Apa yang kita lihat hingga kini adalah banyak hasil karya tulis ilmiah para akademisi yang berakhir di perpustakaan kampus. Yang membaca hanyalah kalangan akademisi. Tidak banyak berdampak bagi masyarakat luas.
Kalaupun, misalnya, diteruskan kepada masyarakat luas, akan muncul persoalan: sebagian masyarakat akan kesulitan memahami isinya. Mengapa? Karena bahasanya ilmiah tulen, ilmiah ketat. Banyak kata, kalimat, dan idiom yang sama sekali tidak familiar bagi masyarakat umum.
Menjadi Menara Air
Kendati kaum akademisi yang juga intelektual mesti bekerja sesuai dengan kebutuhan profesi dan lembaga, ada baiknya mereka juga menulis untuk masyarakat luas.
Lembaga perguruan tinggi bukan bagai menara gading, melainkan bagai menara air yang selalu siap mengalirkan airnya untuk menyuburkan tanah di sekelilingnya. Disinilah peran akademisi menjadi sangat strategis.
Tetapi, dibandingkan dengan menulis di karya-karya ilmiah seperti tesis, disertasi, artikel pada jurnal-jurnal ilmiah, menulis untuk masyarakat tentu berbeda pola dan caranya.
Para intelektual sebagai kaum terdidik dituntut mau dan mampu membuat karya yang mudah dicerna masyarakat luas. Pembaca tak harus mengerutkan kening tatkala membaca dan berusaha memahami tulisan mereka di media massa.
Kaum intelektual ini mesti memiliki kebebasan dalam mengekspresikan gagasannya. Ya, mereka harus merdeka dalam menulis. Makna merdeka menulis adalah, kaum ini melakukan aktivitas menulisnya tanpa dihambat atau terhambat oleh kendala apapun yang berasal dari luar dirinya.
Dengan kata lain, kaum intelektual hendaknya memiliki kemerdekaan dalam menuangkan gagasan-gagasan dan mempublikasikannya.
Tiga Aspek Merdeka Menulis