Menyimak euforia ramainya pembahasan topik akan Kompasiana Awards 2023, mulai dari ajakan untuk memilih para penulis lainnya yang diunggulkan atau menuliskan kegalauan hatinya antara sikap pesimis, optimis atau cuek alias netral saja dalam meraih penghargaan yang bergengsi ini.
Sungguh fenomena yang menarik dan membuat saya termenung serta mencari jawaban secara jujur pada diri sendiri apakah pemberian penghargaan pada tingkat pencapaian kualitas diri di dunia literasi itu perlu mendapatkan sebuah bentuk "penghargaan"?
Wah, jawabannya bisa normatif, spekulatif, manipulatif atau tif tif banyak lainnya nih! Bisa jadi, lisan mengatakan tidak butuh, tapi pikiran dan hati selalu mengharap.
Pikiran dan hati menolak, namun lisan dan pikiran selalu mengharap. Bahkan, diputuskan pikiran sudah menerima pun, tetapi terpaksa hati bersikap menolak.
Kok bisa begitu?
Tentu bisa dan ada peristiwa, atau fenomena itu di belahan dunia sana. Jika tidak percaya, coba cermati saja akan hadiah Nobel pada Boris Paternak.
Seorang sastrawan dari Rusia yang dianugerahi hadiah Nobel di bidang Sastra dan dia berhak menerima uang jutaan dollar, tapi ternyata negara Rusia menolaknya meski dalam hati, Boris juga ingin menerimanya.
Penulis Novel lainnya yang mendapatkan hadiah Nobel adalah Ernest Hemingway dengan judul novelnya "The Old Man and The Sea", yang pernah diangkat ke layar perak, dianggap menunjukan karya sastra tertinggi pada gambaran perjuangan pada kehidupan manusia.
Ironisnya, setelah menerima penghargaan nobel itu, Ernest Hemingway justru mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Nah, bagaimana dengan Kompasiana Awards?
Kompasiana Awards 2023? Apakah sebagai bentuk reinforcement (penguatan) yang positif atau negatif bagi para penulis?