Lihat ke Halaman Asli

Hardy Yang Ya Tao (扬 亚 涛)

Independent Researcher

Menjadikan Keaksaraan sebagai Fondasi Pendidikan Nasional

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1367471749784896441

Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana diundangkan memiliki tiga jalur sebagai wahana pencapaian tujuan. Secara ideal, ketiga jalur tersebut mendapat perhatian sepadan, bahkan pemerintah tidak memilah dan membedakan ketiga jalur pendidikan tersebut. Namun beragam keterbatasan dimiliki pemerintah dalam menghantarkan ketiga jalur tersebut sebagai inti layanan pendidikan bagi seluruh rakyat. Diiringi persepsi dan kebiasaan masyarakat terhadap layanan pendidikan, tidak mengherankan apabila diantara ketiga jalur layanan tersebut, pendidikan sekolah lebih menyita perhatian termasuk kebijakan pengembangan dan penetapan program. Kondisi tersebut selain menciptakan ketimpangan juga menyemai ketidakadilan perlakuan baik terhadap penyelenggara, sasaran dan program pendidikan. Kalau pun ketiga jalur memiliki keunggulan masing-masing, seyogyanya karakteristik masing-masing mendapat porsi perhatian seperti paket kebijakan yang sesuai. Paparan karakteristik jalur pendidikan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai dasar memahami tulisan ini adalah a) Jalur Pendidikan Formal (PF) b) Jalur Pendidikan Non Formal (PNF) dan c) Jalur Pendidikan In Formal (PIF) Hingga pergantian kabinet menyusul keruntuhan orde baru, PF masih memegang kunci dalam menetapkan arah dan acuan pendidikan nasional. Bahkan sumber daya yang digunakan untuk menjalankan kebijakan berkiblat pada pendidikan formal menjadi porsi terbesar anggaran belanja pendidikan. Selain itu, ketimpangan dapat dilihat dari jumlah bidang yang menangani pendidikan formal, dibanding dua jalur pendidikan yang lain. Sebut saja tingkatan direktorat jenderal membidangi setiap jenjang pendidikan formal; direktorat jenderal pendidikan dasar, direktorat jenderal menengah dan lanjutan, dan direktorat jenderal pendidikan tinggi. Berbeda dengan jenjang urusan jalur pendidikan non formal yang hanya ditangani cukup direktorat jenderal Pendidikan luar sekolah (sekarang PAUDNI) membawahi direktorat pendidikan usia dini, pendidikan masyarakat, dan direktorat kursus. Direktorat Pendidikan Masyarakat yang menangani pemberantasan buta aksara, kejar Paket A, kejar Paket B, dan kemudian Paket C jelas tidak seimbang dibandingkan dengan porsi ketiga direktorat jenderal pendidikan dasar, pendidikan menengah dan lanjutan pada jalur pendidikan formal. Pengelompokkan urusan dan pembagian bidang kerja yang tidak seimbang diantara dua jalur layanan pendidikan, telah menyebabkan upaya pendidikan di luar sekolah tidak menempatkan lebih dari sekedar ‘menambal’ pendidikan sekolah. Manakala pendidikan sekolah dianggap gagal, pendidikan di luar sekolah tetap tidak dapat memberikan sumbangan sebagai aktor yang berperan dalam mencerdaskan bangsa dan masyarakat. Dalam perkembangan berikutnya, meskipun dilakukan pembenahan di jalur direktorat jenderal ‘pendidikan formal’, perubahan ini belum memberikan dampak terhadap kiprah pendidikan non formal sejalan dengan pandangan sebelah mata yang diberikan terhadap pendidikan non formal. Penyelenggaraan pendidikan nasional seperti ini tidak lepas dari pandangan politik yang berlaku. Penanganan krisis multi dimensi yang tidak kunjung berkesudahan berujung pada permasalahan kapasitas dan