Siapakah Kamilus Tupen? Mungkin tak banyak orang yang mengenalnya. Ia adalah petani dan warga Kampung (Lewo) Honihama, desa Tuwagoetobi, kecamatan Witihama, Adonara, NTT. Namanya mulai dikenal di tingkat nasional setelah kelompok tani yang dibidani dan dipimpinnya, yaitu Kelompok Tani Lewowerang (KTL), berhasil meraih penghargaan Kusala Swadaya. Kusala Swadaya adalah penghargaan di bidang kewirausahaan sosial yang diadakan Yayasan Bina Swadaya di Jakarta. KTL anggotanya memang kebanyakan para petani, tetapi KTL bukanlah kelompok tani biasa sebagaimana yang kita kenal. KTL adalah sebuah inovasi dari seorang Kamilus Tupen yang punya komitmen kuat untuk memberikan solusi atas persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang dihadapi masyarakat kampung. KTL merupakan badan usaha yang dimiliki secara kolektif oleh masyarakat. Sebagai badan usaha rakyat, KTL menerapkan sistem ekonomi yang dilandasi nilai-nilai kerjasama dan solidaritas antar warga. Melalui dan bersama KTL, Kamilus mengoreksi sistem ekonomi modern yang melahirkan banyak penderitaan dalam masyarakat. Dengan itu ia sekaligus membuktikan bahwa sistem ekonomi alternatif itu mungkin.
Pergulatan Hidup sebagai TKI
Menjadi salah satu juri dalam penganugerahan Kusala Swadaya, membuat saya beruntung dapat bertemu dan mengenal lebih jauh gagasan, kerja, dan perjuangan Kamilus untuk masyarakatnya melalui kelompok tani yang dibidani dan dipimpinnya. Banyak hal yang bisa ditulis dari kerja dan perjuangan seorang Kamilus Tupen bersama KTL-nya. Dalam hal ini saya memilih untuk mengangkat sosok Kamilus sebagai seorang mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Sebab apa yang diperjuangkan dan dikembangkan Kamilus dengan KTL-nya tidak terlepas dari pengalaman dan pergulatan hidupnya sebagai mantan TKI. Sebagai mantan TKI, apa yang dilakukan Kamilus sangatlah istimewa.
Ada banyak TKI yang sukses dan kembali ke tanah air dengan membawa remitan. Ada juga mantan TKI yang sukses dalam memanfaatkan hasil kerjanya untuk mengembangkan usaha produktif atau kegiatan sosial lainnya. Saya menyebut para mantan TKI yang sukses dengan usaha produktif dan atau dengan kegiatan sosial ini sebagai TKI “pembelajar”. Bila dibandingkan dengan jumlah TKI “sukses”, TKI “pembelajar” ini masih sangat terbatas jumlahnya. Kondisi ini bisa dipahami mengingat sistem penempatan dan perlindungan TKI yang dijalankan pemerintah Indonesia tidak menyiapkan para TKI untuk menjadi TKI pembelajar.
Sistem penempatan dan perlindungan TKI – termasuk sistem pendidikan bagi calon TKI –condong hanya menyiapkan TKI untuk menjadi pelayan dan bahkan budak sang majikan. Sistem tersebut tidak menyiapkan TKI untuk berani berhenti menjadi TKI dan mengubah diri menjadi “majikan”. TKI tidak disiapkan untuk berani bermimpi dan merencanakan serta mencapai target tertentu untuk diri, keluarga, dan komunitasnya. Pendek kata, sistem penempatan dan perlindungan TKI tidak menyiapkan calon TKI untuk menjadi TKI pembelajar yang siap dan mampu menyerap pengetahuan, informasi, ketrampilan, cara berpikir, cara hidup, dan segala hal yang bisa dipelajari selama bekerja di luar negeri. Sebaliknya, sistem penempatan dan perlindungan TKI cenderung menciptakan TKI daur ulang dan melahirkan generasi TKI dengan target untuk memperbanyak remitansi ekonomi dan memperbesar devisa bagi negara. Pemerintah sendiri tak punya target dan rencana yang jelas untuk memutus rantai daur ulang dan regenerasi TKI di desa-desa. Yang terjadi, desa-desa semakin miskin dan kabupaten pengirim TKI meningkat lebih dari 300 persen dalam tiga tahun terakhir. Ada memang target pemerintah untuk menghentikan pengiriman TKI di sektor domestik, tapi tidak jelas bagaimana target itu hendak dicapai. Membebaskan rakyat dari jerat ekonomi perbudakan serasa seperti pungguk merindukan bulan. Terlebih bila mengingat bagaimana Republik ini dikelola dengan sistem ekonomi yang semakin eksploitatif terhadap bumi dan rakyatnya sendiri.
Sementara dari kampung pedalaman di pulau Adonara, Kamilus Tupen, 49 tahun, seorang petani berpendidikan SMA yang tidak pernah menikmati layanan pendidikan bagi calon TKI – sebagaimana dialami para calon TKI asal NTT pada umumnya – justru mampu menjadikan dirinya sebagai TKI pembelajar dan membebaskan warga kampungnya dari ekonomi perbudakan. Bahkan Kamilus bukan hanya menjadi TKI pembelajar. Ia juga adalah TKI pejuang yang turut membangun peradaban bangsanya. Salah satu prestasinya adalah ia berhasil membuat banyak warga di daerahnya berhenti menjadi TKI. Bersama kaum muda di kampungnya, ia membangun usaha bersama yang dimiliki bersama dengan tujuan untuk kesejahteraan bersama. Ia juga berhasil mengembangkan sistem ekonomi berbasis kerjasama dan solidaritas, dengan bertolak dari tradisi gemohing (tolong menolong) yang berlaku di kampungnya. Berangkat dari kearifan lokal itulah ia mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi para petani di kampungnya. Ia juga mengoreksi sistem ekonomi yang dianut masyarakat modern yang melahirkan ketimpangan dan penderitaan bagi banyak orang. Ide dan kerja besar yang dilakukan Kamilus lahir dari pengalaman dan pergulatan hidup sebagai buruh migran di Malaysia dan dipicu oleh kehendak kuat untuk mengatasi kemiskinan dan kesulitan hidup yang dihadapi warga di kampungnya.
Selama sepuluh tahun menjadi TKI di Malaysia dan puluhan tahun menjadi warga daerah NTT yang distigma sebagai daerah miskin, Kamilus menyaksikan dan merasakan ada yang tidak beres dengan sistem ekonomi yang dijalankan dan dikembangkan masyarakat modern sekarang. Ia melihat bagaimana seorang toke (majikan) pemilik modal bisa kaya raya hanya dengan mempekerjakan seorang manajer dan merekrut banyak orang miskin sebagai buruh untuk menjalankan usaha. Sang majikan tidak perlu bekerja keras karena kerja keras itu kewajibannya buruh. Ia juga tidak perlu memiliki kecakapan manajemen karena ada manajer yang mengurus segalanya. Ia mempelajari bagaimana majikannya di Malaysia bangun tidur buka usaha, panggil manajer dan cari orang-orang miskin dari NTT. Majikan pinjam uang dari bank dan kemudian diserahkan pada sang manajer untuk dikelola. Setelah itu majikan tidur lagi. Ketika bangun, sang majikan tinggal bertanya berapa keuntungan yang didapatnya.
Sistem ekonomi yang tidak beres itu ia rasakan juga dalam kehidupan masyarakat di kampungnya. Banyak orang meninggalkan kampung karena sistem pengelolaan kampung tidak membuat orang berdaya. Orang beramai-ramai meninggalkan kampung dan mencari penghidupan di tempat lain, entah di kota-kota besar atau di negara lain. Kehidupan di kampung dirasa semakin berat. Untuk mendapatkan satu kilogram beras saja sangatlah sulit. Sementara anak-anak muda usia sekolah juga tidak bisa melanjutkan sekolah.
Menurut Kamilus, bukan hanya sistem pengelolaan kampung yang tidak beres, sistem pengelolaan negara ini juga tidak beres. Sistem pendidikan dan sistem ekonomi yang dijalankan negara ini membuat rakyat tidak berdaya. Negara dikelola dengan sistem yang cenderung menguntungkan para pemodal dan kelompok kaya. Padahal menurut Kamilus, negara ini tidak miskin. Negara ini kaya, sistem pengelolaan negara inilah yang menjadikan rakyatnya miskin. Orang-orang di Jawa, misalnya, yang menjadi pusat pengembangan kapitalisme mendapatkan keuntungan dengan menanggung biaya transportasi yang lebih rendah dibandingkan rakyat yang di pedalaman. Akibatnya, orang-orang di kampung dipaksa menjual murah hasil taninya dan membayar mahal barang-barang non pertanian yang tidak mereka hasilkan. Di Malaysia, ketimpangan seperti ini tidak ia temukan. Sebab pemerintah Malaysia menyediakan sistem transportasi dan memberikan subsidi kontainer yang membuat harga barang di pedalaman sama dengan di kota.
Ketidakberesan yang dilihat dan dirasakan Kamilus dalam sistem ekonomi kapitalis membuat Kamilus berpikir, jika rakyat bisa menghimpun modal dan berusaha bersama maka rakyat juga bisa menjadi majikan perusahaan. Dengan cara demikian, kekayaan yang selama ini mengalir ke segelintir pemilik modal bisa terbagi merata pada rakyat. Ide membangun badan usaha rakyat terus mengental di benak Kamilus. Saat itu ia belum tahu bagaimana ide ini dijalankan.
Tahun 2001 Kamilus memutuskan berhenti menjadi TKI. Ia merasa, selama bekerja sebagai TKI ia menjalani kehidupan yang palsu. Hidupnya hanya terfokus untuk mengejar uang. Potensinya sebagai pribadi, sebagai manusia utuh sama sekali tidak tergali. Ia tidak mengenali siapa dirinya dan apa tujuan hidupnya. Ia merasa terperangkap dalam kehidupan palsu yang ditawarkan sistem ekonomi kapitalis. Ia melihat dan merasakan bagaimana sistem ekonomi ini mengajarkan orang untuk bersaing dan menerapkan hukum rimba. Menurutnya, sistem ekonomi yang dianut masyarakat modern ini sangatlah jahat karena mengubah manusia menjadi hamba uang dan menjadikan uang lebih bernilai daripada kehidupan. Ibaratnya, untuk minum kopi saja orang harus bertikai. Orang baru bisa menjadi kaya dengan mempermiskin orang lain, dengan mengambil sebanyak-banyaknya dari alam.
Dalam kesadaran Kamilus, sistem ekonomi yang dianut masyarakat modern tidak melihat orang lain sebagai dirinya sendiri. Ini yang membuat banyak pemilik perusahaan tega mematikan perusahaan pesaing agar semakin banyak konsumen beralih padanya. Ia pun menyaksikan, banyak majikan dan pemilik perusahaan tega mengeksploitasi buruh, merampas lahan warga, dan melakukan kejahatan lain demi memperbesar keuntungan. Sistem ekonomi yang dianut masyarakat modern juga tidak melihat alam ini sebagai ibu yang memberikan kehidupan bagi semua makhluk. Itulah mengapa para pengusaha bisa berebut untuk sebanyak-banyaknya menguasai dan mengeksploitasi alam demi uang. Padahal, menurut Kamilus, leluhur mengajarkan bahwa alam ini untuk dipelihara dan dikelola demi keberlangsungan kehidupan, bukan untuk dimiliki dan dieksploitasi. Kamilus mengaku, kesadaran ini benar-benar membuatnya gelisah karena ia telah menjalani dan turut mendukung berlangsungnya kehidupan palsu.
