Lihat ke Halaman Asli

Maaf Ibu

Diperbarui: 4 Mei 2017   01:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

di simpang jalanan.
aku menepi.
duduk. merenung.
siapa dan untuk apa aku mencari?

katak bernyanyi.
serangga berbisik.
kapan aku pulang. sunyi,
menuduh bahagia mempermainkan diri.

bersembunyi di balik mata si jahat.
bagaikan cerita raja-raja naif.
yang berkisah mengukir kata cinta di atas kain kafan
dengan tinta bening.

menuntun langkah si anak yatim.
menuju jurang.
kematian.
kekosongan diri.

“wahai kawanku,” bisik sang nabi.
“tak ada gunanya mencari sesuatu tak kau kenal.
percayalah, tak ada yang lebih mengerikan
dari pada menjalani hidup tanpa tujuan.”

“dengarlah, jika jahat mengundang. terimalah.
atau baik bernyanyi dengarkanlah ia.
bukankah nikmat ada dalam berlari,
setidaknya kau tahu harus kemana kakimu melangkah.”

“dan diam, adalah hukuman
bukan sebuah penundaan.
sebab menunda ada pula tujuannya.
namun, menunda tak bertujuan adalah matinya jiwa.”

aku adalah aku dengan jiwa yang mati itu.
menunggu hari penghakiman.
menanti dan merintih
di penghujung jalan kehidupan.

oh!, ibu!, aku begitu merindukan rumah.
jika waktu mengasihiku, ingin kuketuk sekali lagi
pintu kebijaksanaanmu
dan memohon maafmu
karena mencari di tempat yang asing.

***

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline