Lihat ke Halaman Asli

EcyEcy

Pembelajar

Keluarlah dari Botol Penyesalan Itu!

Diperbarui: 23 Juni 2019   23:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com


Melihatmu lemah, aku begitu pilu. Terkurung dalam bayangan silam kadang menyilaukan. Ingin dilihat namun menyakitkan. Penyesalan. Seperti itulah akhirnya. Membekas dalam jejak langkah kedepan. Menorehkan tinta hitam kegalauan. Melilit leher kehidupan. Memporakporandakan pikiran. Bahkan perasaan pun seperti diaduk berlawanan di dalam botol kaca tak bertuan.  

Namun tak pernahkah kau lihat deretan mobil cantik di lapangan Murjani itu? Dengan cahaya warna warninya yang indah, sesungguhnya mereka sedang mentertawakan kamu. Betapa banyak perubahan yang telah kamu lalui. Namun kamu sendiri tak pernah berubah. Masih terpaku dengan penyesalan masa lalu. Mengapa kau uapkan begitu saja pesan mereka. Bahwa hidup itu indah tuk di jalani, bukan disesali.

Coba kau pandangi satu-satu para penjual jagung bakar di pinggir jalanan itu. Mereka mengipasi bara api agar tetap menyala dalam dinginnya malam hingga bisa menghangatkan pesanan yang akan disuguhkan. Tapi kenapa kamu malah redup dalam kelamnya? Tak kau rasakan kah kehangatan cinta dari teman lamamu yang sudah mulai mual menunggu kepastian darimu?

Cobalah berjalan ke depan. Jangan lagi kau tengok kebelakang. Betapa indah lukisan di atas trotoar jalanan yang berusaha menghiburmu. Meski mereka berada diantara debu dan bisingnya kota. Mereka tak pernah menyesal menjadi seperti itu. Walau setiap hari keindahannya tetap diinjak oleh langkah kaki bocah-bocah tanpa beban. Mereka tak pernah bersedih.

Tapi aku pusing melihat tingkahmu. Selalu takut sendiri duduk di pinggiran air mancur yang sedang mempertontonkan jatuhnya ke lantai ketika Pak polisi jalan berkeliling mengawasi muda mudi. Apa yang kau takutkan? Bukankah ada aku yang masih sanggup menerima ketidakhirauanmu dari jauh melalui puisi-puisiku? Tinggal kau pandangi aku di atas panggung itu, dia pasti tau kamu tak sendiri lagi.

Cobalah kau dengarkan! Betapa diksi tentang luka yang kulontarkan bukan saja tentang sakitnya bumi. Namun juga sakitnya hatiku menunggu kepastian darimu yang tergambar terang dalam remang malam itu. Meski tak semua orang tahu. Tapi kuyakin, jika saja telingamu mau menerima suaraku yang terbawa sang bayu, pastilah kau tahu makna dalam diksi-diksi lara yang sebenarnya untukmu.

Keluarlah dari botol penyesalan itu! Akan kurentangkan kedua tangan ini menantimu. Bersedia memeluk rasamu. Agar kehangatanku memanaskan semangat dalam dirimu. Seperti kopi susu yang selalu kau nikmati di pagar tepi taman di bawah redup lampu jalanan dekat patung binatang di setiap malam minggu. Sadarlah! Kamu tak sendiri, kawan. Masih ada aku yang selalu mau menikmati malam Minggu bersama denganmu. Meski hanya hubungan semu.


"Rul, boleh aku duduk di sampingmu?"


"Boleh, Ra!" Pandangannya tetap tak berpaling dari keramaian jalanan kota.


"Sama siapa?"


"Seperti biasa, sendiri."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline