Hari Senin 31 Oktober 2016, Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan,”Demonstrasi adalah hak demokratis warga, tapi bukan hak memaksakan kehendak dan bukan hak untuk merusak," katanya. Pernyataan itu diungkapkannya guna menanggapi rencana aksi unjuk rasa sejumlah ormas Islam pada Jumat 4 November guna menuntut agar calon Gubernur DKI Jakarta Nomor Urut 2 Basuki Tjahaja Purnama diproses hukum terkait indikasi penistaan agama Islam yang dituduhkan kepadanya. Pasca Demontrasi damai tersebut, Presiden mengeluarkan pernyataan bahwa demo tersebut telah ditunggangi aktor politik.
Maka, menarik untuk dikaji dalam tulisan singkat ini, apa sih keterkaitan antara demonstrasi dan demokrasi di satu sisi serta Islam dan Politik di sisi lain?
Demonstrasi dan Demokrasi
Menurut cendikiawan muslim terkemuka, Cak Nur, salah satu prinsip dalam demokrasi adalah bahwa demokrasi seharusnya menguatkan egalitarianisme dan kesantunan politik, artinya demokrasi menolak masyarakat yang terkotak-kotak dan saling mencurigai satu sama lain. Ini harus dipegang teguh, apalagi dalam konteks kebangsaan kita sekarang yang sedang aktif-aktifnya belajar demokrasi.
Ditambahkannya, demokrasi juga merupakan proses trial and error, suatu proses yang wajar terjadi lebih-lebih bila negara tersebut sedang ada dalam proses transisi menuju masyarakat yang lebih demokratis. Maka, harus ada konsistensi dan kesabaran dalam menjalani demokratisasi, dimana dalam hal ini aktivitas demontrasi/unjuk rasa termasuk di dalamnya.
Salah satu prinsip dasar demokrasi Pancasila yang dianut oleh negara Indonesia adalah demokrasi yang berkedaulatan rakyat, yaitu demokrasi di mana kepentingan rakyat harus diutamakan oleh wakil-wakil rakyat, sementara itu rakyat juga dididik untuk ikut bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang antara lain diungkapkan dalam demonstrasi, aktivitas turun ke jalan guna menyampaikan pendapat secara bebas. Karenanya kebebasan berpendapat di muka umum dijamin oleh UU.
Islam dan Politik
Terlebih dahulu kita yuk kita flashback perjalanan sejarah kiprah umat Islam dalam kehidupan social, politik, budaya dan religi masyarakat di Indonesia sejak awal abad 20. Seperti kita ketahui bersama, organisasi modern bernafas Islam seperti Sarekat Islam, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah telah berkarya ditengah-tengah masyarakat Indonesia pada masa kolonial tersebut. Ketika kemerdekaan pada akhirnya tercapai, Islam tidaklah dijadikan landasan negara ini, melainkan Pancasila. Meskipun demikian, cita-cita untuk menjadikan Islam sebagai haluan negara tidaklah luntur sampai tahun-tahun terakhir ini. Hal itu diperjuangkan kelompok-kelompok tertentu baik secara konstitusional maupun non-konstitusional.
Ada dua partai politik besar berlatar belakang Islam pada era 1945-1960an. Keduanya adalah Masyumi dan Partai NU. Meskipun memiliki kesamaan dalam bidang tertentu, keduanya juga memiliki perbedaan yang cukup signifikan berkaitan dengan peran politik mereka. NU umumnya bersikap koperatif dengan pemerintah Soekarno sehingga mereka cukup eksis pada periode itu. Namun Masyumi terus mencoba untuk mendiskreditkan pemerintah Soekarno.
Di masa Soeharto, partai-partai Islam mengalami pengerdilan, meskipun secara formal mereka tergabung dalam PPP. Kehadiran partai tersebut sesungguhnya tidak cukup bermakna bagi sebagian umat Islam di Indonesia yang menghendaki pemakaian asas-asas agama tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejak Indonesia memasuki era yang kononbersifat reformis ini sampai dewasa ini, partai-partai bernafaskan Islam kembali marak dalam ensiklopedi kehidupan bangsa Indonesia. Kehadiran partai politik Islam itu menjadi sebuah keniscayaan dan harus dibedakan dengan organisasi sosial keagamaan (seperti NU, `Muhammadiyah maupun lainnya). Organisasi sosial keagamaan menjadikan tokoh-tokohnya untuk berkonsentrasi di bidang keagamaan dan kemasyarakatan.