Lihat ke Halaman Asli

EcyEcy

Pembelajar

Menjelajahi Masa Depan

Diperbarui: 8 Februari 2020   14:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com


Kulihat langit malam, banyak bertabur bintang. Di sisi kanannya tergantung rembulan. Bentuknya bulat sempurna seperti bola terang. Sedangkan latarnya hanya hitam. Tak kutemui warna lain. Semuanya serba kelam. Padahal sinar bulan begitu sempurna. Jatuhnya indah sampai kepermukaan. Meskipun awan selalu menghalangi pendarnya.

Sambil bersandar pada salah satu bangku taman yang mulai dingin, aku membayangkan wajah ayunya. Padahal hatiku tak ingin mengungkap duka itu. Tapi entahlah, mengapa ingatan lalu terus saja mengejarku. Seperti tak ada lagi kenangan lain selain dirinya. Hingga bayangan wajahnya berpendar sempurna. Layaknya purnama.

***

"Wik, maafkan aku. Tugas ini harus kulakukan. Semua ini demi masa depan kita juga, kan?"

Kamu hanya terdiam. Tak menoleh sedikit pun ke arahku atau pun menyanggah pernyataan itu. Rasanya pembicaraan kita malam itu jadi terasa kaku. Tidak ada canda terucap dari bibirmu. Aku tahu kamu marah atas keputusanku. Tapi job ke negeri kincir angin itu mempertaruhkan pekerjaanku. Karena itulah, dengan berat hati, kuambil tawaran itu. Hingga akhirnya kita harus terpisah jarak dan waktu.

"Kata Dilan, perpisahan adalah upacara untuk merayakan hari hari penuh rindu. Kamu percaya itu kan, Wik?"

"Ah... mana ada. Itu kan hanyalah ucapan para perayu wanita saja di film film romansa." Lalu kamu pergi meninggalkanku.

Kupikir diammu adalah bentuk setuju atas sebuah keputusan yang kupilih. Ternyata aku keliru. Kau menghilang dariku. Awalnya aku tak menyadari karena padatnya rutinitas mengurus perpindahan dan keberangkatanku. Tapi, ketika hadirmu tak pernah ada lagi hingga aku meninggalkan Bandara internasional itu, aku baru sadar bahwa aku benar benar kehilanganmu.

Setelah lima tahun berlalu, aku mendengar lagi kabarmu. Lewat Sandra sahabatmu, aku tahu kamu bukanlah Wika yang dulu. Lewat sebuah foto undangan pernikahan itu, aku tahu kau telah lepas dariku. Kamu yang dulu milikku sekarang berada dalam pelukan orang yang tak pernah kutahu. Kamu telah benar benar melupakanku.

Kadang aku berpikir, betapa mudahnya kamu melupakanku. Padahal aku masih berharap padamu. Hingga aku tak bisa benar benar meninggalkanmu. Matamu yang indah. Senyummu yang manis. Candamu yang membangunkan semangatku di kala lelah. Kata kata mesramu yang selalu tergiang di telinga. Hingga mimpi mimpi bahagia yang kita susun bersama. Semua seakan nyata dalam ingatanku.

***
Kini ketika kita hampir petang. Ketika dua keluarga bertemu dalam sebuah jalinan, aku benar benar bisa merelakanmu. Kulihat senyum bahagia diwajah anak anak kita. Tampaknya mereka lah penerus mimpi kita yang terlupakan. Bukan saja oleh kehidupan. Tapi oleh buaian lelap mimpi malam. Dalam bahagia itulah aku terbangun dari tidurku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline