Lihat ke Halaman Asli

I Ketut Suweca

TERVERIFIKASI

Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Menulis ke Koran? Jangan Pernah Ragu!

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Rasa pesimis menulis ke koran menyebar sedemikian rupa bak virus. Penyebabnya? Banyak informasi yang bernada pesimistis yang membuat orang mengurungkan niat untuk menulis ke koran. Bahkan, jika percaya terhadap hal itu, orang bisa menyerah sebelum ‘berperang’. Sungguh menyedihkan jika kondisi seperti ini merajalela di benak banyak calon penulis atau penulis pemula. Mereka bakal ogah untuk berjuang lebih keras lagi lantaran yakin tak bakal ada harapan. Lalu, jika begini, siapa yang melanjutkan generasi penulis masa datang? Haruskah kemajuan di dunia penulisan jadi mandeg gara-gara tak ada yang mau menulis lagi?

Daripada bersikap pesimis terhadap kebijakan Redaksi media-media besar, lebih baik kita memasang strategi untuk bisa menembus koran/majalah tersebut. Hindari rasa ragu, jauhi ras takut ditolak. Inilah beberapa hal yang bisa dilakukan.

Pertama, tingkatkan kualitas tulisan. Ini syarat utama dan pertama. Kalau tulisan kita masih banyak kekuranganya di sana-sini, tentu saja Redaksi tidak akan memuatnya. Berusahalah menyusun tulisan yang terbaik yang kita bisa. Ketik juga serapi mungkin. Jadi, berupayalah selalu agar kualitas dan tampilan artikel kita adalah hasil terbaik yang bisa kita capai.

Kedua, berbaik sangka terhadap Redaksi. Betapa pun Dewan Redaksi adalah manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kita mesti berpikir positif terhadap mereka. Dengan berpikir positif, mudah-mudahan energi positiflah yang mengalir kepada kita dan melapangkan jalan kita untuk menjadi penulis yang baik. Redaksi, di samping segala kekurangannya, tentu memiliki patokan untuk memuat sebuah artikel di koran yang dikelolanya. Lebih baik menjalin hubungan baik dengan mereka daripada ‘memusuhi’-nya dengan prasangka-prasangka negatif.

Ketiga, perteguh komitmen menjadi penulis. Kalau komitmen kita cukup besar, maka nyali kepenulisan kita pun dalam membobol ‘tembok’ Redaksi akan kian kuat juga. Peluang keberhasilannya juga kian besar. Jadi, perteguh komitmen kita, jangan lekas menyerah dan berputus asa ketika tulisan kita ditolak. Apalagi lantas memberikan men-cap negatif dengan penilaian yang bukan-bukan.

Keempat, perhatikan ketentuan yang ditetapkan Redaksi. Jika, misalnya, dalam ketentuan, tulisan diharapkan menggunakan ukuran font 12, jangan memakai ukuran 14. Jika, misalnya, spasi yang diminta 1,5, jangan lalu memakai satu spasi. Jika dalam ketentuan disebutkan maksimal 4 halaman, jangan membuat artikel 6 halaman. Jadi, memenuhi ketentuan Redaksi adalah bagian terpenting untuk dimuatnya sebuah naskah.

Kelima, pelajari jenis dan model artikel yang sudah dimuat. Tulisan yang sudah dimuat adalah arena kita belajar. Jenis tulisan apa yang biasanya dimuat? Politik, hukum, ekonomi, pertanian, hobi, atau lainnya? Ikuti saja itu. Perhatikan pula isi artikel yang sudah dimuat, seberapa bernas/berbobotkah? Perhatikan juga tata bahasanya, gaya seperti apa yang dikendaki? Berpakem ilmiah-formal, feature, atau populerkah? Jika tulisan-tulisan yang dimuat bernuansa ngepop, jangan pernah mengirim artikel ilmiah murni ala kampus.

Ketujuh, mulailah dari yang lebih mudah ditembus. Saran saya, jangan langsung nembak koran besar nasional kalau belum lengkap dengan segala ‘senjata’. Coba dulu sasaran terdekat, misalnya, koran di sekolah atau kampus. Baru setelah itu dilanjutkan ke koran yang ada di daerah. Menulislah di koran daerah secara rutin. Kalau beberapa naskah kita berhasil dimuat, bersyukurlah. Kita akan merasakan ‘kenikmatan’ yang luar biasa jika artikel kita dimuat untuk pertama kalinya. Ini berarti kita sudah membuat fondasi kuat untuk langkah berikutnya. Yang penting,berjuanglah terlebih dahulu menembus koran daerah. Bukan hanya di satu koran, bahkan beberapa koran. Jangan dulu terlalu memikirkan besarnya honorarium. Yang penting dimuat dulu. Nah, dari pengalaman tersebut, bersiap-siaplah memasuki koran yang lebih besar lagi. Terus dan teruslah menulis.

Kedelapan, masuklah ke dalam komunitas yang relevan. Komunitas yang dimasuki itu sebaiknya berlevel nasional. Bina hubungan baik dengan komunitas itu. Di sinilah terbuka lebar peluang agar kita dikenal. Buatlah agar orang lain mengenal Anda untuk hal-hal yang positif. Kalau komunitas itu menggelar kegiatan, seperti diskusi, seminar, bedah buku, dan sebagainya, ikutilah dengan sungguh-sungguh. Kemukakan pendapat Anda. Dari komunitas itu, orang akan mengetahui siapa Anda. Setelah itu, ayunkan bergeraklah ke anak tangga yang lebih tinggi lagi. Perlahan-lahan namun pasti nama Anda akan kian populer. Hal ini penting untuk masuk ke media nasional. Popularitas nama bisa menarik hati awak media untuk mengangkat dan ‘menerima’ kehadiran karya tulis Anda di media mereka.

Mungkin kelihatannya perjalanan akan cukup panjang. Tak mengapa, ikuti saja. Jika kita memiliki kemauan dan keinginan yang tulus disertai pula dengan komitmen yang kuat, adakah yang tidak mungkin? Jangan terkejut kalau pada suatu ketika artikel dan nama Anda nongkrong di media favorit Anda!

Saya pun masih dalam taraf belajar, ya, belajar menulis dengan lebih baik. Mari kita melangkah bersama menggapai kemajuan.

( I Ketut Suweca , 10 Juni 2012).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline