Sebuah artikel selesai ditulis. Sang kompasianer meng-upload-nya di kompasiana. Ia merasa plong, senang juga, karena satu tulisan sudah berhasil dibuat dan diunggah. Apa yang ditunggu kemudian? Komentar, ya, komentar. Tetapi, setelah ditunggu-tunggu, komentar para kompasianer belum juga muncul. Kenapa ya? Tiba-tiba, satu komentar terbaca persis di bawah naskah. Duh, terima kasih. Satu komentar lagi menyusul, dan begitu seterusnya. Senangnya. Ada juga masuk nilai: inspiratif, bermanfaat, dan menarik.
Begitulah warna-warni ber-kompasiana-ria : menyenangkan, mengundang penasaran, menunggu tak sabaran, dan menanggapi komentar para sahabat.Pertanyaannya adalah : apa alasan utama kita berkomentar di lapak teman?
Pertama, yang membuat artikel adalah sahabat ‘dekat’. Di antara sekian ribu kompasianer, mungkin kita merasa ‘dekat’ dengan sejumlah kompasianer. Kedekatan itu antara lain lantaran pernah ‘kopdar’-an atau melulu karena sudah lama saling mengunjungi. Jadi, ada perasaan wajib berkomentar di lapak teman ‘dekat’. Sebaliknya, ada perasaan tak lengkap kalau tidak meninggalkan jejak.
Kedua, tulisan yang bagus, memiliki bobot, dan menarik. Orang cenderung membubuhkan komentar pada tayangan artikel yang bernas. Bahkan, si pengunjung menyampaikan terima kasih untuk artikel yang bagus itu. Kalau sebuah naskah terbilang bernas dan bermanfaat, niscaya banyak orang yang bakal melihatnya. Bobot artikel ditentukan oleh kualitas penulisnya. Contoh untuk ini, misalnya karya Julianto Simanjuntak, seputar dunia psikhologi. Beliau menulis sesuai dengan background pendidikannya. Ada juga Bu Dosen Aridha Prassetya yang acap menulis tentang masalah kebahagiaan.
Ketiga, topiknya sesuai dengan minat. Topik yang selaras dengan bidang, minat, hobi, passion kita biasanya mengundang keinginan kita berkomentar. Misalnya topik seputar tulis-menulis, seperti ada ‘komunitas’ tersamar yang mengerubungi tulisan yang bertopik ini. Demikian pula topik seputar jurus ngeblog, ada sejumlah kompasianer yang doyan dengan ini sehingga hadir dan meninggalkan jejak. Contoh untuk topik ngeblog, misalnya, tulisan sahabat kita Rumahkayu atau Suka Ngeblog. Topik tentang kesehatan banyak juga diminati karena dipandang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, artikel karya Bu Bidan Romana Tari, sangat menarik di samping artikel Pak Dokter Posma S dan Pak Dokter Irsyalrusad.
Keempat, tidak ada yang mengomentari. Ada juga kompasianer yang merasa kasihan karena sebuah artikel yang sudah tayang sekian lama tak ada yang mengomentari. Daripada kosong, ia datang memberi komentar, bahkan setelah mendapatkan tanggapan, dia berkomentar lagi. Ini biasanya dialami para kompasianer baru. Masih relatif miskin komentar yang datang karena belum dikenal oleh sesama kompasianer.
Kelima, ingin mendapat kunjungan balik. Seseorang berkomentar ke lapak orang lain salah satunya karena ingin dikomentari juga lapaknya. Prinsipnya: rajinlah blog walking ke lapak teman, niscaya temanpun akan jalan-jalan ke lapak kita. Jurusnya: berikan komentar, maka komentar pun akan datang. Nggak bisa seorang kompasianer mengharapkan komentar dari teman-teman, kalau dia sendiri malas berkunjung ke lapak para sahabat.
Nah, saya sudahi dulu soal komentar-mengomentari ini. Kalau para sahabat berkenan berkunjung dan membubuhkan komentar di sini, so pasti ada alasannya. Mungkin ada yang sesuai dengan alasan yang disebut dalam artikel ini. Selamat membuat artikel, selamat berkomentar, selamat berbagi dan merawat persahabatan. Mari.
( I Ketut Suweca , 6 Januari 2013).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H