Lihat ke Halaman Asli

Robot Bernyawa

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sebotol minuman bersoda menemaniku bersantai di sudut taman kota. Sayup-sayup kicau burung membawaku dalam nuansa damai dibawah senja yang menjingga. Aku merasa nyaman karena dari sini dapat kulihat sebuah kebebasan. Kebebsan yang membuat mereka tersenyum damai. Kulihat sekelilingku. Seakan mereka lupa akan hiruk pikuk kehidupan yang menjemuhkan. Hingga aku bertanya, apakah hanya aku seorang yang berfikir demikian. Berfikir tentang tekanan-tekanan yang menghantui kehidupan.

Di lain sudut lagi, kulihat senyum merona balita berambut kriting yang asik dengan sepeda roda tiganya. Aku iri padanya. Entahlah, suatu hal yang mustahil jika aku bisa kembali sepertinya. Lantas kenapa aku iri? Bukankah aku sudah merasakannya??? Tertawa lepas dan melakukan apapun yang aku suka. Tanpa berfikir dan tanpa menanggung akibat dari polah tingkahku. Bukankah masa itu telah kuahiri?? Dan kini aku berubah menjadi gadis remaja yang tak tau jalan ke lembah nirwana. Dadaku pun semakin sesak memikirkan hal itu. Kejemuhan-kejemuhan menjadi anak sekolahn tak pernah disadari oleh orang-orang sekitar. Tak ada orang yang tutup mulut dan berhenti menuntut. Semua berusaha mengendalikan. Seakan merekalah yang berhak menyetirku atas langkahku. Tanpa mengingat aku punya kehendak.

Begitulah bedaku dengan balita berambut kriting itu. Dunianya tak dilingkupi dengan haru. semua orang apa lagi orangtuanya, sangat tunduk untuk melayani apa yang dia minta. Sekali lagi aku tegaskan pada diriku. Untuk apa aku iri dengan hal semacam itu. Angka usiaku bukan lagi menunjukkan pada jumlah satuan. Tapi telah belasan. Membentuk bilangan nominal yang membuatku merinding mengatakannya. Itu semua karena makna angka itu menandakan waktunya aku berdiri sendiri.

Kesaksian akan diriku sendiri menjadi bungkam tak seperti masa kecilku dulu. Jika aku mnginginkan ini itu semua harus sesuai prosedur yang melibatkan perjuangan untuku mendapatkannya. Tak bisa aku menyuruh yang lain untuk melakukan apa yang aku mau. Tapi kenapa orang-orang di sekitarku membawaku dalam kehendaknya yang gelap bagiku. Aku tak paham dengan pola pikir mereka. Apa mereka menganggap aku ini robot yang bernyawa???

*****

"Apa yang kamu kerjakan di taman itu?????" tanya ibuku ketika makan malam hendak dimulai.

"Lihat anak kecil main sepedah." jawabku singkat.

"Kurang kerjaan saja kamu itu. Udah tau lo jam segitu bentar lagi mahgrib masi aja kluar rumah." ibuku sinis.

"Aku hanya menghilangkan stres ibu.... makannya aku pergi ke taman." jelasku dengan nada berlahan.

"Apa dengan begitu, stresmu akan hilang???"

Aku diam atas pertanyaan ibu yang membuatku semakin galau. Cuma masalah kluar rumah menjelang mahgrib saja memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang memerahkan telinga. Dengan pita swara mengencang tak gugetarkan, kubuka mulutku dengan sikap dan memasukan sendok demi sendok makanan ke mulut agar aku cepat kenyang dan melupakan semua kepenatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline