Menghidupkan Kata, Mempererat Silahturami Komunitas: Catatan Seputar Festival Sastra Santarang 2015
Sastra NTT diakui pernah menampakkan eksistensinya yang berkualitas lewat goresan pena sastrawan-sastrawan seperti Umbu Landu Paranggi dan Gerson Poyk. Karya-karya mereka sangat kental dengan nuansa lokalitas sekaligus meneriakan identitas NTT. Karya-karya yang dibuat dengan kesungguhan, cinta, dan dedikasi ini menjadi rujukan bagi banyak sastrawan, akademisi, kritikus, dan penikmat sastra generasi berikutnya. Meski sempat meredup, geliat sastra NTT akhirnya bangkit dari nostalgia atas para sastrawan di atas. Paling tidak sejak satu dekade terakhir, aktivitas-aktivitas para penulis NTT di bidang sastra banyak bermunculan.
Hal ini terlihat dari produksi buku-buku sastra, adanya media-media cetak maupun elektronik, baik harian, mingguan, hingga jurnal-jurnal yang memberikan ruang dan berorientasi khusus untuk sastra, serta munculnya karya-karya dan nama-nama putra-putri NTT di berbagai event sastra nasional dan internasional. Eksistensi sastra NTT yang kian menampakkan diri juga dianggap tumbuh beriringan dengan kesadaran berkomunitas baik dalam bidang sastra maupun komunitas seni dan budaya, yang bersama-sama mencoba menggali dan melestarikan kekayaan NTT.
Deskripsi di atas sedikit menggambarkan latar belakang perhelatan Festival Sastra Santarang (FSS) 2015. Festival yang diadakan pada 2-4 Juni 2015, di Kupang ini terselenggara atas prakarsa dan kerja sama Komunitas Dusun Flobamora Kupang dengan Komunitas Salihara Jakarta. Komunitas Dusun Flobamora sendiri adalah suatu komunitas sastra yang didirikan pada 19 Februari 2011 oleh sejumlah pegiat sastra kota Kupang. Sejak saat itu, Dusun Flobamora memiliki aktivitas yang sangat produktif di bidang sastra, salah satunya dengan melahirkan Jurnal Sastra Santarang (Sabana, Lontar, Karang), yang namanya diangkat menjadi nama event ini.
FSS 2015 menghadirkan Ayu Utami (novelis) dan Hasif Amini (redaktur puisi Kompas) sebagai perwakilan dari Komunitas Salihara, AS Laksana (cerpenis), para sastrawan NTT (Mario Lawi, Mezra Pellondou, Dicky Senda, Ishack Sonlay), para akademisi, serta kepala Kantor Bahasa NTT sebagai wakil pemerintah daerah, dan diikuti oleh berbagai komunitas yang ada di NTT (Kupang, Maumere, Ruteng, Soe, Kefamenanu, dll.). Selain membahas berbagai hal tentang geliat pertumbuhan dan perkembangan Sastra NTT, FSS juga berorientasi mengobarkan kembali semangat berkomunitas (lintas bidang dan genre) kaum muda dan masyarakat NTT umumnya, serta membangun jejaring di antara komunitas-komunitas tersebut.
Rangkaian acara Festival Sastra Santarang dibuka dengan penerimaan perwakilan dari Komunitas Salihara-Ayu Utami dan suaminya Erik Prasetya (fotografer)-bersama beberapa komunitas partisipan, pada malam tanggal 1 Juni 2015. Meski dalam suasana nonformal, acara penerimaan yang terjadi di markas Komunitas Dusun Flobamora ini penuh nuansa kekeluargaan. Acara penerimaan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan masyarakat Timor (Koen Nok Tem), dipimpin lagsung oleh Rm. Amanche Frank Oe Ninu sebagai pembina komunitas tersebut. Rentetan acara selanjutnya terangkum dalam beberapa tema dan sesi seperti sarasehan pengembangan komunitas seni budaya di NTT, bincang buku dan parade karya sastra NTT, beberapa diskusi sastra, pentas seni dan hiburan, workshop penulisan kreatif, media visit, book signing dan evaluasi bersama beberapa komunitas partisipan. Total peserta yang tercatat dari semua kegiatan mencapai 680-700 orang.
Dalam sesi sarasehan pengembangan komunitas-komunitas seni budaya di NTT, FSS membuka ruang refleksi, konsolidasi, sekaligus membangun jejaring interkomunitas dari berbagai komunitas yang diundang. Sedikitnya, ada 27 komunitas lintas genre yang terlibat dalam diskusi menarik yang dimoderatori oleh Dicky Senda ini. Ayu Utami sebagai pembicara membantu para partisipan dalam mempertegas visi dan misi komunitas dengan berbagai pemikiran dan sudut pandang tentang NTT.
Lebih jauh, ada juga sharing dari perwakilan Komunitas LG Corner Ruteng, Lopo Biinmafo, dan Forum Soe Peduli, soal sepak terjang dan suka duka mereka menjalankan berbagai karya dalam komunitaas masing-masing. Beberapa komunitas partisipan seperti Komunitas Sastra Filokalia Seminari Tinggi St. Mikhael Kupang, Komunitas Teater Tanya Ritapiret-Maumere, Komunitas Vigilantia-Karmel Maumere dan beberapa komunitas lain pun turut memberikan gagasan mereka pada kesempatan ini. Pemerintah daerah yang diwakili oleh Bapak Luthfi Baihaqi (Kepala Kantor Bahasa NTT) memberikan perspektif yang positif terhadap aktivitas-aktivitas komunitas seni dan budaya di NTT. Mewakili pemerintah daerah, beliau sangat mengapresiasi penyelenggaraan FSS, dan membuka ruang serta kesempatan seluas-luasnya bagi komunitas-komunitas untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam mengembangkan kebudayaan NTT.
Beberapa diskusi sastra dalam FSS 2015 dilakukan di beberapa tempat berbeda dengan peserta yang beragam. Bincang-bincang mengenai parade karya sastra NTT di Aula Hotel Romyta difasilitasi oleh Mario Lawi sebagai narasumber utama, dan beberapa pembicara yang menyampaikan testimoni atas karya-karya para penulis NTT seperti Pion Ratulloly, Unu Ruben Paineon, Monika N. Arundhati, Steve Elu, Cyprianus Bitin Berek, Christian Dicky Senda dan AN Wibisana. Diskusi sastra lainnya dilangsungkan di Aula Universitas Nusa Cendana (Undana), bekerja sama dengan beberapa fakultas bahasa serta fakultas keguruan dan ilmu pendidikan setempat.
Selain Ayu Utami, diskusi sastra di Undana juga menampilkan sebagai narasumber Rm. Amanche Frank Oe Ninu yang memberi sharing sekaligus refleksi kritis tentang perananan komunitas dalam perkembangan sastra NTT, dan Bapak Marsel Robot (akademisi) yang membantu para peserta melihat pemetaan dan perkembangan sastra NTT lintas generasi. Diskusi sastra yang terakhir diadakan di aula Seminari Tinggi St. Mikhael Kupang, dengan dua pembicara utama yaitu AS Laksana dan Hasif Amini. Diskusi ini mengupas beberapa wacana penting dalam puisi serta cerpen Indonesia masa kini.
FSS juga mengadakan workshop penulisan kreatif yang difasilitasi langsung oleh AS Laksana, Hasif Amini, dan Ayu Utami. Masing-masing narasumber berbicara sesuai bidangnya perihal proses kreatif penulisan cerpen, puisi, dan jurnalisme sastrawi. Sesi workshop dilaksanakan di aula Undana dan mendapat atensi yang cukup tinggi dari para mahasiswa, pelajar SMA, SMP, dan para partisipan yang hadir. Sesi workshop yang lebih intensif dengan peserta yang lebih terbatas (beberapa komunitas partisipan) dilakukan di Taman Dedari, Sikumana. Sesi ini memiliki kesan tersendiri, karena para peserta dapat berbagi langsung pengalaman menulisnya bersama para narasumber dalam susana canda tawa sambil menikmati hidangan makanan ringan yang disajikan oleh Taman Dedari. Di taman yang sama, para peserta mendapat ruang yang sangat luas dalam mengeksprseikan, mengeksplorasi, dan mengapresiasi kemampuan bersastra yang mereka miliki dalam malam pentas seni serta hiburan.