Ada sebuah cerita tua tentang tikus yang kembali menjadi tikus. Suatu hari, tikus mengaku hidupnya tidak sejahtera karena terus diburu kucing, kemudian mendatangi penyihir agar segera diubah menjadi kucing. Ternyata ia hanya sejahtera selama tiga hari sebagai kucing karena dikejar anjing. Lagi, ia memohon ke penyihir untuk diubah menjadi anjing. Ini pun hanya berumur tiga hari yang mengakibatkan ia meminta diubah menjadi serigala. Sebagaimana sifat keserakahan yang tidak mengenal batas, serigala ini lagi minta diubah menjadi harimau. Dan, begitu menjadi harimau, ia mau memakan penyihir agar tidak diubah. Maka, dikutuklah harimau ini agar kembali menjadi tikus selama-lamanya.
Bila boleh jujur, ini cerita banyak kehidupan. Keinginan memang energi kemajuan, tapi tanpa pengendalian diri, dia berubah menjadi keserakahan yang membuat kesejahteraan menjadi tidak mungkin dicapai. “Keinginan yang tidak terkendalilah yang membuatnya menjadi tidak pernah bisa terpenuhi” tulis Gede Prama dalam Compassion, terbitan Gramedia Pustaka Utama, tahun 2013.
Pelayan di Jalan Meditasi
Buku yang berketebalan 374 halaman dan diterbitkanPenerbit Karaniya ini, banyak bertutur tentang belas kasih yang dengan itu pikiran dapat disejukkan, lingkungan dapat disejukkan, dan kedamaian dapat ditemukan. Gede Prama, sang penulis, adalah pelayandi jalan meditasi. Memulai pelajaran meditasi di masa kanak-kanak dibimbing Guru simbolik di desa tua Bali Utara. Keberuntungan beasiswa pernah membawanya bersekolah ke Inggris dan Perancis. Kerendahatianpernah membuatnya belajar meditasi hingga ke lereng gunung Himalayan, India Utara.
Kariernya di dunia korporasi naik setapak demi setapak hingga pernah memimpin perusahaan dengan ribuan karyawan. Entah karena meniru Guru dan masa lalu yang meninggalkan singgasana kerajaan dengan entengnya, entah karena faktor lain, Gede Prama meninggalkan kursi empuk dunia korporasi di umur 39 tahun. Kemudian terjun ke masyarakat berbaju kesederhanaan, berbadan pelayanan, ikut menyebarkan belas kasih (compassion) kepada sesama.
Untuk Apa Kita Berkejaran?
Pada bagian lain buku ini, Gede Prama menulis : “Terlalu lama manusia hidup hanya berkejaran untuk berkejaran, dan lupa bertanya untuk apa kita berkejaran? Pagi berangkat anak-anak belum bangun, malam pulang anak-anak sudah tidur. Meminjam cerita seorang sahabat yang sudah sepuh, saat muda tak bisa makan daging karena miskin, ketika tua sudah punya uang untuk beli daging lagi-lagi tidak bisa memakan daging karena terlanjur stoke. Di rumah kontrakan kecil dulu tidak bis istirahat karena sempit, di rumah luas dan mewah setelah kaya lagi-lagi tidak bisa tidur karena dikejar target. Padahal, kekayaan materi tidak menyelesaikan semua masalah. Kekayaan materi bagi sebagian orang malah menciptakan rasa sakit yang tiada tertangani.”
Saya tak bisa memberi komentar banyak mengenai isi buku ini. Dari awal hingga akhir penuh dengan pesan spiritual melalui kata-kalimat penuh makna. Bacalah buku ini, dan nikmati air kesejukan dan kedamaian yang tercerap dari dalamnya. Termasuk, jalan meditatif yang dianjurkan untuk berhenti berkejaran tanpa harus undur diri dari kerja.
( I Ketut Suweca , 14 Juni 2013).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H