Lihat ke Halaman Asli

EJK

Penulis Lepas

Akhir Lakon Sutan Syahrir, Tragis

Diperbarui: 9 April 2019   12:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi. Mr.Jonkman di Terima Oleh P.M.Sutan Syahrir (Mei 1947) (Kompas)

Syahrir, seharusnya tak ada orang Indonesia yang berani menyangsingkan jasa-jasanya untuk negeri ini. Diplomasi Sang Perdana Menteri Pertama republik ini di pentas internasional menjadikan Indonesia sebagai negeri jajahan pertama di dunia yang masuk dalam agenda sidang Dewan Keamanan PBB. Dia Pejuang kemanusian, diplomat ulung, demokrat sejati yang mengakhiri lakon hidupnya dengan kisah tragis. 

Entah kenapa kisah-kisah orang besar negeri ini selalu saja berujung dengan cerita tragis, mengiris hati yang selayaknya tidak mereka dapatkan setelah kebesaran dan keagungan mereka persembahkan untuk Indonesia. 

Lihat saja akhir cerita Tan Malaka yang ditembak mati tentara republik, Soekarno yang meninggal dalam kesendirian dan keterasingan, demikian juga dengan Hatta hingga akhir hayatnya tidak mampu membeli sepatu Bally yang sangat diinginkannya, seorang mantan Wakil Presiden tidak punya uang untuk sekedar beli sepatu bermerk.

Syahrir meninggal dunia di Zurich, Swiss, tanggal 9 April 1966 dengan status tahanan politik mantan teman seperjuangannya sendiri, Soekarno. Apakah politik itu kejam, menutup mata dan hati hingga tak mengenal kawan lama dan saudara sendiri ? Tentu saja jawabannya tidak. Politik tidak kejam, tapi kekuasaan yang menjadi candu membuat dia menjadi kejam. 

Kecanduan akan kekuasaan membuat lupa menjejakan kaki di bumi. Mau bukti? Bukankah Soebandrio itu dulu adalah pengikut Syahrir, pada tahun 1945 orang ini adalah anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Syahrir. Tapi demi memenuhi ambisi politik yang ujungnya kekuasaan, Soebandrio menjelma menjadi lawan politik Syahrir.

Begini ceritanya, ketika itu 18 Agustus 1961 berkumpulah orang-orang besar yang berseberangan dengan Soekarno di Bali. Moh.Hatta, Sutan Syahrir, Moh.Roem, Sultan Hamid II dan Soebadio Sastrosatomo berada disana atas undangan Anak Agung Gde Agung untuk menghadiri upacara ngabenan ayahnya. 

Tapi pertemuan ini akhirnya disebut sebagai konspirasi persekongkolan subversif oleh Soebandrio, kala itu dia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri sekaligus Kepala Pusat Intelijen. Bahkan dalam sebuah wawancara dengan wartawan Amerika, Arnold Brackman, Soebandrio menyebut: “Tidak ada tempat bagi orang-orang seperti itu”. 

Laporan-laporan intelijen diolah Soebandrio, dan dituduhlah orang-orang besar itu ingin melawan pemerintah. Selanjutnya, dini hari 16 Januari 1962 Sutan Syahrir ditangkap. Kemudian berturut-turut ditangkap Anak Agung Gde Agung, Soebadio Sastosatomo dan Sultan Hamid II. Tokoh-tokoh Masyumi seperti Moh.Roem dan Prawoto Mangkusasmito juga ditangkap. 

Penangkapan tokoh-tokoh itu mengisyaratkan Soekarno paranoid dan trauma akan kejadian PRRI-Permesta, ketika itu dituduh Masyumi dan PSI lah berada dibelakangnya. Apalagi masa itu Soekarno sudah mulai menemukan dirinya menuju kearah otoritarian yang cendrung diktator. Memanfaatkan kondisi ini, Soebandrio tampaknya tidak menyiakan kesempatan demi ambisi politiknya.

Syahrir memang kuat, ketika di penjara Madiun pernah mengalami hyper tension yang sangat tinggi. Namun mungkin karena Syahrir telah terbiasa hidup dalam penderitaan penjara sejak masa kolonial, hal ini tidak membuatnya ambruk. Padahal menurut dokter jika hal ini terjadi pada orang lain, mungkin telah lama ambruk. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline