Pertama melihatmu, di awal masa orientasi mahasiswa, kamu begitu asik dan supel dalam bergaul. Tak pandang bulu tak pilih teman. Meskipun aku tahu kamu anak super berkecukupan, namun kawanmu ada dalam berbagai tingkatan kasta perekonomian.
Aku begitu gemas melihat polahmu setiap waktu. Kamu begitu mempesona ku. Hingga kedudukan ku sebagai panitia ospek saat itu kugunakan betul betul untuk selalu mengganggumu. Aku memang usil. Sebab aku mau tahu seberapa mandirinya kamu dalam menghadapi setiap permasalahan yang menderu.
"Hitung biji kacang hijaumu!" Aku memintanya menghitung 100 biji kacang hijau yang dibawanya hari itu.
Dia fokus pada hitungannya. Hingga dia tak pernah sadar dua biji kacang hijau menggelinding ke arahku. Kuinjak biji itu dengan sepatuku. Alhasil, biji kacang hijaunya tak pernah genap 100. Dan aku bebas memberikan sangsi atas kelalaiannya waktu itu.
Tapi gadis berjilbab biru itu hanya menurut padaku. Sangsi apa pun tak membuat wajahnya cemberut atau pun malu. Biasa saja dia melakukan semua yang kutugaskan padanya. Menyapu halaman kampus sampai membersihkan buku buku.
"Kau tahu, ada yang salah dengan kamu."
"Apa salah saya, Kak?" tanyamu dengan muka rata tanpa takut padaku.
"Kamu selalu biru."
"Kakak tak suka?"
"Justru itu aku cemburu."
Sekali lagi wajahmu rata tanpa makna menatapku. Tak ada keterkejutan di sana. Tak ada marah apalagi senyuman menggoda. Rata tak beriak sama sekali padaku.