Menerapkan Gagasan
Kegelisahan untuk menjadi dirinya dan menjalani hidup yang sejati membawanya kembali ke kampung setelah 10 tahun menjadi TKI dan dua tahun bekerja di Larantuka. Mimpi membuat badan usaha rakyat dan mengembangkan sistem ekonomi berbasis solidaritas terus bergaung dalam benaknya. Mulailah ia menerapkan gagasannya itu dalam organisasi “Gemohing” yang sudah berjalan di kampungnya. Namun idenya ini mendapat tantangan dari para tua-tua dan kepala desa. Mereka menolak sistem yang ia bangun. Mereka merasa sudah nyaman dengan sistem yang ada. Kamilus dianggap telah mengobrak-abrik sistem yang sudah mapan itu. Menghadapi tantangan para tua-tua dan kepala desa, Kamilus memilih mundur agar organisasi yang sudah berjalan lama itu tidak hancur. Saat itu ia merasa idenya untuk membangun badan usaha rakyat dan mengembangkan ekonomi berbasis solidaritas belum saatnya untuk dijalankan.
Tahun 2004 Kamilus memutuskan untuk fokus menggarap lahan dan menjadi petani. Ia menanam ubi kayu dan kacang tanah. Oleh para warga di kampungnya ia diejek dan dianggap tidak tahu cara bertani. Namun pada saat panen, warga berubah pikiran dalam menilai Kamilus. Kamilus mampu menunjukkan bahwa hasil produksi ubi kayunya jauh di atas produksi ubi kayu yang dihasilkan warga.
Pada Maret 2010, sekelompok anak muda mendatangi Kamilus dan mengajaknya mengembangkan gagasan yg dulu pernah disampaikan Kamilus pada mereka. Saat itu Kamilus tidak menganggap serius permintaan anak-anak muda itu. Ia merespon ajakan anak-anak muda itu dengan meminta mereka mengumpulkan sedikitnya 30 orang. Kalau mereka berhasil mengumpulkan 30 orang, ia bersedia memenuhi ajakan mereka. Kalau tidak tersedia 30 orang yang ia persyaratkan, maka ia menganggap ide tentang badan usaha rakyat dan sistem ekonomi solidaritas belum waktunya untuk dijalankan.
Di luar dugaan, malam harinya datanglah 32 anak muda yang meminta Kamilus memaparkan kembali gagasannya. Saat itulah ia memaparkan ide tentang kekuatan rakyat sebagai modal dan rakyat sebagai majikan. Idenya adalah badan usaha rakyat yang dijalankan dengan sistem simpan pinjam tenaga kerja. Ia mengajak setiap orang mengumpulkan Rp 100 ribu untuk simpanan pokok. Dalam waktu dua minggu, ada 70 orang yang mendaftar untuk bergabung dan terkumpullah tujuh juta rupiah sebagai modal. Sejak saat itu pula terbentuklah Badan Usaha Rakyat dengan nama “Kelompok Tani Lewowerang” (KTL), yang menjalankan usaha simpan pinjam tenaga kerja.
Usaha simpan pinjam tenaga kerja dijalankan dengan memadukan antara tradisi gemohing (kerja saling membantu/tolong menolong) dan koperasi kredit. Para anggota KTL membayar simpanan pokok sebesar Rp 100.000 dan simpanan wajib sebesar Rp 10.000 per bulan. Simpanan pokok dan simpanan wajib ini bisa dibayar dengan uang tunai atau dengan tenaga kerja. Warga yang menjadi anggota dapat meminjam dana dari KTL untuk memenuhi kebutuhannya, misalnya untuk mengolah lahan, membangun rumah, mengurus kebun, dan berbagai bentuk kegiatan ekonomi yang membutuhkan dana dan tenaga kerja. Dana yang dipinjam anggota dari KTL dikembalikan dalam waktu empat bulan. Peminjam dikenakan bunga sebesar 2 (dua) persen.
Bedanya dengan koperasi kredit, pinjaman anggota pada KTL tidak diberikan dalam bentuk uang tunai melainkan dalam bentuk voucher. Sekadar contoh, seorang anggota KTL meminjam dana untuk membangun rumah. KTL memberikan voucher pada anggota tersebut senilai jumlah dana yang dibutuhkan untuk membangun rumah. Dalam hal ini anggota yang meminjam dana untuk membangun rumah tersebut berperan sebagai “majikan”, yang akan membayar para buruh yang melakukan kerja gemohing membangun rumahnya. Para buruh yang dipekerjakan ini adalah sesama anggota KTL. Para buruh ini dibayar oleh majikan tidak dengan uang tunai melainkan dengan voucher yang diterimanya dari KTL. Para buruh selanjutnya akan menukarkan voucher tersebut dengan uang tunai pada KTL. Penukaran voucher dilakukan pada saat pertemuan KTL, yang diadakan pada setiap hari minggu.
