Lihat ke Halaman Asli

Eko Sudaryanto

Awam yang beropini

Apa Perlunya DPR Berdebat tentang Moratorium Kunker ke Luar Negeri?

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_197669" align="aligncenter" width="500" caption="Para anggota Baleg DPR yang studi banding ke Denmark tampak menyusuri keindahan Sungai Copenhagen (Copenhagen Channel) (foto dan keterangan: Surabaya Post Online) "][/caption] Usulan penghentian sementara (moratorium) kunjungan kerja anggota DPR ke luar negeri, tak perlu diperdebatkan lagi. Langsung saja dibentuk sebuah tim kecil yang kompeten untuk membuat peraturan pelaksanaannya.

Jika para anggota DPR lapang hati terhadap kritik masyarakat luas, baik dari sisi efisiensi anggaran maupun dari segi manfaat, tak ada alasan yang sah untuk tetap mempertahankan "tradisi" kunjungan kerja/studi banding ke luar negeri, terkait dengan pembahasan sebuah RUU.

Jika cerdas dan tulus hati, mereka pasti paham bahwa, hal terpenting dalam rangkian pembuatan dan pembahasan RUU, adalah pemahaman yang sangat mendalam terhadap semua aspek dan permasalahan yang terjadi di wilayah dimana UU itu akan diberlakukan.

Atau dengan kata lain, meskipun kunker atau studi banding untuk mendalami aspek dan masalah terkait pembuatan dan pembahasan RUU mungkin dapat memperkaya wacana, namun dengan beberapa pertimbangan kegiatan itu jangan dianggap sebagai kegiatan yang mutlak harus dilakukan.

Dengan memanfaatkan teknologi media dan komunikasi yang semakin canggih, yang membuat dunia seakan-akan hanya selebar "daun kelor", semua informasi terkait pembuatan dan penerapan sebuah UU dapat dipelajari tanpa harus berkunjung langsung ke negara yang bersangkutan.

Alternatif lain, Anggota DPR dapat minta bantuan KBRI di negara yang akan dijadikan patron, untuk meriset dan membuatkan risalah tentang pembuatan dan penerapan sebuah UU di negara tersebut.

Kalaupun terpaksa harus melihat dan mendengar langsung ke negara yang akan dijadikan patron, bukankah DPR dapat mengutus 1-2 anggotanya yang paling kompeten untuk pergi ke sana?
Mengapa harus serombongan besar anggota dewan, yang biasanya juga diikuti oleh para istri-istri mereka, dan menghabiskan ratusan juta hingga milyaran rupiah?

Yang lebih menjengkelkan, karena study banding dan kunjungan tersebut tak juga meningkatkan kinerja dan produktifitas anggota dewan dalam menyekesaikan RUU yang masih menggunung. (E. SUDARYANTO, KOMPASIANA - 07092012)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline