Semut rang-rang menantang fajar. Berjalan di kokohnya ranting kopi. Mendongakkan kepala tinggi-tinggi. Lalu bertanya, dapatkah pagi menyuguhkan hangatnya mentari? Layaknya menyajikan secangkir kopi hangat, untukmu. Hingga kabut kelabu tersibak lalu pergi. Dan kau tahu bahwa aku tak lagi mengeja janji.
Dan ketika mentari berdiri di kepalaku, sinar teriknya membentuk bayang semu di kaki. Kutahu waktu telah berlari meninggalkanku. Meskipun orang sibuk bergulat dengan masa lalu, menggapai asa meski gagu. Aku terus mengejar mimpi, bergelut dengan ragu. Hingga rinduku tlah tersampaikan padamu.
Lihatlah semut rang-rang. Sembunyi di balik lipatan helai hijau daun kopi. Bukan karena tak mampu berdiri. Namun menjauhi sisa perang sebab hari hampir petang. Semut rang-rang memberi kesempatan pada senja untuk mendekap siang. Berdamai dengan hati, hingga aku tak lagi terpenjara dalam kata-kata sepi.
Bintang malam bertandang. Bulan menemani dalam keraguan. Orang-orang pagi lelap dalam lautan kelam. Terbuai mimpi dalam harapan. Aku berdiri menyapa dingin. Memanggil sang bayu tuk menemani. Sedang perang kata mulai berlayar. Dan otak menggigil, tak mampu menyimpan itu. Maka angin mengirimkan sampan pesan padamu. Agar kau tahu bahwa aku tlah bebas dari belenggu kata rindu.
Salam hangat salam literasi😊🙏
EcyEcy; Benuo Taka, 30 Maret 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H