Lihat ke Halaman Asli

Siapa Suruh Datang Jakarta?

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jakarta …

Ada sedikit kesombongan bagi orang daerah yang hijrah ke kota ini. Banyak timbul paradigma unik baru tentang orang orang pendatang itu. Mereka merasa akan menjadi “sesuatu” atau “seseorang” yang lebih “waaaah!”nantinya jika mereka telah kembali ke daerahnya.


Tulisan ini sepintas terinspirasi pengalaman pribadi penulis yang saat ini sedang menjadi saksi hilangnya beberapa paparan budaya, salah satunya adalah logat kedaerahan.

Kita semua tahu, Indonesia hadir dan eksis bukan hanya karena kerennya pemerintahan dalam hal korup yang semakin menjadi tradisi baru, atau mungkin dengan suksesnya Agnes monica menembus Europe music award. Tapi kita kudu ingat semboyan Bhineka Tunggal Ika yang kita pelajari dulu di SD. Berbeda tetap satu jua. Pulau yang tersebar rata, dengan budaya yang beda pula, bahkan bahasa dan tradisi yang menyertainya. Percaya atau tidak, Indonesia menjadi Negara kepulauan terbesar di dunia. Terkenal kan, kita?? Jadi hendaklah kita tetap pertahankan budaya yang unik dan indah itu..

Sangat disayangkan, Jakarta membuat semuanya menjadi titik nol. Jakarta telah membuat mereka atau lebih tepatnya telah memaksa mereka untuk berubah. Berubah mengikuti budaya Jakarta yang bebas dan berhak melakukan apa saja. Budaya itu telah meleburkan diri menjadi ragam pikiran tentang kerennya Jakarta.. Jakarta… Jakarta..

Selain budaya bahasa daerah, Jakarta juga mampu menyulap diri para pengunjungnya sendiri menjadi pribadi yang (sok) modern. Namun dengan kosongnya konsep modernitas itu sendiri.

Wonderful Jakarta,

Saktinya Jakarta,

Mampu menciptakan manusia manusia baru yang jauh dari budaya “ibu” yang telah melahirkannya dan yang telah memberikan “suntikan” budaya berprikemanusiaan selama ini.

Kenapa bisa begitu?

Sepertinya (sok) modern itu yang telah membuat mereka lupa diri. Bahkan baju yang mereka kenakan saat datang ke Jakarta pun, mereka telah tanggalkan dan lupa akan warna dasarnya sekalipun. Tanpa ada tendensi macam macam, Jakarta telah melumatnya tanpa sisa.

Jakarta memang tak sekejam ibu tiri, tapi Jakarta lebih kejam dari juragan para TKW itu.

#Siapa suruh datang Jakarta?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline