Lihat ke Halaman Asli

Hardy Yang Ya Tao (扬 亚 涛)

Independent Researcher

Jadi PNS (2); Mau Apalagi?

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam pertemuan terpisah, tanpa bermaksud mewakili ‘curhat’ seseorang yang memilih pengabdian sebagai PNS. Di tengah perhatian atas belanja pegawai yang meningkat apalagi direncanakan naik sepuluh persen tahun 2012, seorang teman memilih tetap loyal menjadi PNS meski selama sepuluh tahun terakhir ini, seperlima masa kerja dihabiskan di luar negeri.

Penugasan pertama di negeri Cina dilalui dengan tidak gampang, sekalipun kesempatan ini diperoleh atas kemurahan pemerintah Cina tahun 2004 yang sedang menjalankan politik pintu terbuka dengan pertama-tama merangkul sejumlah negara di kawasan ASEAN.

Seperti di lempar ke daerah asing, untuk beradaptasi dengan makanan setempat perlu waktu hingga tiga bulan. Penduduk tempat tinggal tempat saya ini seperti kebanyakan masyarakat Cina setiap hari makan mi. Mi ini tidak sama dengan mi di Indonesia, bahkan berbeda jauh dari mi yang dijajakan penjual bakso keliling. Selain bentuk mi berbeda, kontur mi di Cinalebih kenyal dan porsi mangkok yang lebih besar. Saat pertama kali menikmati mi ini, teman saya tak habis pikir bagaimana cara menghabiskan porsi mangkok porselin berukuran diameter dua puluh sentimeter, dan tinggi mangkok sekitar sepupuh sentimeter. Perut teman saya, selama tiga bulan pertama merasakan sulit buang air karena asupan karbohidrat dari nasi yang lebih berat digantikan oleh mie.

Selama di Cina memang memperoleh uang saku sebesar jatah sosial penduduk Cina. Seperti di negara maju, Cina memberikan jaminan sosial bagi penduduknya yang tidak/belum bekerja sebesar RMC 1,500 per bulan. Setelah dikurangi biaya pemondokan listrik dan air sebesar RMC 900 per bulan, maka keperluan hidup ditopang oleh sisa sebesar RMC 600 untuk membeli sabun cuci/mandi, gula, transportasi harian, termasuk makan selama hampir dua tahun. Sekalipun mendapat gaji utuh, namun tidak bisa digunakan karena fasilitas gaji tidak dibayarkan melalui Bank, apalagi Bank berjaringan internasional sampai ke Cina. Sehingga sisa jatah hidup bulanan harus benar-benar dihemat, manakala sakit fasilitas jaminan kesehatan ASKES sama sekali tidak berlaku dan musim dingin perlu baju penghangat yang harus dibeli baru.

Mengingat diutus sebagai pegawai pemerintah, dalam satu kesempatan teman saya ini harus menampilkan citra sebagai wakil negara, sementara persiapan saat awal tidak diperhitungkan untuk membawa lambang Negara seperti bendera, alhasil dalam kondisi terdesak, bendera merah putih diperoleh dengan menjahit bahan kain berwarna merah dan putih yang diperoleh di pasar setempat. Sehingga hasil jahitan menyerupai bendera kebangsaan. Untuk meminta dan menunggu bendera kiriman dari tanah air jelas tidak mungkin dalam tempos yang kurang dari satuminggu.

Penugasan kedua adalah di Thailand untuk bekerja di badan dunia yang memiliki cabang di Bangkok. Keberangkatan ini pun dengan bekal seadanya, padahal sekali lagi mewakili dan membangun nama besar bangsa dan negara. Sehingga konsekuensinya, tidak dapat mengambil tempat akomodasi ala ‘backpaker’. Seperti juga di Cina, ASKES dan gaji tidak dapat diakses sama sekali, sehingga untuk sakit pun menjadi haram apabila bisa hidup bersosialisasi secara optimal seperti mengundang teman sebangsa/setanah air, sekalipun mereka mahasiswa. Sehingga untuk bersosialisasi seperti makan malam bersama harus sangat selektif, jika sebelumnya dapat menghemat anggaran belanja harian.

Selama penugasan kedua, teman saya ini harus menjaga gengsi sebagai aparatur karena menempel nama baik bangsa dan negara. Di lembaga dunia itupun, apabila unit bagiannya hendak menghubungi ‘counterpart’ di tanah air, kerap teman saya ini menjadi petugas penghubung untuk komunikasi. Banyak ekspert dan pegawai lembaga dunia ini kesulitan menghubungi ‘cuonterpart’nya yang kebetulan pegawai negeri juga. Hal ini, akibat email belum menjadi hal biasa dalam berkomunikasi di antara pegawai negeri di tanah air, selain akses internet yang belum menjadi fasilitas standar kantor. Sebagai petugas penghubung, tentu saja menuntut kompensasi tambahan pribadi berupa biaya pulsa handphone sekalipun menghubungi nomor Indonesia. Karena untuk mneghubungi menggunakan nomor Thailand seringkali tidak mendapat jawaban atau bahkan tidak pernah diangkat. Panggilan dari luar negeri seringkali diterima tanpa ID yang jelas, sehingga kerap dilewatkan oleh pegawai negeri yang dihubungi melalui handphone.

Teman saya ini sampai akhir penugasan kedua bahakn hingga sekarang, boleh dibilang menyimpan kegalauan dan keprihatinan atas unjuk kinerja rekan-rekan kerja sebagai PNS, sementara keinginan awal untuk mengabdi dan memberikan warna terhadap peningkatan kinerja sesuai pengalaman kerja masih tersimpan di lubuk hati. Selain aturan kerja, mekanisme formal yang berkaitan dengan Human Resources Management, PNS pun harus bersabar menunggu perbaikan dan penyesuaian kesadaran/paradigma atas kenyataan pegawai pemerintah secara historis, politis, ekonomis, dan sosial termasuk menerapkan fungsi Human Resources Management secara umum danOrganizational Development secara khusus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline