Pemberitaan media massa Indonesia belakangan ini dipenuhi laporan mengenai berbagai kasus dan peristiwa yang memprihatinkan. Diantaranya berita tentang teroris, tawuran mahasiswa, juga tentang korupsi. Tiada habis-habisnya laporan semacam itu disajikan ke hadapan pembaca, baik di televisi maupun koran. Yang paling merisaukan hati adalah kasus yang disebut oleh Presiden sebagai perampokan uang negara alias korupsi. Korupsi rupanya sudah merasuki hampir seluruh institusi pemerintahan. Tidak hanya eksekutif, juga legislatif dan yudikatif. Tak hanya di pusat, bahkan juga di daerah-daerah. Entah sudah berapa pejabat pemerintahan, termasuk puluhan gubernur dan bupati/walikota yang terpaksa berurusan dengan masalah hukum karena penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri dan kelompoknya.
Momentum Refleksi
Kini, saat memperingati HUT ke-83 Sumpah Pemuda, ada baiknya dilakukan refleksi dan mawas diri terhadap apa yang sudah terjadi di belakang sekaligus menyiapkan diri apa yang akan diperbuat pada masa datang. Momentum memperingati HUT Sumpah Pemuda ini bagus sekali dipakai untuk memperkuat komitmen bagi setiap pemegang kekuasaan atau pengampu kewenangan di negeri subur tapi belum makmur ini untuk kembali ke fitrah: bersumpah bekerja demi kepentingan rakyat!
Bersumpah untuk bekerja demi rakyat adalah sumpah untuk hanya berjuang dan bekerja untuk kepentingan mereka yang memiliki kedaulatan, yakni rakyat. Kalau pada masa lalu pemuda berjuang dan bersumpah demi persatuan dan kesatuan nusantara, kemudian setelah kemerdekaan diproklamasikan para pemuda berjuang untuk membela kemerdekaan, maka sekarang saatnya dalam era pembangunan ini dilakukan pembelaan terhadap kepentingan rakyat Indonesia. Bersumpah untuk bekerja demi kepentingan rakyat.
Dalam negara demokrasi, rakyatlah yang memerintah melalui para wakil-wakil yang bisa dipercaya. Maka, wajib hukumnya yang disebut para wakil rakyat di segala institusi negara untuk melayani rakyat yang berdaulat. Pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Sama sekali bukan pemerintahan untuk kepentingan penguasa. Kalau rakyat sudah tidak bisa percaya lagi dengan wakilnya di pemerintahan, maka rakyat berhak menarik kedaulatan yang diberikannya. Rakyat berhak menuntut bahkan memaksanya mundur dari jabatan.
Bersumpah bekerja demi rakyat diperuntukkan bagi siapa saja yang berstatus memiliki kekuasaan dan kewenangan dan tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas kehidupan rakyat Indonesia, di lembaga mana pun bertugas. Rakyat adalah mereka yang harus diperjuangkan kehidupannya. Orientasi ke rakyat adalah sebuah keharusan, karena sejatinya untuk merekalah negara ini didirikan, karena rakyatlah sesungguhnya penguasa negeri ini.
Demi Rakyat, Seperti Apa Wujudnya?
Dalam konteks sumpah bekerja demi rakyat, tentu mesti ada wujud realnya. Tiga diantaranya yang utama adalah dengan melihat aspek ekonomi kerakyatan, pendidikan rakyat, dan kesehatan rakyat. Nah, pertanyaan awalnya adalah bagaimana dengan ekonomi rakyat, adakah kemajuan yang berhasil dicapai? Adakah pendapatan/penghasilan rakyat kian meningkat dari waktu ke waktu? Tak hanya meningkat dalam arti nominalnya, melainkan meningkat dalam daya beli, jauh di atas perkembangan inflasi.
Pendapatan per kapita tak bisa dipercaya untuk melihat potret kesejahteraan rakyat kecil. Tatkala kapitalisme merajalela, dan rakyat kecil kian tersisih dan tertindas, maka hitungan pendapatan per kapita lebih banyak merupakan share dari kaum kapitalis yang menjadikankan pendapatan per kapita tinggi. Pendapatan per kapita sama sekali tak mencerminkan pemerataan pendapatan, terutama pendapatan masyarakat Indonesia yang pada umumnya masih berekonomi kelas menengah ke bawah. Oleh karena itu, pemerataan pendapatan dengan melaksanakan akselerasi pembangunan ekonomi kreatif di desa-desa adalah salah satu jawabannya.
Ekonomi kerakyatan adalah sesuatu yang mutlak. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sudah mengamanatkan hal itu. The founding father, Bung Hatta, juga mewariskan pemikiran tentang ekonomi kerakyatan. Para ilmuwan pun menyambutnya dalam kajian ilmiah di berbagai forum, seperti Prof. Mubyarto, dan kawan-kawan. Bentuk-bentuk ekonomi kerakyatan, seperti koperasi yang pada awalnya dicetuskan Bung Hatta, hendaknya terus dikembangkan. Demikian pula pasar tradisional mesti mendapatkan perhatian yang lebih baik lagi. Jangan sampai sumber kehidupan rakyat itu kolaps hanya karena kurangnya perhatian pemerintah, sementara para pemodal besar dengan leluasa datang dan menyaingi mereka dengan berbagai bentuk pasar modern. Laksana buaya dan kadal, mereka bersaing berhadap-hadapan (head to head) dalam permainan yang sama sekali tak seimbang.Dalam kondisi yang tak seimbang seperti ini, bagaimana sebuah ekonomi kerakyatan seperti pasar tradisional itu bisa eksis? Pemegang kekuasaan tak bisa menunggu atau mengandalkan invisible hand sebagai yang pernah dimodelkan oleh Adam Smith, yang kemudian ternyata terbukti tak berhasil dengan terjadinya Depresi Besar (Great Depression) yang melanda pelbagai negara pada masa itu (1930-an). Peran pemerintah pada tingkat tertentu sangat diperlukan.
Bagaimana dengan pendidikan warga negara? Sudahkah semuanya mendapatkan pendidikan dasar? Diketahui bahwa sumber daya manusia adalah kunci bagi keberhasilan percepatan pembangunan. China sudah membuktikan itu. Negeri itu belakangan ini mengalami kemajuan pesat karena mereka menyadari benar betapa pentingnya investasi di bidang pendidikan bagi warga negaranya, sejak belasan tahun yang lalu. Jepang juga melakukannya jauh lebih dulu, bahkan segera setelah perang dunia kedua. Apa yang telah dicapai oleh kedua negara Asia itu, menjadi contoh bagi bangsa Indonesia untuk segera berbenah diri, terutama memperbaiki sumber daya manusia Indonesia agar kualitasnya semakin ditingkatkan. Jika terus-menerus terlambat, maka Indonesia akan tertinggal makin jauh di belakang.