Sumber gambar : https://id.pinterest.com/pin/313211349086805760/
Presiden Joko Widodo menghendaki agar di sektor pendidikan diadakan reformasi besar-besaran. Presiden mempunyai goal bagaimana meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia sehingga selalu mampu bersaing di dunia global. Pembangunan sumber daya manusia yang unggul, produktif, dan mampu bersaing di kancah global menjadi skala prioritas.
Kompetensi dan Karakter
Lalu bagaimana pandangan Nadiem Anwar Makarim tentang dunia pendidikan yang baru digelutinya sebagai seorang menteri? Nadiem melihat, aspek kompetensi dan keterampilan perlu diperkuat. Sumber daya manusia tak hanya dipacu aspek kognitif atau pengetahuan serta kemampuan teknisnya, bahkan juga keterampilan lunaknya.
"Sekarang, kompetensi adalah hal yang utama, diikuti berbagai keterampilan. Keterampilan tak terbatas pada hal teknis dan kognitif, tetapi juga keterampilan lunak, seperti empati, kreativitas, kemampuan berkomunikasi, dan bisa berkolaborasi," paparnya seperti dikutip sebuah media nasional.
Ia menambahkan bahwa kompetensi dan pendidikan karakter perlu diseimbangkan dan tidak bisa dipisahkan. Menurut Nadiem, kurikulum saja tidak cukup untuk pendidikan karakter. Pendidikan karakter, katanya, tidak bisa diperlakukan sama seperti belajar matematika, sejarah, dan lainnya. Karakter hanya bisa diperoleh dari berpartisipasi di kegiatan yang memang membangun nilai-nilai tersebut.
Belum Link and Match
Lalu, apa pendapatnya tentang kesesuaian dunia pendidikan dengan dunia kerja? Nadiem melihat, belum terjadi link and match atau keterkaitan dan kesepadanan antar kedua dunia itu. Inilah yang menurutnya perlu dibenahi sehingga keterkaitan ke dunia dunia itu bisa diwujudkan secara riil. Jika tidak dilakukan, tak pelak, lulusan pendidikan -- terutama pendidikan tinggi dan vokasi, terus-menerus tak akan bisa diserap oleh dunia industri sehingga berujung pada pengangguran yang kian membengkak.
Ia juga mengungkapkan, di samping link and match itu belum klop benar, dunia indutri juga banyak mengeluhkan bahwa sumber daya manusia sebagai output pendidikan masih minimal inisiatif dan tidak komunikatif. "Yang dikeluhkan adalah SDM kita miskin inisiatif, tidak bisa bekerja di dalam tim, tidak percaya diri dalam mengambil keputusan, tidak komunikatif dalam mengutarakan gagasan, dan tidak disiplin dalam menghargai waktu. Padahal, aspek-aspek ini kunci dari profesionalisme," tambahnya.
Setelah 100 Hari Pertama
Lalu, apa yang akan dilakukan oleh Nadiem ke depan mengingat tantangannya demikian besar? Dalam 100 hari ke depan ia mengaku tidak akan membuat rencana apapun. Mungkin saja Nadiem memilih untuk lebih banyak mendengar, melihat, merasakan seperti apa kondisi riil di bidang pendidikan dan kebudayaan.