karakteristik tingkat pendidikan milik masyarakat. Sehingga pangkal masalah berujung pada bagaimana penyelenggaraan pendidikan mampu meningkatkan ketahanan dan ketangguhan masyarakat. Suatu bangsa akan berhasil dalam pembangunannya secara ‘self propelling’ dan tumbuh maju apabila telah berhasil memenuhi minimum jumlah dan mutu (termasuk relevansi dengan pembangunan) dalam pendidikan penduduknya (Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja, 1984:79). Kegagalan dunia pendidikan yang dikuasai kebijakan jalur formal, dengan mengabaikan potensi pendidikan non formal dan informal telah meniadakan kemampuan masyarakat dalam meningkatkan kapasitas dan kecerdasan diri mereka sendiri. Pendidikan sebagai syarat penting dan komponen utama meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tidak semata dikendalikan oleh pelaku tunggal seperti pendidikan formal, namun juga harus didukung pelaku lain yaitu pendidikan non formal dan in formal. Kebijakan pendidikan bagi William R. Ewald Jr. (1968:38) An education system is a political phenomenon ... taken serious everywhere. Individuals are conviced that they need it, or at least the formal indicia of it ... means of attaining power and prosperity. Kiprah pendidikan terhadap pembangunan dan peningkatan derajat kesejahteraan masyarakat semakin mengemuka dan menyadarkan banyak praktisi pendidikan. Hal ini sejalan dengan kegagalan pendidikan formal yakni sekolah untuk bertindak menjadi pelaku utama, sekolah makin lama makin tidak mampu melaksanakan fungsi mereka sekarang (Shane,1984:20) Dalam konteks pembangunan secara umum, kesertaan masyarakat dalam proses membangun diri sendiri menjadi kriteria keberhasilan proses pembangunan. Kemandirian dan kematangan masyarakat suatu bangsa yang berakumulasi berperan penting dalam mendukung arah dan keberhasilan penyelenggaraan pembangunan. Pendidikan dasar sembilan tahun dengan titik berat pada penguasaan ketermpilan dasar (baca-tulis-hitung) dan pengetahuan dasar meliputi pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan lingkungan alam – sosial – budaya, pengetahuan tentang gizi dan pendidikan agama (Moegiadi,1992:6) masih belum memenuhi kebutuhan untuk menjadikan bangsa yang besar dan beraneka ragam suku serta budaya seperti Indonesia untuk bertahan di tengah hempasan krisis moneter disusul dampak globalisasi. Hasil proses pendidikan tidak saja sekedar mensyaratkan keterampilan, pengetahuan dan sikap minimal, bahkan mencakup the behavior and achievements as they function as citizen (Kaufman,1972:10). Dengan demikian, proses pendidikan yang mengutamakan keaksaraan dasar (baca-tulis-hitung) dapat ditransformasikan menjadi keaksaraan lanjutan dengan berbagai muatan sebagaimana isu yang menjadi perhatikan masyarakat seperti lingkungan. 1. Pendidikan Keaksaraan (Literacy) sebagai Arus Utama Hal ini secara implisit menjadi hak mendapatkan pendidikan yang secara eksplisit melekat pada anak dan orang dewasa, sebagaimana dicantumkan konvensi internasional, termasuk deklarasi PBB. Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948 yang memuat hak untuk mendapatkan pendidikan misalnya. Serta beberapa konvensi internasional lainnya, antara lain konvensi untuk melakukan tindakan sipil dan menyatakan hak politik, begitu pula dengan konvensi bidang ekonomi, sosial dan hak budaya yang disepakati tahun 1966. Semuanya menjadi sumber Deklrasi Hak Asasi PBB, termasuk di dalamnya konvensi 1979 mengenai pencegahan tindakan dikriminasi bagi wanita dan konvensi hak hidup anak 1989. Tahun 1975 menjelang deklarasi inti diterima, keaksaraan menjadi sorotan utama dibandingkan dengan hak untuk mendapatkan pendidikan itu sendiri. Tahun 1960 ditetapkan konvensi terhadap dikriminasi dalam pendidikan khususnya bagi tiap orang yang tidak dapat menyelesaikan dan mengikuti jenjang pendidikan dasar. Deklarasi Persepolis menuliskan: Keaksaraan bukan berakhir pada penguasaan, tetapi merupakan hak dasar manusia (UNESCO, 1975a). Baik Konvensi Hak Anak (CRC) dan Anti Perlakuan Dikriminasi terhadap Wanita (CEDAW), keduanya mengisyaratkan promosi keaksaraan dan pemberantasan ke-niraksara-an. Misalnya Ayat 10(e) CEDAW yang diterapkan 1981 menegaskan hak orang dewasa untuk melek huruf, dengan melibatkan berbagai elemen untuk memberikan kesempatan yang sama dalam pendidikan berkelanjutan, seperti program keaksaraan fungsional dan pendidikan orang dewasa. Sedangkan CRC menenggarai keaksaraan sebagai keterampilan pokok dimana setiap anak harus dilibatkan dan ditekankan pada kebutuhan untuk dapat mengatasi persoalan kehidupan melalui keaksaraan (UNHCR, 1989). Tujuan strategis deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing 1995 adalah memberantas buta aksara perempuan. Deklarasi Anti Dikriminasi Pendidikan (CDE) menggarisbawahi dukungan dan peningkatan metode pendidikan yang sesuai bagi setiap orang yang belum mendapat layanan pendidikan dasar bahkan mereka yang tidak dapat menyelesaikan pendidikan dasar secara lengkap serta kelangsungan pendidikan mereka sesuai kapasitas pribadi (UNESCO, 2005). CDE selanjutnya menuntut peningkatan kesempatan keaksaraan melalui pendidikan berkelanjutan. Banyak tuntutan yang mensyaratkan pembaruan hak atas keaksaraan. Resolusi 11 deklarasi Hamburg menyatakan: ‘keaksaraan, secara umum dimaknai sebagai pengetahuan dan keterampilan dasar yang dibutuhkan dalam menyikapi perubahan dunia, dan karenanya menjadi hak fundamental seseorang’ (UNESCO, 1977) Laporan konferensi meja bundar UNESCO Keaksaraan sebagai bentuk Kebebasan merekomendasikan bahwa keaksaraan merupakan kerangka dasar pendekatan dan prinsip pengembangan masyarakat (UNESCO, 2005). Berbeda dari hak keaksaraan yang diusung berbagai pertemuan dan deklarasi, pengertian hak dalam batasan pemberatasan niraksara, sebagaimana CEDAW dan deklarasi Beijing, menyatakan persamaan keaksaraan dengan pengetahuan dan ke-niraksara-an sebagai kebodohan. Keaksaraan pun sebagai bentuk hak mendapat pendidikan dipandang sebagai seperangkat keterampilan pokok pendidikan dasar atau fundamental, sebagaimana disyaratkan CDE. Sebagaimana dirintis UNESCO, pengertian ‘pendidikan fundamental’ menyiratkan kemampuan membaca, menulis dan menghitung dengan penekanan pada membaca dan menulis (UNESCO, 2005). Sementara menghitung biasanya hanya dijadikan bagian pelengkap formal saja, kata ‘keaksaraan’ sendiri umumnya membatasi diri pada keterampilan membaca dan menulis. Bagian 1 pendahuluan CRC (ayat 29), misalnya, mengemukakan bahwa ‘keterampilan dasar mencakup tidak hanya keaksaraan dan berhitung tetapi juga life skills [Keterampilan Hidup, pen.]. Dalam kaitan ini, ‘keaksaraan; masih diartikan membaca dan menulis semata. Deklarasi global pendidikan untuk semua (Jomtien, Thailand, 1990) butir 1.1. merumuskan ‘keaksaraan, komunikasi lisan, berhitung, dan pemecahan masalah menjadi bagian penting pendidikan yang memperkaya pemenuhan kebutuhan belajar mendasar setiap orang. Gagasan pokok yang menyatakan keaksaraan sebagai kemampuan membaca dan menulis bersumber pada materi pelajaran bahasa yang memungkinkan seseorang belajar menulis dan membaca. Hak mendapat kesempatan belajar bahasa sama sekali berbeda dengan kesempatan belajar yang ditawarkan melalui bahasa. Butir 27 ICCPR menyatakan lebih lanjut hak warga minoritas untuk menggunakan bahasa mereka; hal ini termasuk pengertian menggunakan bahasa minoritas mereka dalam pergaulan sehari-hari yang terbatas. Peraturan internasional mengijinkan setiap negara menggunakan bahasa resmi kenegaraan masing-masing. Begitu pula sekolah umum dapat menggunakan bahasa resmi tersebut di samping bahasa daerah setempat. Di Namibia misalnya, program keaksaraan ditempuh dalam tiga tingkatan, kelas pertama dan dua menggunakan bahasa ibu, dan kelas tiga memakai bahasa Inggris bagi pemula, sehinga warga belajar dengan kemampuan keaksaraan berbeda dapat mengikuti seluruh proses pendidikan. Kenyataan pendidikan umum hanya menggunakan bahasa resmi sebagai pengantar, hal ini bisa dikaitan dengan hakekat asasi yakni keragaman dalam pendidikan, termasuk bahasa dalam menyampaikan bahan pelajaran, termasuk jaminan kesempatan mengembangkan sekolah khusus. Perkembangan tuntutan pendidikan formal dwi-bahasa telah memberikan dampak terhadap program pemuda dan orang dewasa dalam pendidikan non formal. Banyak tulisan, termasuk persepolis dan deklarasi hamburg, mensyaratkan wawasan keaksaraan secara lebih luas dari sekedar kemampuan baca dan tulis saja. Keaksaraan juga melingkupi akses terhadap ilmu pengetahuan dan tehnik, penguasaan informasi termasuk menikmati manfaat budaya dan penggunaan media, baik itu untuk meningkatkan kemampuan diri dalam bekerja atau tidak sama sekali. Keaksaraan juga mencakup batasan pendidikan fundamental, kemajemukan life skill untuk beragam situasi; sebagai contoh, butir 22 konvensi berkenaan dengan pengungsi yang menjamin setiap pengungsi memperoleh perlakukan sama di tiap negara yang ditinggali setingkat pendidikan dasar. Selain itu, keaksaraan menjadi alat pemenuhan kebutuhan hidup sekaligus meningkatkan peran serta dalam bidang sosial, budaya, politik dan ekonomi, khususnya bagi anggota masyarakat di daerah tertinggal. Perhatian pada pengembangan pendidikan seumur hidup secara inklusif menunjukkan kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan hidup universal dan hak keaksaraan. Sebagai tambahan, peningkatan keaksaraan pun ditopang kegiatan bidang teknologi, keterlibatan masyarakat sipil dan belajar sepanjang hayat. UNESCO senantiasa menciptakan dukungan untuk penyebaran informasi, menumbuhkembangkan teknologi komunikasi untuk menjembatani dan mendayagunakan keragaman budaya dan bahasa. Program bantuan PBB (UNDP) menyatakan bahwa penguasaan pengetahuan, kesempatan mendayagunakan potensi untuk meningkatkan standar kehidupan serta berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat merupakan prasyarat mutlak pembangunan umat manusia. Pemanfaatan wahana ini, kemampuan dan beragam potensi sumber daya akan menjamin perkembangan keaksaraan. Keaksaraan dengan sendirinya sangat erat berkaitan dengan upaya pendidikan berkelanjutan atau belajar sepanjang hayat. Akhirnya, keaksaraan dapat dipandang bukan hanya sebagai suatu hal mutlak melainkan sebagai mekanisme untuk mencapai hak asasi, hanya hak asasi mendapatkan pendidikan