Lihat ke Halaman Asli

I Ketut Suweca

TERVERIFIKASI

Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Penulis Nonfiksi, Perlukah Membaca Karya Sastra?

Diperbarui: 30 April 2020   14:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/165436986281912750/

Sahabat kompasianer, sebagai penulis, tentu kita bisa sepakat bahwa membaca itu sangat penting dan perlu. Dengan membaca banyak buku dan sumber lainnya, kita akan mendapatkan banyak masukan, berupa wawasan, pengetahuan, dan informasi. Dengan modal itu, kita bisa terus berkarya sebagai penulis.

Sebagaimana diketahui, penulis itu dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu penulis fiksi dan penulis nonfiksi. Masing-masing kelompok memiliki ranah penulisannya tersendiri. Akan tetapi, dalam banyak kasus, penulis fiksi tak melulu menulis buku atau artikel bernuansa sastra.

Mereka juga terkadang menulis karya nonfiksi, seperti opini artikel ilmiah populer dan sejenisnya. Sebaliknya, penulis nonfiksi sesekali juga menulis karya fiksi seperti cerpen dan puisi. Begitulah realitasnya, kendati pun ada yang sengaja hanya berfokus di salah satu bidang pilihan.

Membaca Beberapa Novel

Nah, kembali ke pokok soal, apakah penulis nonfiksi perlu membaca karya fiksi seperti novel? Saya yang  punya kecenderungan menulis nonfiksi -- seperti tulisan ini, suka juga menikmati buku sastra atau fiksi.

Hanya sedikit buku sastra yang saya baca. Beberapa diantaranya adalah novel karya Andrea Hirata yang bertajuk Laskar Pelangi, sebuah karya  yang sangat inspiratif. Satu lagi karya Andrea yang belum tuntas saya nikmati adalah novel yang berjudul Ayah.

Selanjutnya saya sangat menikmati novel buah karya Ahmad Fuadi, mantan wartawan TEMPO dan VOA yang juga penerima 8 beasiswa luar negeri. Tiga novelnya yang berjudul Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara, sudah saya nikmati. Ketiga novel hebat itu sungguh bacaan yang bukan saja ditulis dengan cermat dan bagus, juga berisi pesan yang sarat akan  makna.

Dari novel tersebut, pembaca bisa memahami sedikit bagaimana kehidupan di pesantren. Pesantren tak lagi dibayangkan sebagai lembaga yang hanya berkutat dengan pelajaran agama, bahkan juga pelajaran hidup lainnya. Kemajuan perkembangan teknologi pun dimanfaatkan seperti dikisahkan dalam novel ini.  

Berikutnya, saya  baru saja selesai membaca buku karya novelis India, Amish Tripathi, yang berjudul Siwa, Kesatria Wangsa Surya. Buku itu mengisahkan tentang kehidupan masa lalu  wangsa surya di negeri India. Buku keduanya yang berjudul Siwa, Rahasia Kaum Naga, sudah saya beli, hanya  belum sempat saya baca. Amish terbilang pintar membawa pembacanya larut ke dalam alur cerita.

Yang tak kalah menariknya adalah karya-karya Paulo Coelho. Saya punya beberapa bukunya, diantaranya berjud Sang Penyihir dari Portobello dan Sang Pemenang Berdiri Sendirian.  Buku yang saya sebut pertama sudah sempat saya baca, sedangkan yang kedua belum.  Sepintas saya melihat keunggulan buku Coelho ada pada kemampuannya merangkai kata sehingga menjadi indah dan menarik ditambah lagi dengan alur cerita yang unik.

Manfaat Membaca Novel bagi Penulis Nonfiksi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline