TEMAN saya yang bekerja sebagai manejer di sebuah perusahaan, bercerita bahwa dia baru saja mendapat bos baru lagi. Padahal bos yang lama baru beberapa bulan menjabat. Apakah bos lama punya kasus? Tanya saya. Tidak. Jawab teman saya. Kabarnya, kepindahan bos lama hanya karena masalah sepele. Bos lama tidak bisa marah kepada anak buahnya. Ah, masa sih? Sergah saya. Iya. Isyunya begitu. Bos lama itu orangnya sama sekali tidak bisa marah.
Benar tidaknya cerita teman saya di atas soal bos lamanya, saya geleng-geleng kepala sendiri. Bisa saja bos lamanya itu selain tidak bisa marah juga tidak mumpuni untuk memimpin. Memimpin itu kan kelihatannya saja yang gampang. Walau seseorang sudah dinyatakan lulus tes untuk menjadi pemimpin (baca: kepala), tetap memimpin itu bukan hanya berdasarkan IPK yang tinggi saja. Banyak orang pintar yang terjebak ke dalam amarah karena ketidak-luwesan dalam memimpin. Arogansi adalah tabiat utama. Hobi. Kadang untuk menutupi kekurangan atau ketidaktahuan, amarah bisa menjadi senjata untuk menutupi kedunguan tersebut. Betul, tiap bulan beli buku (kepribadian) dan langganan majalah top habis, tetapi kebanyakan hanya buat pajangan.
Tidak usah jauh-jauh, saya contohkan saja keadaan dilingkungan saya. Nyaris setiap hari marah dari seorang pimpinan (baca: kepala) adalah hal yang lumrah ditemui. Rasanya kalau gak marah, gak gaya deh menjadi pimpinan. Masalah kecil saja bisa jadi besar. Hal yang mestinya gampang, diputer-puter hingga menjadi ruwet. Serunya malah sampai mengancam, sepertinya bawahan itu adalah makhluk paling bodoh sedunia.
Pertanyaanya, kenapa harus marah? Kalau anak buah itu, sekali, dua kali, tiga kali dikasih tahu gak ngerti-ngerti juga, mestinya sang bos instropeksi diri (dong). Pasti ini ada sesuatu yang salah di gue. Orang kalau mempunyai kharisma, jangankan marah, mendehem saja orang lain sudah segan. Tetapi banyak bos tidak, mentang-mentang sudah ikutan training sampai tingkat 70, bawahan adalah pekerja rodi yang cocok jadi pesakitan. Salah sendiri ngapain lama-lama jadi bawahan. Tidak sedikit bos yang hanya mengejar kuantitatif daripada kualitatif, itu pun hanya untuk –maaf- gengsian di antara mereka-mereka para bos. Berdiri kita sama tinggi, duduk –sorry- kita tidak sama rendahnya. Kursi kita beda, Bung.
Lantas kenapa marah bisa menjadikan seseorang itu layak atau tidak menjadi seorang pimpinan? Tidak semua persoalan harus dengan marah. Tidak semua omongan untuk kelihatan pintar harus dengan marah. Tidak semua perilaku agar supaya kelihatan gagah bergaya dengan marah. Dan tidak pula semua hambatan atau kendala harus diselesaikan dengan marah. Tetapi sayangnya menu yang satu ini masih menjadi santapan bagi sebagian orang. Bahkan mungkin orang itu ada di dekat Anda.@
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H