Bayangkan seandainya Pilkada DKI 2017 hanya diikuti dua kubu, maka situasi Indonesia mungkin menjadi tidak sehat. Seluruh anak bangsa akan terjebak dalam perseteruan dua kubu : Pro Ahok Vs Anti Ahok. Yang lebih menyeramkan adalah, kecenderungan warga kita berpolitik dengan menggunakan isu SARA, baik saat menyerang lawan, juga untuk mendapat dukungan. Dan kampanye dengan isu agama dan suku ini terbukti berpotensi menimbulkan gejolak sosial. Jadi, kalau Ahok dibiarkan berhadapan satu lawan satu dengan lawannya, maka stabilitas di Indonesia pasti terancam.
Siapa yang merasa berkepentingan dengan terjaganya stabilitas di Indonesia ? Ini mungkin dianggap pertanyaan yang bodoh. Sebab pada dasarnya semua yang normal dan masih waras menginginkan stabilitas tetap terjaga di negerinya.
Tapi walaupun semua orang merasa stabilitas itu penting, namun tidak semua orang mampu menciptakannya. Dan tidak semua orang mau berkorban banyak uang untuk menjaganya. Harus ada kepentingan yang lebih besar dari modal yang dikeluarkan untuk menjaga stabilitas. Disinilah letak kekuatan sebagian elit politisi kita. Ketika mereka dianggap bisa mengganggu atau mempertahankan stabilitas, mereka akan dapat dukungan "entah dari mana".
Keputusan untuk memajukan Agus H Yudhoyono pada detik-detik terakhir pendaftaran bakal calon Gubernur DKI mengagetkan banyak pihak. Jelas ini bukan figur pilihan untuk menang. Tapi majunya Agus sudah menjadi penyelamat stabilitas. Pilkada DKI diikuti 3 kubu.
Sebagai Putra SBY dan seorang Perwira Menengah TNI aktif, kemunculan Agus jelas bukan ancaman kepada lawan politiknya. Alasannya:
Yang pertama, keberhasilan Jokowi dalam banyak bidang saat ini, menempatkan SBY sebagai "bersalah" dan dianggap tidak berprestasi dalam pemerintahannya selama 10 tahun. Sebab kecenderungan membandingkan capaian mantan dan penerus adalah lumrah dalam kepemimpinan. Penilaian itu pasti tidak menguntungkan bagi Agus.
Yang kedua, majunya seorang Mayor TNI ( pensiun sbg Letkol) untuk mengincar jabatan Gubernur DKI, dimana sebelumnya minimal berpangkat bintang dua (Mayor Jenderal) akan terasa aneh. Bayangkan saja seorang Letkol(Purn) yang masih muda memerintah Pangdam dan Kapolda yang umur, pengalaman, dan pangkatnya lebih tinggi. Bayangkan saja. Karena itu tidak akan terjadi.
Agus dimajukan sepertinya bukan untuk menang, dan Anies juga sudah berpidato anti SARA dan cenderung "melindungi" Ahok. Yang menjadi pertanyaan berikut: "Siapa dibalik keputusan majunya manusia-manusia baik hati ini ?"
Jika kemunculan Agus adalah keputusan untuk menjaga stabilitas, maka bisa dipastikan beliau juga akan dipersiapkan menjadi pemimpin pilihan dimasa depan. Tentu saja setelah beliau membenahi partai "milik" keluarganya ( PD ), dan juga telah berakhir masa keemasan era Jokowi dan Ahok. Dan itu sekitar 15 atau 20 tahun lagi. Saat itu Agus H Yudhoyono harusnya sudah lebih matang dan memiliki kharisma yang melampaui SBY.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H