sebagai satu-satunya alat memerangi keniraksaraan. Oleh karena itu keaksaraan harus didukung sebagai mainstream pendidikan melengkapi kecakapan hidup dan gender yang telah ditetapak lebih awal. 2. Keaksaraan (keaksaraan) sebagai energi pemberdayaan Latar belakang keaksaraan dipandang sebagai hak digambarkan oleh manfaat yang bisa dirasakan oleh pribadi, keluarga, masyarakat dan negara. Apalagi, jelas dalam kehidupan masyarakat modern, ‘kemampuan keaksaraan sangat dibutuhkan untuk menentukan pengambilan keputusan, pengembangan pribadi, keterlibatan aktif dan pasif baik di tingkat lokal maupun masyarakat global. Manfaat keaksaraan dapat dirasakan sejalan dengan perluasan hak dan pengembangan di berbagai tempat dan pelaksanaan secara efektif. Manfaat pribadi, misalnya, diujudkan melalui media tertulis yang dapat ditemukan di kelompok masyarakat modern, dan manfaat ekonomi secara luas dapat diujudkan melalui kerangka makroekonomi, investasi bidang prasarana dan berbagai kebijakan pembangunan yang relevan. Dengan kata lain, berbagai keuntungan, seperti halnya pemberdayaan perempuan, dan penanggulangan masalah lingkungan akan menampakkan hasilnya jika disertai dukungan lingkungan sosial budaya yang kondusif. Di lain pihak, pengaruh buruk keaksaraan dapat berkembang bergantung pada pemanfaatan keaksaraan dibanding hakikat keaksaraan itu sendiri – manfaat positif pun sepenuhnya bergantung pada media bagaimana keaksaraan dibutuhkan dan dilakukan. Beberapa diantaranya dapat cukup mengesankan. Misalnya, tuntutan keaksaraan dalam bahasa tulisan menyebabkan dibatasinya bahasa lisan. Program keaksaraan dan media tertulis lainnya dapat menjadi wahana agar setiap orang terlibat tanpa ragu dalam percaturan sistem pandangan politik tertentu. Beberapa pertimbangan tersendiri diperlukan dalam mengkaji beberapa butir laporan di bawah ini. Secara sistematis, bukti manfaat keaksaraan untuk alasan tertentu tidak dapat dengan gampang ditampilkan. Kebanyakan penelitian keaksaraan menyatukannya dengan kegiatan belajar di sekolah dan kegiatan keaksaraan orang dewasa. Pada umumnya, ditemukan ‘kecenderungan untuk menyama-ratakan pengertian sekolah, pendidikan, keaksaraan dan pengetahuan. Kurang sekali penelitian yang ditujukan kepada program keaksaraan orang dewasa (sebagai padanan pendidikan formal) termasuk kajian yang memperhatikan masalah wanita. Sehingga muncul kesan keaksaraan orang dewasa dianggap tidak penting dibandingkan dengan hal yang sama bagi anak-anak di pendidikan formal. Penelitian juga banyak dilakukan terhadap pengaruh keaksaraan secara perorangan: jarang dijumpai penelitian yang mengkaji dampak keaksaraan untuk keluarga, masyarakat, bangsa dan kancah international. Beberapa kasus manfaat keaksaraan, misalnya bagi kebudayaan, masih sulit untuk dilakukan pengukurannya. Keaksaraan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan masih belum konsisten dan data yang dianggap berkaitan masih dirasakan mengambang. Manfaat pendidikan secara umum yang pada saat sama menggarisbawahi manfaat keaksaraan bagi orang dewasa. Keterbatasan bukti pendukung hasil belajar pengetahuan program keaksaraan orang dewasa menjadikan hasil belajar pendidikan ‘sekolah’ kerap dijadikan acuan. Kemampuan kognisi yang dapat diukur memang telah digunakan atau setidaknya dilakukan pengukuran berapa lama suatu pengaruh program masih bisa dirasakan. Hasil dari kedua pengukuran tersebut merupakan prioritas