Nafasnya tersengal-sengal, keringat dingin mengucur dari pori-porinya. Matanya membelalak, menerawang sekeliling. Menatap nanar pada kaca besar yang berada di dalam kamarnya yang remang. Detak jam semakin membuatnya tergugu kaku, tak bergeming. Masih dini hari, pukul dua pagi.
Dia menyeka keringatnya yang terus mengucur, tangannya yang pucat gemetaran. Langkah tertatih dia menuju sebuah meja kecil, meneguk hingga tandas air putih. Ditariknya nafas dalam, perlahan dia mulai kembali tenang. Namun tak dipungkiri ketakutan masih terus membayanginya. Dia tidak akan dapat tidur lagi malam ini.
Waktu terasa lambat bergulir, menit demi menit dia rasanya begitu menyiksa. Matanya yang lelah, kantung mata yang nampak jelas di antara wajah jelitanya. Sudah beberapa hari ini Prita tak tidur, lebih tepatnya takut tidur. Wanita yang menginjak kepala dua itu terus gamang. Dia bingung, dia khawatir, menunggu pagi sangat menyiksanya.
Prita berkutat dengan gadgetnya, sesekali mengecek media sosialnya. Masih banyak yang belum tidur, masih ada orang yang tak mampu memejamkan mata sama sepertinya. Apakah alasan mereka sama karena tak dapat tidur. Mungkin tidak.
Dilemparnya gadget bercasing ungu tersebut, terpental hingga kesudut springbednya. Dia mengeluh panjang, dia lelah. Prita ingin tidur, hanya satu inginnya. “Aku hanya ingin memejamkan mata sejenak, tolong jangan menghantuiku lagi”, dia mendesah pelan mencoba mengatasi rasa takutnya sendiri.
Kamar yang remang, cahaya bulan masuk diantara sekat-sekat jendela kamarnya. Diluar begitu cerah, bulan purnama. Malam yang begitu cantik, bulan purnama yang begitu sempurna memesona. Tetap saja terasa hambar oleh Prita. Dia sudah tak dapat menikmati malam lagi kini. Hanya ada ketakutan yang terpartir di otaknya.
“Aku tak peduli, aku ingin tidur!”, Prita berujar kesal. Ditariknya selimut erat, matanya terpejam. Sesekali bibir mungilnya bersenandung pelan, lagu nina bobo. Tak dipungkiri begitu susah, sangat susah baginya untuk tenang memejamkan mata. Selalu saja seperti itu, berulang kali terjadi. Hingga dia pun sendiri lupa, kapan dia mulai membenci malam dan tidur. Dia ingin segera pagi datang, secepatnya jam berdetak menunjukkan pukul 6 pagi.
“Oh Tuhan, dapatkah aku membunuh malam? Aku takut”, Prita terisak pelan dibalik selimut tebalnya. Dia menyeka kembali airmatanya yang lagi-lagi luruh dipipi mulus nan putihnya. Wajah jelitanya semakin hari semakin kuyuh, tak seperti beberapa minggu yang lalu sebelum dia ingin sekali membunuh malam. Prita hanya ingin membunuh malam, itu saja.
“Aku hanya ingin tak ada malam hari, apakah hal tersebut berlebihan”, Prita berkata pelan, sangat pelan bak desiran angin malam yang halus.
“Mengapa manusia harus tidur? Mengapa manusia membutuhkan tidur? Jika kelak manusia akan tidur untuk selamanya, mungkin pada pagi harinya. Mungkin. Aku tak mau hal tersebut terjadi padaku pula”. Suaranya parau, flu hebat melandanya. Kepalanya terasa berat memikirkan bagaimana caranya membunuh malam.