[caption id="attachment_170870" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Dirjen Dikti Kemendikbud mengeluarkan Surat Edaran (SE) No. 152/E/T/2012, tanggal 27 Januari 2012, yang mewajibkan calon lulusan S1, S2, dan S3 membuat karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal ilmiah. Karena berbagai kendala yang diperkirakan dihadapi dalam implementasinya, maka banyak kalangan, terutama pihak perguruan tinggi bersikap kritis terhadap SE Dirjen Dikti ini. Alasan yang terbesar adalah karena sangat bervariasinya kemampuan perguruan tinggi di Indonesia sehingga tak seharusnya SE itu diberlakukan secara serentak terhadap semua perguruan tinggi. Di samping itu, SE itu terkesan sangat mendadak dan mengejutkan karena harus sudah dimulai dari kelulusan setelah Agustus 2012. Sebaik-baiknya obat adalah obat yang mampu mengatasi penyakit secara tuntas. Tulisan ini bukan bertendensi bagai obat yang cespleng, melainkan bahan-bahan mentah yang bisa dimanfaatkan oleh pengambil kebijakan untuk diramu. Silakan dipadukan dengan bahan-bahan dari berbagai sumber lainnya, sehingga terwujud resep obat hasil ramuan yang dapat diandalkan kemanjurannya. Memang, diantara hal-hal yang disebutkan di sini terkesan sedikit nyeleneh atau bahkan mungkin dipandang kurang relevan, silakan buang saja. Tapi, kalau ada hal yang kiranya berguna, silakan dimanfaatkan. Harus diakui bahwa solusi apapun yang akan diambil untuk mencapai tujuan meningkatkan jumlah dan kualitas publikasi ilmiah, pasti akan menghadapi problem dalam proses implementasinya. Pada dasarnya, kemajuan itu tercapai setelah mengatasi problem yang ada, satu demi satu, secara bertahap. Maka, daripada berdiam diri, sebaiknya kita berani mengambil keputusan dan melangkah maju dengan berbagai pertimbangan yang cukup. Tak perlu keputusan itu sempurna dan diterima oleh semua pihak, yang penting sudah berani melangkah maju. Keberanian mengambil keputusan ke luar dari problem yang menjelimet sudah merupakan sebuah prestasi besar, betapapun resikonya. Oleh karena itu, surat edaran Dirjen Dikti merupakan sebuah langkah berani dalam mengambil keputusan, kendati kemudian ditengarai akan mendatangkan kontroversi dan kesulitan di tingkat implementasi. Akan tetapi, tetap masih ada harapan, bahwa keputusan itu masih bisa dikoreksi atau ditindaklanjuti dengan rentetan keputusan berikutnya untuk mendekatkan pada tujuan. Jika tak menetapkan arah-tujuan, kita tak akan tiba di suatu tempat yang kita inginkan. Jika tak berani melangkah, kita tak akan sampai di mana-mana. Untuk memenuhi SE Dirjen Dikti, perguruan-perguruan tinggi, mau tak mau, mesti segera melakukan persiapan-persiapan yang diperlukan. Antara lain, dengan mempersiapkan dan menyediakan jurnal-jurnal ilmiah, sehingga para calon lulusan S1 segera dapat mempublikasikan karya ilmiahnya di jurnal ilmiah setempat. Bagi PT yang belum punya jurnal, bisa segera membuat. Kian banyak jumlah mahasiswa di perguruan tinggi bersangkutan, maka (seharusnya) semakin banyak jurnal dipersiapkan. Jika sebuah acara wisuda sebuah PT meluluskan mahasiswa 1.000 orang, misalnya, sudah dapat dihitung berapa edisi jurnal harus diterbitkan setiap bulan hingga menjelang wisuda itu. Kalau sebuah jurnal bisa menampung 10 makalah, maka diperlukan 100 kali terbit menjelang wisuda 1.000 orang calon sarjana! Kalau satu jurnal belum cukup, ya, bisa dua, tiga, empat, dan seterusnya sesuai dengan kebutuhan. Setiap fakultas/prodi bisa saja membuat jurnalnya sendiri. Itu baru bicara kuantitas karya ilmiah. Soal kualitas dibicarakan belakangan. Jangan lupa, dalam hubungan penerbitan jurnal ilmiah, dibutuhkan tenaga pengelola, reviewer, dan dana yang tidak kecil. Dihabiskan kertas yang juga tidak sedikit, walau itu berarti perlu membabat sumberdaya alam untuk bahan kertas itu demi sesuatu yang (belum bisa diyakini) bermanfaat. Jika secara cetak mengalami kesulitan, sudah ada pilihan lainnya, penayangan secara online. Publikasi karya ilmiah melalui website tentu lebih mudah bagi mahasiswa. Persoalannya, sudahkan setiap perguruan tinggi tahu dan mempunyai publikasi online? Sudah semuakah memiliki website yang siap menayangkan karya para mahasiswa? Untuk menjawab hal ini, maka perintahkan saja seluruh PT di Indonesia memiliki minimal satu website untuk mempublikasikan karya tulis mahasiswa mereka. Di sini pun diperlukan sejumlah besar reviewer yang bertugas memeriksa kelayakan karya mahasiswa. Tapi, siapa yang menjadi reviewer yang bisa memenuhi kelayakan? Gampang, angkat saja beberapa tenaga qualified dari luar, atau dari dosen setempat. Berikan insentif secukupnya. Terhadap calon lulusan S2, jangan terlalu dirisaukan oleh Dikti. Mereka semua adalah pribadi matang yang bisa menempuh jalan sendiri tanpa harus dibimbing begini-begitu. Biarlah mereka berjuang menembus publikasi ilmiah terakreditasi, terutama - sesuai surat edaran -- yang diakreditasi Dikti. Biarlah mereka menghubungi para pengelola jurnal ilmiah terakreditasi, termasuk berkoordinasi dengan para reviewer. Kalaupun mereka baru bisa lulus setelah 4-5 tahun, tak mengapa! Toh, sebagian dari mereka adalah orang-orang berduit yang mampu membiayai sendiri kuliahnya. Kalau tidak, pasti mereka adalah pemegang beasiswa pemerintah atau yayasan tertentu, yang dengan alasan kendala di jurnal ilmiah, (seharusnya) masih dimungkinkan bisa diperpanjang masa beasiswanya. Jangan peduli pula dengan mereka yang berstatus mahasiswa S3. Mereka adalah mahasiswa yang sudah pandai mengurus dirinya sendiri, termasuk untuk sebuah jurnal ilmiah internasional. Mereka sudah lumayan familiar dalam penggunaan bahasa Inggris dan sudah cukup familiar pula dengan metode penelitian dengan segala tetek-bengeknya. Kalau mereka baru bisa lulus setelah kuliah sampai 5-8 tahun, atau bahkan tidak lulus karena persyaratan publikasi internasional ini, ya risiko sendiri. Siapa nyuruh kuliah S3?! Toh, tak banyak doktor yang diperlukan dalam sebuah negeri yang medioker!?