Oleh: Davin Rusady Auguste Comte pernah menjelaskan bahwa ada perilaku manusia yang disebut altruisme. Altruisme adalah perilaku yang diniatkan untuk memberi perhatian kepada orang lain, memusatkan perhatian pada keinginan untuk membantu orang lain, dan melakukan kebaikan tanpa mementingkan imbalan. Bahkan, terkadang pelaku tidak memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Karakter tersebut sepertinya sedang menjadi tren di kalangan anak muda. Akhir-akhir ini banyak sekali kesempatan yang dibuka untuk mendaftar menjadi relawan pada sebuah kegiatan tertentu, seperti relawan bencana atau menjadi panitia di sebuah acara. Namun, apakah perilaku altruisme ini sudah menyebar hingga ke segala kalangan masyarakat, terlebih di Indonesia? Sekarang ini masih banyak ditemukan perilaku masyarakat yang justru menjadi penghambat impian masyarakat lainnya yang mendambakan kedamaian lingkungan, seperti mereka yang mengendarai mobil hanya untuk pergi ke minimarket dekat rumah, mereka yang mencuci baju dengan pemakaian air yang berlebihan, atau mereka yang mengira membuang sampah sembarangan adalah hal yang remeh. Remeh?
"Apa sih artinya satu bungkus plastik jika dibandingkan dengan kota Jakarta yang luasnya mencapai 661,52 kilometer persegi? Masa bisa gitu aja bikin banjir?"
Berdasarkan hasil sensus penduduk pada tahun 2010, jumlah penduduk Jakarta mencapai 9,6 juta orang. Jumlah itu diperkirakan bertambah menjadi sekitar 12,5 juta orang pada siang hari karena ada penduduk yang tinggal di luar wilayah DKI Jakarta tetapi beraktivitas pada siang hari seperti bekerja atau bersekolah di wilayah DKI Jakarta. Sekarang asumsikan saja kalau setiap penduduk Jakarta di siang hari menghasilkan satu sampah (jenis apapun) per hari, berarti ada 12,5 juta sampah yang dihasilkan setiap harinya dengan perkiraan berat sekitar 6,250 ton (dengan asumsi setiap orang membuang 0.5 kilogram sampah). Perhitungan kasarnya saja sudah cukup banyak, bukan? Dengan perkiraan tersebut, diyakini bahwa sampah adalah musuh terbesar bagi alam dan produktivitas manusia. Sampah-sampah yang dibuang sembarangan, terutama sampah plastik yang sulit terurai oleh tanah tentunya akan menyulitkan proses daur ulang yang akan menjaga planet ini sendiri. Mengapa sampah plastik? Berdasarkan data dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta, sekitar 13 persen dari 6.250 ton sampah yang dihasilkan dalam sehari tersebut berupa sampah plastik. Fenomena tersebut didukung oleh fakta bahwa kebanyakan pedagang menggunakan plastik sebagai pembungkus barang belanjaan yang akan dibawa oleh pembeli yang tidak tahu harus menenteng barang belanjaannya tersebut menggunakan apa. Hampir setiap minggu kita mendapatkan kantong plastik sebagai pembungkus barang belanjaan kan? Untuk membangun kesadaran masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan dan mengupayakan manfaat dari sampah plastik, Earth Hour Indonesia mengadakan sejumlah kegiatan di kawasan bebas kendaraan bermotor (Car Free Day) di sekitar jalan M.H. Thamrin, Jakarta, jalan Jendral Sudirman, dan sekitarnya pada hari Minggu, 23 Februari 2014 lalu. Earth Hour Indonesia mengundang 120 anak muda dan komunitas-komunitas hobi di Jakarta untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya sampah plastik dan membiasakan diri untuk memilah sampah berdasarkan tiga kategorinya, yaitu sampah yang akan dibuang ke TPA, seperti sedotan, kertas kotor, plastik mika, dan plastik sisa makanan; sampah daur ulang, seperti kemasan minuman dan makanan; serta sampah kering, seperti kardus dan kertas. [caption id="" align="aligncenter" width="288" caption="Seorang pengunjung Car Free Day membuang kemasan air mineral untuk didaur ulang"][/caption]
"Plastik, tanpa kita sadari sudah menjadi bagian rutin dari keseharian kita, namun masyarakat masih tak sadar akan dampak dari penggunaan plastik yang berlebihan. Selain sulit terurai secara alami, plastik juga memiliki potensi dampak terhadap kesehatan manusia, bila dibakar secara bebas, maupun terhadap satwa-satwa liar. Mari mulai dari diri kita sendiri, kurangi penggunaan plastik dari sekarang,” kata Nyoman Iswarayoga, Direktur Komunikasi dan Advokasi WWF-Indonesia.
Tidak hanya memperhatikan tentang sampah saja, kampanye #PlastikTakAsik juga mengumpulkan kaus bekas untuk dikreasikan menjadi tas*. Selain itu, ada juga tempat untuk mengumpulkan tas-tas belanja yang masih layak pakai untuk diberikan ke daerah-daerah di Indonesia yang mengalami kesulitan untuk memperoleh tas belanja yang bisa digunakan secara berkelanjutan. [caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Anak-anak pramuka belajar membuat tas dari kaos yang tidak terpakai"]
[/caption]
Sampah-sampah plastik yang dikumpulkan dalam kampanye #PlastikTakAsik tersebut akan dibawa ke bank sampah dan datanya akan menjadi dijadikan sebagai bahan riset.
"Kami melakukan aksi serentak dengan tagline #PlastikTakAsik di 23 kota untuk menyambut kegiatan Earth Hour pada 29 Maret 2014," kata Managing Director WWF Indonesia, Devy Suradji.
Menurut Devy, misi utama aksi itu adalah mengajak masyarakat melakukan perubahan secara mudah dan murah, dengan mengurangi penggunaan sampah plastik setiap hari. Sampah plastik sendiri baru bisa terurai selama 1,000 tahun. Melalui aksi ini, Earth Hour Indonesia mengajak masyarakat untuk mengurangi penggunaan produk-produk dengan kemasan plastik dan memilah sampah-sampah plastik mulai dari rumah. Di Jakarta, kampanye #PlastikTakAsik didukung oleh 120 orang relawan dan beberapa komunitas, seperti Himpunan Astronomi Amatir Jakarta, Line Magic, Si Dalang (Kreasi Daur Ulang), Jumper Parkour Freerun, Couch Surfing, Bike To Work, 1001 buku, Peta Hijau Jakarta, Yoyo, Uttara ID, Federal Jakarta, Kampus London School of Public Relations, Kampus Universitas Bakrie, dan Pramuka. Selain di Jakarta, kampanye tersebut juga dilakukan di 23 kota lainnya, seperti Tangerang, Bandung, Bekasi, Bogor, Solo, Semarang, Yogyakarta, Kota Batu, Malang, Sidoarjo, Kediri, Denpasar, Banda Aceh, Padang, Palembang, Pekan Baru, Balikpapan, Samarinda, Pontianak, Banjarmasin, Palangkaraya, dan Makassar. Total sampah yang terdata cukup besar dan sangat potensial untuk menyumbat proses distribusi air di kali dan waduk, sehingga menyebabkan banjir. Di Jakarta, kampanye ini sendiri berhasil mengumpulkan 52,35 kilogram sampah. Sedangkan akumulasi berat sampah yang berhasil terkumpul melalui kampanye #PlastikTakAsik di seluruh kota tersebut berjumlah 502,34 kilogram. [caption id="" align="aligncenter" width="553" caption="Seluruh peserta kampanye #PlastikTakAsik berkeliling di area Car Free Day Jakarta untuk mengedukasi pengunjung tentang sampah plastik"]
[/caption] Sebenarnya, kita tidak harus menunggu orang lain untuk membuat sebuah perubahan, malah bisa jadi orang lain sedang menunggu kita untuk membuat perubahan. Jadi masih mau menunggu sampai lingkungan ‘sakit’ atau langsung berkolaboraksi dengan kami untuk membuat perubahan dari sekarang? *untuk ikut belajar membuat tas dari kaus, tersedia tutorial yang dapat diunduh di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H