Anggota yang meminjam dana dari KTL bisa mengembalikan pinjamannya dalam bentuk uang tunai atau bisa juga dengan tenaga kerja. Ini berarti, semua anggota KTL bisa berperan sebagai majikan dan sekaligus buruh. Di satu kegiatan (membangun rumah misalnya), seorang anggota KTL bisa berperan sebagai majikan yang membayar buruh dengan voucher, dan di kegiatan lain (mengolah lahan, misalnya) anggota yang sama bisa berperan sebagai buruh yang menerima voucher. Voucher yang diterima saat anggota tersebut menjadi buruh bisa digunakan untuk membayar pinjaman. Para anggota KTL yang berperan sebagai buruh dan melakukan kerja gemohing dihargai atau dibayar sebesar Rp 5.000 per jam untuk pekerja biasa dan Rp 6.000 per jam untuk pekerja trampil. Sesuai kesepakatan, para pekerja perempuan dihargai Rp 4.000 per jam. Sebab dalam kerja gemohing, perempuan melakukan kerja-kerja yang dinilai lebih ringan dari kerja-kerja yang dilakukan para lelaki. Dalam hal ini KTL menerapkan sistem upah imbang kerja, di mana pekerjaan yang sama mendapatkan upah yang sama.
Pertanyaannya, darimana Kamilus mendapatkan ide tentang sistem simpan pinjam tenaga kerja dan sistem pembayaran dengan voucher? Ide ini muncul setelah Kamilus melihat dan merasakan berbagai kesulitan hidup yang dialami warga di kampungnya. Beberapa di antaranya adalah pertama, kesulitan yang dialami seorang mama yang datang padanya untuk meminta pekerjaan di kebun untuk mendapatkan uang guna memenuhi kebutuhannya. Mama ini punya kebun luas namun tidak ada tenaga yang dapat membantunya menggarap lahan. Ia janda dan dua anaknya menjadi TKI di Malaysia. Kedua, seorang tante yang hidup bersama ibu dan beberapa saudara perempuannya merasa kesulitan membeli seng untuk mengatap rumah, padahal ia memiliki ternak babi. Ternak babi belum ada pembelinya. Ketiga, para petani di lahan tadah hujan mempunya banyak waktu luang yang tidak dimanfaatkan. Tanaman padi, jagung, umbi-umbian dan kacang-kacangan membutuhkan waktu kerja efektif empat bulan, kerja kebun untuk pemeliharaan jambu mete butuh waktu efektif tiga bulan. Kerja mengurus ternak juga tidak butuh banyak waktu. Praktis masih ada banyak waktu dalam satu tahun di mana para petani menjadi pengangguran terselubung. Keempat, celetukan para petani yang mengatakan “saat musim kemarau dan cuaca panas begini sangat rajin ke kebun untuk apa? Kalau ada uang banyak yang tersedia di kebun .... nah kita rajin pergi ke kebun untuk memenuhi kebutuhan hidup kita.” Kelima, pengalaman para anggota di salah satu koperasi kredit di daerahnya yang terpaksa menjual tanah untuk membayar pinjaman atau pergi merantau menjadi TKI. Saat itu Kamilus yang tahu menggunakan komputer dimintai bantuan membuat laporan keuangan oleh salah satu koperasi kredit di daerahnya. Dari situ ia jadi tahu bagaimana koperasi itu dikelola. Ia jadi tahu siapa saja warga yang memiliki pinjaman di koperasi itu. Ia kemudian mendatangi para warga tersebut dan mendapati kenyataan bahwa warga yang meminjam pada koperasi kredit itu terpaksa harus jual tanah untuk bayar utangnya ke koperasi atau terpaksa pergi merantau menjadi TKI. Kamilus menyimpulkan, koperasi kredit yang ada di kampungnya tidak menyejahterakan anggotanya. Koperasi itu tidak peduli pada nasib anggotanya. Koperasi itu tidak menggali ke dalam terkait nasib anggotanya dan juga tidak peduli untuk apa anggotanya meminjam uang dari koperasi. Koperasi kredit yang ditemuinya itu – disadari atau tidak – cenderung fokus pada “memperbesar aset” koperasi alias “menimbun uang”.
Menghadapi berbagai persoalan yang dihadapi warga di kampungnya itu, Kamilus tidak mencari pemecahannya dari luar. Ia menggalinya dari dalam masyarakatnya sendiri. Ia menggunakan kearifan lokal warisan leluhur, yaitu tradisi gemohing sebagai jalan keluar. Gemohing dalam budaya Lamaholot berarti semangat dan tekad untuk bersama-sama membantu memecahkan masalah yang dihadapi orang lain. Dalam hal ini Kamilus memadukan tradisi gemohing dengan sistem koperasi kredit sebagai spirit untuk menjalankan badan usaha rakyat dalam wadah KTL. Sementara untuk mengatasi kelemahan yang ada pada sistem koperasi kredit, Kamilus mengelola koperasi KTL dengan tidak memberikan pinjaman pada anggota dalam bentuk uang tunai tetapi dalam bentuk tenaga kerja.
Selain menyediakan layanan simpan pinjam tenaga kerja, KTL juga memberikan beberapa layanan lain, di antaranya: 1) penyertaan modal usaha. KTL tidak memberikan pinjaman untuk investasi. Apabila ada anggota KTL yang membuka usaha dan membutuhkan tambahan modal, KTL memberikan dukungan dalam bentuk modal penyertaan dan asistensi manajemen agar usaha anggota ini lebih berpeluang untuk sukses. Dengan sistem modal penyertaan ini, maka usaha seorang anggota KTL menjadi usaha kolektif; 2) pembelian komoditi anggota. Anggota KTL kini tidak memiliki kesulitan untuk menjual hasil produksinya dengan harga pantas. Mereka bisa menjualnya langsung pada KTL, dengan harga lebih tinggi dari harga yang ditawarkan tengkulak. Keuntungan dari penjualan komoditi anggota oleh KTL ini dibagi dua, 75 persen untuk pemilik komoditi dan 25 persen untuk KTL. Dengan cara ini anggota KTL mendapatkan keuntungan ganda. Selain memperoleh harga lebih tinggi, mereka juga mendapatkan pembagian keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual; 3) Kios koperasi. Apabila ada anggota KTL yang kesulitan uang untuk membeli barang-barang kebutuhan, anggota tersebut dapat membuka pinjaman di koperasi dan mengambil barang di kios KTL; 4) Tabungan pendidikan. KTL memfasilitasi anggota untuk mempersiapkan biaya bagi pendidikan anak dengan cara menyisihkan sebagian hasil kerjanya untuk ditabung di KTL.
KTL yang dibidani dan dipimpin Kamilus kini beranggotakan 325 orang dan jumlah simpanan anggota tak kurang dari Rp 197 juta. Jumlah simpanan KTL yang baru tiga tahun beroperasi ini bisa jadi terbilang kecil bila dibandingkan simpanan koperasi kredit di kampungnya. Namun manfaat dan efektivitas sistem KTL dirasakan secara luas oleh masyarakat kampung. Bahkan warga dari kampung-kampung lain tergerak mengikuti jejak KTL setelah mereka melihat keluasan manfaat dan efektivitas sistem KTL. Mereka kemudian membentuk kelompok dan menerapkan sistem yang sama seperti KTL. Setidaknya sudah ada 8 (delapan) kampung yang sudah membentuk badan usaha rakyat dan menerapkan sistem ekonomi solidaritas sebagaimana yang dijalankan KTL. Dalam hal ini Kamilus membantu proses pendirian badan usaha rakyat dan penerapan sistem ekonomi solidaritas di delapan kampung tersebut.
Melalui KTL, Kamilus tidak hanya berhasil merevitalisasi tradisi gemohing tetapi juga membuat tradisi tersebut memberi nilai tambah bagi kesejahteraan warga kampung. Warga yang tak memiliki tanah dan tak memiliki pekerjaan bisa bekerja pada warga lain yang membutuhkan tenaga kerja, sehingga mendapatkan upah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Warga yang memiliki lahan luas bisa mengelola lahannya secara lebih produktif karena adanya dukungan tenaga kerja dari warga lain. Para petani bisa menjual hasil produksinya dengan harga lebih tinggi. Warga juga mendapatkan manfaat dari usaha yang dibuat warga lain. Warga dapat memanfaatkan waktu luangnya untuk melakukan berbagai kegiatan bernilai ekonomis, seperti membangun rumah, mengolah hasil pertanian, mengolah lahan, mengerjakan proyek-proyek pemerintah, seperti membuat jalan, membangun sekolah, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang dikoordinir dan dikelola KTL. Kerjasama dan solidaritas menjadi kunci bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat kampung. Semua mendapatkan manfaat dari apa yang dimiliki dan diusahakan oleh warga.
Selain berdampak pada peningkatan ekonomi warga kampung, KTL yang menerapkan sistem ekonomi solidaritas juga mengubah secara mendasar kehidupan warga dan masyarakat. Keharmonisan hidup dalam masyarakat kampung kini sangat terasa. Ada peningkatan juga dalam kualitas pendidikan anak. Tak ada lagi konflik dan perang antar kampung yang selama ini sering terjadi di Adonara akibat persoalan kepemilikan tanah. Kehidupan harmonis ini bisa terwujud karena setelah menjadi anggota KTL tidak ada lagi rasa individual dalam kepemilikan tanah. Semua serasa jadi milik bersama karena dalam satu kesatuan lahan semuanya mendapatkan keuntungan dalam berbagai bentuk.
Kamilus mengaku, warga di kampungnya kini tak lagi mengutamakan ekonomi uang dan materi dalam membangun kehidupan. Kehidupan harmonis dalam komunitas dianggap lebih penting daripada kekayaan dan kepemilikan uang. Kehidupan harmonis ini dimungkinkan karena hidup bersama dalam komunitas kampung kini disangga /dilandasi oleh nilai-nilai kerjasama dan solidaritas. Warga kampung kini menyadari, dalam komunitas yang mengandalkan kerjasama dan solidaritas, tidak dibutuhkan banyak uang untuk membuat hidup menjadi lebih baik. Warga yang kaya dan yang miskin, yang punya tanah luas dan tidak punya tanah, sama-sama mendapatkan peluang untuk meningkatkan kualitas hidup. Dan kualitas hidup ini tidak lagi diukur dengan banyaknya uang dan kekayaan. Masyarakat bahkan memberikan makna baru terhadap kerja. Orang pergi kerja kini dihargai pertama-tama sebagai memberi pertolongan atau pelayanan, dan bukan untuk mencari gaji. Karenanya, warga kini enjoy mengerjakan kebun orang. Tidak ada lagi lahan terlantar atau kebun kosong yang tidak digarap. Semua kebun terurus dengan baik. Soal pangan, dulu warga lebih banyak bergantung pada pasar. Kini, pangan berupa padi, ubi, jagung, kacang hijau, kacang tanah, mete, dan lainnya diproduksi sendiri dan tersedia cukup bagi semua warga. Demikian juga dengan para pengurus KTL, mereka enjoy dalam melayani para anggota meskipun hanya mendapatkan insentif sebesar Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu per bulan. Sebab selain mendapatkan manfaat sebagai anggota KTL dan insentif berupa uang tunai yang jumlahnya tidak seberapa, ada insentif lain yang diterima para pengurus KTL, yaitu kebahagian melihat orang lain bahagia. Akhir kata, apa yang dikerjakan dan diperjuangkan Kamilus tampaknya sederhana. Namun sejatinya ia tengah terlibat dalam mewujudkan peradaban baru di muka bumi. Peradaban baru ini ditopang oleh kesadaran melihat orang lain sebagai dirinya sendiri. *** (Sri Palupi, peneliti Institute for Ecosoc Rights)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H