Lihat ke Halaman Asli

Eddie MNS Soemanto

Penikmat Humor

Uang Psikotes

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

FITRI, satu dari ribuan pencari kerja dan (mungkin sangat) butuh kerja di Jakarta, menulis di Surat Pembaca Kompas tanggal 16 Juli 2010, bahwa dia melamar di sebuah perusahaan dan mengikuti wawancara. Setelah wawancara dia diharuskan membayar Rp.700.000,- untuk biaya psikotes. Karena mungkin sangat butuh sebuah pekerjaan, Fitri, membayar Rp.500.000,- diawal dan akan melunasi pada saat yang bersangkutan dinyatakan lulus.

Yang menjadi pertanyaan Fitri ini, kenapa harus bayar? Jujur saya jawab, kenapa mau? Apalagi setelah Fitri ini melihat profil perusahaan ini se-sampai di rumah, bahwa perusahaan yang dilamarnya ternyata sejak tahun 2009 banyak pencari kerja yang kecewa dan merasa tertipu dengan perusahaan tersebut. Apa lacur? Melayanglah uang Rp.500.000,- yang mungkin sangat berguna sekali bagi Fitri untuk membeli kebutuhan lain.

Bayangkan dalam sebulan ada seratus pelamar yang ‘dikerjai’ oleh perusahaan macam itu, Rp.50.000.000,- uang gampang masuk kas. Bagi pelamar macam Fitri, belum jadi pegawai saja sudah digerogoti, kononlah, kalau memang perusahaan itu ada, apa gak mungkin jadi sapi perahan para pekerjanya? Gaji di bawah UMR, telat pula dibayar. Tunjangan-tunjangan lain praktis tak ada, (sebab karyawan atau pekerja adalah orang-orang kontrakan). Karena perusahaan benar-benar menerapkan prisnsip ekonomi: modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Cerita model begini tidak sekali ini kita dengar. Orang-orang ‘hebat’ mencari celah dari mungkin keluguan dan ‘kedunguan’ orang lain dengan cara paling simpel: membuka lowongan pekerjaan tapi pekerjaannya di antah berantah.

Tapi di sini pulalah dituntut ilmu pengetahuan dari para pelamar. Gunakan pengetahuan itu untuk mencari info, dan bertanya ke sana ke mari tentang sesuatu yang dilamar. Jangan asal terbuai dengan nama megah perusahaan berlokasi di tempat mentereng, lalu beranggapan perusahaan itu bonafit. Bonafitnya mungkin betul, tapi bonafit dalam menipu orang. Melamar anak orang saja belum tentu pula kita harus membayar langsung, masa ini yang butuh karyawan dia, kita pula yang harus membayar jasa psikotes. Mestinya sebagai calon karyawan di sini kita harus berpikir kritis, buat bayar jasa psikotes saja mereka tak punya uang, gimana nanti mereka menggaji kita? Nah lo…. Lupakan melamar pada perusahaan macam begini.@18VII10




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline