan pemain Thailand Busanan Ongbumrungpham. DI Bulan Agustus juga Lindaweni Fanetri meraih medali perunggu setelah mengalahkan Ratchanok Intanon dan tai tzu Ying di senayan.

Sepintas prestasi  tunggal putri kita  ini sungguh fenomenal dan euforiapun menyeruak. Di banyak facebook fanspage tentang badminton, twitter bahkan banyak media online mereka digambarkan bagaikan pemain tangguh yang telah lama kita cari setelah ditinggal sang Legenda Susi Susanti barangkali hamir 20 tahun yang lalu. Aneh memang mengapa baru menang di turnamen setingkat Internasional Chalenge dan meraih medali perunggu world championship karena dukungan penonton yang hingar bingar sudah disamakan dengan susi susanti.

Bayangkan Susi susanti adalah pemenang medali emas olimpiade Barcelona 1992, juara world championship 1993, Juara All England 4 kali, juara world cup 6 kali, juara Indonesia open 6 kali, dan masih banyak lagi kejuaraan besar yang dimenanginya yang tidak sebanding dengan gelar juara tingkat Internasional Chalenge maupun medali perunggu world championship. Jalan masih panjang bagi Fitriani dan Gregoria Mariska yang masing masing masih berumur 17 dan 16 tahun dan Lindaweni yang sudah berusia 25 tahun untuk menyamai Susi susanti. Gelar susi susanti tidak selevel dengan turnamen tingkat Internasional Challenge atau medali perunggu kejuaraan dunia yang diselenggarakan di Jakarta. Disamping itu pencapaian Susi susanti terjadi secara konsisten dan kontinyu selama lebih dari 10 tahun dari tahun 1985 sampai 1997.

Memang keringnya prestasi di tunggal putri yang begitu lama sejak Susi susanti mengundurkan diri telah membuat kita tersesat dalam fata morgana. Baru menang turnamen tingkat Internasional challenge atau grandprix saja sudah menyanjung pemain setinggi langit. Seperti pengurus PBSI saja jadinya kita ini yang selalu mendengungkan kemenangan di turnamen kecil sebagi tone posisitif bagi public relation kepengurusannya. Padahal kemenangan kemenangan itu hanya merupakan letupan letupan kecil yang harus terus diupayakan dengan keras agar menjadi ledakan prestasi yang besar, konsisten dan berkesinambungan. Kalau Fitriani, gregoria Mariska, Lindaweni sudah menang beberapa kali di turnamen tingkat superseries itu baru pertanda masa kejayaan sudah datang !!

Kalau itu sudah terjadi barulah kita melihat kebangkitan tunggal putri kita mendekati atau menyamai era susi susanti 20 tahun yang silam. Masalahnya di luar sana banyak sekali pemain tunggal putri yang masih muda dan berkualitas bagus siap untuk menghadang pemain pemain tunggal putri kita yang masih muda macam Fitriani, Gregoria Mariska atau boleh ditambahkan Hanna Ramadhini yang pernah juara di Vietnam Grand Prix juga.

Lihat saja kemarin sehabis mengalahkan Busanan ongbumrungpham, Fitriani ditekuk oleh pemain jepang yang umurnya sama dengan dia 17 tahun yaitu Saena Kawakami. Malah di Indonesia Internasional Challenge 3 pemain muda kita aurum Octavia Winata, Fitriani dan Hanna Ramadhini dihabisi pemain oleh satu pemain muda Korea Kim Na Young. Hal serupa bisa terjadi dengan Gregoria Mariska yang masih berusia 16 tahun itu. Dia bisa menang di turnamen apapun dan disanjung setinggi langit tetapi dia bisa kalah dengan pemain pemain sebaya dari Jepang, China, korea, dan yang lainnya.  Apalagi lindaweni yang usianya tidak muda lagi, banyak sekali pemain tangguh di atas kemampuannya ataupun sejajar dengan kemampuannya yang setiap saat bisa mengalahkannya. Kalau nggak percaya lihat saja di turnamen mendatang di Japan Open dan korea Open 2015.

Oleh sebab itu pemetaan kekuatan lawan mesti dilakukan baik pemain, pelatih maupun fansnya. Jangan cepat puas dengan letupan letupan kecil prestasi tunggal putri kita saat ini apalagi apabila letupan letupan kecil prestasi mereka diikuti ledakan sanjungan di media social dan cicizen journalism yang membahana. Itu bisa menyesatkan dan melumpuhkan mereka. Belajarlah dari China dan jepang dalam menghandle pemain pemain mudanya He Bingjiou, Qin Jinjing, chen Yufei, Chen Xioxin dari China sangat hati hati diturunkan di turnamen Internasional, Begitu juga dengan Akane yamaguchi, Aya Ohori, Saena Kawakami, Moe araki, juga diperlakukan sangat hati hati dalam memilih turnamen, mereka tidak mau anak anak muda ini hancur karena sanjungan yang berlebihan dari fans nya mana kala membuat kejutan ketika mengalahkan pemain besar. Kan kalau disanjung setinggi langit jatuhnya kan  pasti sakit !! Jadi ? sabarlah menanti Susui susanti yang Baru !!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline