Mungkin aku tidak benar benar tahu tentang semua hal. Aku tidak tahu, apakah tanah ini sudah benar benar tandus? Ataukah memang tak ada tanaman yang mau hidup di sini? Tanah terbolak Balik. Bahkan sisa akar tanaman pun tak pernah lagi terlihat di sana. Yang tersisa hanyalah bercak putih yang tersebar hampir di seluruh permukaannya.
Dulunya tanah ini hijau permai. Tanaman menghasilkan tumbuh subur. Sayur mayur, tomat dan cabai, bahkan terong terongan menutupi permukaan. Dua Minggu sekali bedengan sayur berganti yang baru. Enam puluh hari sekali cabai dan tomat mulai terlihat memerah siap petik. Sedang terong dengan warna ungu, hijau dan kuning mengkilat menambah gairah perkebunan di sekitarnya.
Kini, setelah seratus hari aku tak pernah mendatanginya, semua sudah benar benar berubah. Apakah ada yang tanah sesalkan? Pertanyaan yang tak mungkin terjawab. Sebab tanah tak dapat bicara. Selama ini ia dengan rela menerima segala perlakuan demi sebuah harapan, yaitu menghasilkan. Sehingga bermanfaat bagi makhluk di sekitarnya.
Kulihat pondok kecil di tepiannya. Kudekati. Tampak bapak tua menyeka peluh di keningnya. Lalu mengibaskan topi purunnya. Mungkin dia ingin menciptakan angin. Sebab matahari siang memanggang padang gersangnya. Cangkul tergeletak begitu saja di tanah kering. Sedangkan dua ember di sampingnya masih terisi air yang mulai menguap diterpa suhu tinggi.
"Selamat siang, Pak." Aku menyapa dari balik topi caping yang baru saja kubeli di pasar tradisional tadi pagi.
"Siang. Eh... Nak Endi. Apa kabar?"
"Alhamdulillah, baik Pak. Kabar Bapak bagaimana?"
"Baik. Alhamdulillah "
"Tapi ini, Pak?" Aku mengarahkan jari telunjukku ke padang gersang di sekeliling pondok.
"Oh... ini sudah biasa kalau habis panen."
"Maksudnya, tanahnya jadi jelek?"