Melihat anak zaman sekarang sibuk dengan gawainya, ingatanku beralih ke masa kecilku dulu.
"Ma, Ecy pergi ke mushola." Mulut mungilku meminta izin pada mama sebelum berangkat mengaji.
Begitu semangatnya aku jika berangkat mengaji. Setiap sore setelah sholat ashar, aku pergi ke mushola dekat rumah untuk belajar Al Qur'an. Belajarnya sich habis magrib tapi kami selalu lebih dulu pergi ke mushola agar bisa berkumpul dan bermain bersama teman teman.
Halaman mushola yang luas dan datar memungkin aku dan teman teman bermain apa saja di sana. Rata rata permainannya secara berkelompok bukan sendiri sendiri. Karena itulah, aku memiliki banyak teman. Bahkan temanku yang non muslim pun ikut bermain bersama kami di depan mushola.
Aku pernah pulang menangis karena kepalaku kena bilah kayu akibat bermain patuk lele. Pukulan tangannya Robbi yang bidik membuat bilah kayu yang terbuat dari ranting kecil melayang kuat kearahku. Sayangnya kedua tanganku yang sedang kena giliran jaga tak gesit untuk menangkapnya. Akhirnya bilah itu mendarat tepat di dahi mulusku.
Belum lagi badan yang sakit habis dilempar bola karet saat main cinoboi. Lemparanku yang tepat sasaran pada deretan kaleng kaleng susu kental itu membuat kelompok kami harus ekstra giat menghindar dari lemparan bola lawan sambil menyusun tumpukan kaleng kembali seperti semula. Sayangnya aku tak pandai menghindar. Alhasil bola kasti mendarat tepat di lenganku.
Ditambah baju yang kotor duluan karena bermain petak umpet dan benteng bentengan bersama teman. Permainannya tak menguras energi lebih tapi perlu taktik untuk bersembunyi atau menghindari kejaran lawan. Aku rela bersembunyi di kolong mushola agar tak mudah ditemukan teman yang jaga. Alhasil bajuku kotor semua dan harus ganti lagi sebelum sholat magrib tiba.
Aku bukan anak yang nakal. Aku hanya kebanyakan akal. Itu kata papaku. Mama tak pernah memarahiku. Mama sering mengingatkanku saja agar aku lebih berhati hati. Karena menurut mama, permainan yang kulakukan justru membuat tubuhku sehat dan tak mudah kena penyakit. Dan itu terbukti. Daya tahan tubuhku lebih kuat. Meskipun kelelahan sehabis bermain membuat tidurku putar putar tak karuan. Sampai semua bantal dan guling berpindah ke bawah ranjang.
Bagiku, bermain bersama teman merupakan kebahagiaan tersendiri. Sama rasanya seperti saat aku mengejar kupu kupu dan mampu menangkapnya dengan kantongan plastik bening yang ada di tanganku. Sama juga rasanya saat aku berhasil menyusun kembali kepingan puzzle baru yang dihambur adikku. Sepertinya aku tak punya rasa lelah. Selalu ada energi yang berlebih untuk aku bermain bersama teman temanku.
Bagiku bermain di luar rumah seperti mendapatkan kemerdekaan. Bebas menikmati hamparan alam yang luas untuk di jelajah. Mendaki gunung berpasir di sekitar rumah merupakan kegemaranku bersama teman teman. Kami membayangkan gunung pasir itu adalah hamparan salju yang putih. Jika hujan, permainan beralih ke lembah gunung. Dimana ada genangan air yang membuat naluri berenang kami muncul tiba-tiba.
Ban dalam bekas mobil milikku langsung kami kompa bergantian dan kami bawa ke kolam jadi jadian itu. Dengan riang gembira kami naik di atasnya seakan menunggangi perahu kayu. Tak ada rasa takut sakit karena setelah itu pun saya tak pernah lupa mandi di rumah.