utama penelitian keaksaraan selama ini. Perlu dijadikan catatan pula, program keaksaraan dewasa kini dapat menciptakan lebih banyak hasil bermuatan khusus, katakan saja penumbuhan kesadaran politik, pemberdayaan, refleksi kritis dan gerakan massa yang tidak bisa dikelompokkan sebagai proses pendidikan ‘sekolah’ formal. Dalam hal ini, jelas keuntungan dalam mengikuti program keaksaraan orang dewasa meliputi proses menimba pengalaman positif dan keterlibatan dalam ruang kelompok masyarakat keaksaraan5. Hal yang kurang mendapat porsi perhatian adalah manfaat pada dimensi pengembangan kapasitas diri, termasuk keterlibatan sosial, kesertaan sosial dan manfaat sosial lainnya. Sehingga tanpa diragukan lagi dapat diakui seandainya manfaat keaksaraan mencakup diri pribadi, politik, budaya, sosial dan ekonomi, termasuk lingkungan. Dua penelitian menyatakan bahwa manfaat keaksaraan terhadap pertumbuhan ekonomi bergantung pada tahapan pencapaian derajat keaksaraan. Azariadis dan Drazen (IBRD,2000) menemukan pengaruh ‘berangkai’: negara-negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang menyakinkan sebagai dampak kebijakan alih teknologi, berhasil mencapai angka keaksaraan lebih awal sekurang-kurangnya 40 %, sebagai temuan umum penelitian modernisasi perekonomian era tahun 60-an. Sachs dan Warner (IBRD,2000) memperlihatkan secara statistik hubungan kurva S pengaruh maksimum dimana derajat keaksaraan mencapai tingkat tertinggi maupun sebaliknya. Hasilnya, perubahan di tingkat tertinggi dan terendah sama sekali tidak memberikan dampak pertumbuhan ekonomi, sedangkan pada tingkat rata-rata memberikan dampak berarti di sejumlah negara berkembang. Sekalipun terdapat bukti keterkaitan keaksaraan dan pertumbuhan ekonomi, mekanisme keduanya belum bisa dijelaskan lebih lanjut. Belakangan sumbangan pendidikan terhadap efisiensi ekonomi justeru terletak pada hal mendasar selama proses pertumbuhan itu berlangsung, dimana teknologi baru dan tenaga ahli yang dihasilkan proses pendidikan saling bersinggungan. Mereka yang memiliki kesempatan banyak memperoleh pengetahuan, adalah mereka yang dapat menimba keuntungan ekonomi lebih banyak. Dengan demikian, derajat rerata keaksaraan suatu populasi merupakan indikator sesungguhnya pertumbuhan bukan dengan melihat persentase populasi dengan derajat keaksaraan paling tinggi. Dengan kata lain, sebuah negara yang menonjolkan upaya penguatan kemampuan keaksaraan masyarakatnya akan berhasil guna dalam menumbuhkan ekonomi dan kesejahteraan dibanding dengan mengatasi kesenjangan antara kelompok berkemampuan aksara tinggi dengan kelompok yang memiliki kemampuan rendah. 3. Nilai Tambah Investasi Keaksaraan (Literacy) Sampai hari ini masih jadi bahan perdebatan, berapa besar keuntungan bisa diperoleh dari pembiayaan pendidikan dasar bagi orang dewasa dibandingkan dengan pembiayaan sekolah formal. Di beberapa negara, biaya pendidikan dasar bagi orang dewasa setahun dianggarkan sebesar pengeluaran pendidikan dasar kelas 3 dan 4 (UNESCO, 2006) Dengan begitu, melihat biaya relatif yang dikeluarkan, pendidikan dasar bagi dewasa sangat efektif. Hal ini, jika dibandingkan dengan tingkat pencapaian pengetahuan program keaksaraan dibandingkan dengan hasil pengetahuan yang diperoleh murid kelas 4 (UNESCO, 2000) Telaah terhadap empat proyek keaksaraan di tiga negara (Bangladesh, Ghana dan Senegal) antara 1997 dan 2002 menyebutkan biaya per warga belajar