Lihat ke Halaman Asli

Politik Abal-abal dalam Dunia Kampus

Diperbarui: 24 Desember 2016   17:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: bintang.com

Dalam jagat dunia kampus UIN Jakarta, demokrasi ditunjukkan dengan pengadaan Pemilihan Raya(Pemira) setiap tahunnya untuk memilih presiden Dewan Eksekutif Mahasiswa(DEMA) dan Senat Mahasiswa(SEMA) dengan prinsip dari mahasiswa, oleh mahasiswa, dan untuk mahasiswa.

Sedangkan dalam demokrasi sendiri, ada 2 prinsip penting yang wajib dipegang dalam rangka menegakkan demokrasi itu sendiri, yaitu: vox populi vox dei(Suara rakyat, suara Tuhan) dan Salus populi suprema leg(Kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi).

Dua prinsip kedigdayaan tersebut dimiliki oleh mahasiswa sebagai civil societyuntuk mewujudkan suatu bentuk demokrasi ideal dalam kampus, dengan kedua prinsip itu maka miniatur tata kelola pemerintahan dan demokrasi di kampus hendaknya berlangsung sehat.

Namun masalahnya, jika dalam demokrasi vox populi vox dei,jika suara Tuhan adalah suara mahasiswa sebagai civil societydi kampus,suara mahasiswa yang mana?

Setidaknya ada tiga organisasi mahasiswa islam yang benderanya berkibar tegak di UIN Jakarta, yaitu HMI, PMII, dan KAMMI. Namun demokrasi tidak hanya dimiliki oleh ketiga kelompok tersebut, tapi juga mahasiswa-mahasiswa yang tidak tergabung dalam organisasi apapun, atau juga sering di sebut dengan Mahasiswa ‘Netral’.

Mao Zedong pernah berkata bahwa politik adalah perang tanpa darah, namun statement ini tidak otomatis menghalalkan penggunaan agitasi, penghasutan, dan menyebar kebencian sebagai amunisi dalam perang.

Setidaknya, semua orang terutama tim sukses pasangan calon harus menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik, sehingga masalah yang muncul ketika Pemira tidak berlanjut setelahnya.

Seperti yang terjadi beberapa waktu belakangan ini, ada saja oknum yang tetap melakukan agitasi walaupun pemira sudah berakhir, bahkan ada yang sudah memenangi pemira namun seakan gagal move ondan terus mencoba untuk menyebarkan kebencian.

Bahkan di salah satu fakultas, ‘tim’ yang memenangi pemira, masih mencoba untuk melakukan public shamingterhadap beberapa orang yang mengkritik mereka pada saat rangkaian acara pemira dilaksanakan dengan cara memposting foto-foto dengan tulisan yang mengkritik mereka dan men-tagsi kritikus di akun sosial medianya lalu melakukan playing victim seakan ia menjadi korban yang disudutkan, padalah kritik yang disampaikan tersebut bersifat general dan tidak berfokus pada satu orang.

Orang-orang seperti ini seakan meng-Amin-i kata-kata George Owell bahwa “Political language is designed to make lies sound truthful and murder respectable”, sehingga melakukan agitasi, menyebarkan kebencian, menyebut bahwa kepemimpinan BEM tahun lalu itu buruk, menghina pasangan calon lain, serta membunuh karakter, adalah ciri-umum-yang-wajib-ada dalam kanca perpolitikan.

Menurut hemat saya, hal ini memunculkan sebuah pertanyaan besar,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline