Pertama kali saya mendapatkan cita rasa makanan yang 'agak gimana' terutama pada kuah sayurnya adalah saat mengunjungi Kota Hanoi, Vietnam pada tahun 2015.
Kegiatan Lomba inovasi teknologi pelajar Tk. Asia Pasifik selama sepekan yang memfokuskan pada kepedulian anak didik sejak dini terhadap lingkungan itu dihadiri ratusan peserta tak terkecuali dari pelajar Indonesia.
Biasanya, dimanapun dan kapanpun saat momen jamuan makan tiba, pastilah disambut gembira, namun tidak bagi beberapa pelajar Indonesia yang telah mencicipi hidangan dengan aroma yang 'mendominasi' itu dan dampaknya, nafsu makan mereka menjadi berkurang atau hilang.
Ada yang mengatakan aromanya apek, seperti aroma debu kena tanah, aroma kain basah, atau aroma yang sulit dilukiskan dalam uraian melalui kata-kata karena setiap anak punya pendapat yang berbeda sesuai respon pada sensor otak mereka masing-masing.
Kasus seperti itu terjadi berulang kali pada event lomba tahunan berikutnya mulai dari Kota Hanoi, Kota Ho Chi Minh di Vietnam. Juga saat di Kota Phnom Penh dan Kota Siem Reap, Angkor Watt Kamboja, cita rasa ' apek' masih mendominasi.
Bahkan, saat bertugas di Kota Seoul dan Gwangju, Korea Selatan sebenarnya juga ada "sensasi" rasa yang sama, namun tertutup oleh kuatnya cita rasa "Kimchi" pada semua makanan di sana.
Bagi saya sendiri, makanan apapun dari negara manapun, semua bisa masuk di perut dan yang terpenting halal food. Juga, masyarakat di negara itu tetap hidup dan sehat bila mengkomsumsinya, artinya, perut saya juga akan bisa menerimanya.
Memang aroma apa sih yang jadi topik pembahasan di artikel ini?
Itu adalah Coriander Leaves, atau Daun Ketumbar. Daun yang sering disebut Wansui itu banyak tumbuh di kawasan negara sub tropis dan tropis ini bentuknya seperti daun Seledri, namun bila diteliti lebih, ada sedikit kelenturan pada tangkai daun ketumbar.
Coriander leaves atau daun ketumbar, Mui Ta dalam bahasa Vietnamnya. Sumber gambar Dokumen pribadi