hingga menyelesaikan program mencapai kisaran 13 % sampai 33 % biaya yang dikeluarkan seorang murid kelas empat sekolah dasar. Dalam kenyataan, masih dijumpai murid sekolah yang menyelesaikan pendidikan dasar keaksaraan lebih dari empat tahun, sehingga anggaran bisa bertambah. Hal yang patut dicatat, kenyataan tersebut hampir sama dibandingkan dengan biaya relatif yang diusulkan tiga puluh tahun lalu selama dicanangkan ‘Experimental World Literacy Programme’ (UNESCO, 2000) di tujuh dari delapan negara yang diujicoba, keaksaraan lebih ringan di ongkos dilihat dari warga belajar dewasa yang berhasil menyelesaikan program dengan penghematan berkisar 85 % hingga 2 %; sedangkan di satu negara yang diujicoba pendidikan dasar sekolah justeru lebih murah. Perbandingan keuntungan relatif biaya pendidikan dasar dengan pendidikan lain sering menjadi topik hangat belakangan ini. Bahkan sering keuntungan atas biaya pendidikan sering dimunculkan lebih besar. Tidak sedikit pula, kajian yang menunjukkan pendidikan terhadap tingkat penghasilan seseorang tidak diragukan berdampak positif dan berpengaruh besar dibandingkan dengan komponen lain. Satu proyek yang jarang dilakukan untuk mengukur hasil program keaksaraan dewasa telah didanai Bank Dunia di tiga negara. Program keaksaraan fungsional di Ghana tahun 1999 menemukan besaran manfaat 43 % bagi wanita, 24% dirasakan laki-laki, manfaat sosial masing-masing mencapai 18% dan 14%; keuntungan diukur dari pencaharian yang berbeda. Sedangkan progam serupa di Indonesia, memberi keuntungan sekitar 25% dibandingkan pendidikan dasar di sekolah 22%, kasusnya diukur berdasarkan tingkat pendapatan perorangan dibandingkan dengan ongkos pendidikan yang dikeluarkan. Program di Bangladesh menyebutkan rata-rata keuntungan mencapai 37%. Meski demikian, perkiraan semua ini memerlukan konfirmasi lanjutan, pertama, investasi selamanya bersifat produktif, kedua, materi apa yang diperoleh msayarakat tidak mampu dari program keaksaraan yang membantu mereka memperoleh penghasilan dan beranjak dari kemiskinan. Kajian lebih dalam dimunculkan dari kajian mengenai dampak kesertaan program keaksaraan dewasa terhadap pengeluaran rumah tangga di Ghana. Tidak ada perbedaan bagi keluarga yang salah seorang anggotanya ikut kegiatan keaksaraan maupun pendidikan formal. Justeru, keluarga yang tidak satu pun berpendidikan formal, perbedaan sangat dirasakan mencolok: mereka yang memiliki anggota keluarga mengikuti program keaksaraan membelanjakan 57% dibanding mereka yang tidak memiliki anggota sebgai peserta program, dengan memperhatikan semua variabel yang berkaitan (IBRD,2000). Di Ghana secara umum, hanya keluarga yang berpendidikan yang memerlukan peningkatan pendapatan (UNESCO,2006) Bukti yang ditemukan lebih lanjut memperlihatkan, bahwa manfaat pengeluaran program keaksaraan dewasa umumnya dapat dibandingkan satu sama lain, termasuk diantaranya dengan pengeluaran dalam pendidikan dasar. Dalam kenyataan sehari-hari, ‘opportunity cost’ seorang anak belajar di sekolah lebih rendah dibandingkan dengan seorang dewasa mengikuti program keaksaraan. Yang pasti, keuntungan belajar keaksaraan akan sangat dirasakan oleh orang dewasa yang masih dan terus bekerja. *) ditulis ulang berdasarkan tulisan yang sama di: http://www.facebook.com/notes/hardy-numulus-yangyatao/keaksaraan-sebagai-falsafah-pendidikan/125370195617




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline