Minggu, 17 Juni 2012. Kami baru saja usai mengikuti olahraga senam kesehatan. Sambil meneguk air putih dan menikmati kue khas Bali yang disebut laklak, saya duduk di beranda rumah dan mulai membaca Kompas edisi Sabtu, 16 Juni 2012. Maklum, Kompas hari Minggu, 17 Juni 2012, tidak terbit karena hari libur nasional. Membaca Kompas bagi saya sudah merupakan menu harian, membaca secara sekilas di pagi hari dan meneruskannya pada sore hari setelah datang dari beraktivitas di luar rumah.
Kali ini ada sesuatu yang menarik untuk saya bagikan kepada sahabat yang belum sempat membaca Kompas. Pada halaman 16, di rubrik Sosok, ditampilkan figur seorang guru besar. Sosok adalah salah satu rubrik kegemaran saya. Dari situ, saya bisa mendapatkan pengetahuan baru tentang para tokoh yang berhasil dalam berkiprah di bidangnya. Kompas edisi ini memperkenalkan sosok Prof Dr Henry Alex Tilaar, seorang profesor emeritus yang giat menulis buku. Apa katanya tentang tujuan menulis buku?
Semangat profesor yang satu ini tak pernah padam kalau bicara tentang pendidikan. Sejak pensiun dini pada usia 65 tahun, dia banyak memanfaatkan waktu untuk berburu buku-buku pendidikan hingga ke luar negeri. Di samping itu, suami pengusaha kosmetik Dr. Martha Tilaar ini suka mengunjungi perpustakaan dan mempelajari peran pendidikan bagi kemajuan dan perubahan di suatu negara. Dengan cara itu, ia mengumpulkan ide dan bahan untuk buku-bukunya tentang pendidikan.
Sebagaimana dituturkannya kepada Ester Lince Napitupulu dari Kompas, Prof Alex yang lahir di Tondano, Sulut, 16 Juni 1932 ini memulai kariernya sebagai guru hingga guru besar. Bagi guru besar emeritus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini, menulis tak sekadar hobi atau pengisi waktu luang pascapensiun. Menulis buku adalah caranya mewariskan pemikirean kepada masyarakat dan generasi mendatang.
“Saya ingin menjadi profesor yang berkarya sampai akhir hayat. Buku-buku inilah yang bisa saya sumbangkan bagi masyarakat dan generasi mendatang,” jelas penulis 27 buku ini sebagaimana dikutip Kompas.Alex tak mau menjadi “pohon pisang” yang sekali berbuah lalu selesai. Julukan tersebut dia tujukan bagi professor yang mengejar gaji dan pangkat, bukan mengembangkan dunia akademik. Sebaliknya, ia ingin menjadi profesor “pohon ara” yang terus berbuah dan berguna bagi sekelilingnya.
Nah, sahabat-sahabatku. Walau kita (mungkin) bukan seorang guru besar, mari kita petik semangat dari sang profesor: menulis untuk ikut memajukan masyarakat dan generasi muda bangsa. Sekian dulu artikel singkat dan sederhanaku sore ini. Selamat beraktivitas.
( I Ketut Suweca , 17 Juni 2012).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H