Lihat ke Halaman Asli

Hardy Yang Ya Tao (扬 亚 涛)

Independent Researcher

Kuda Sudah Mabuk, Tuan!

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

It is possible to take the horses to the river, however it is not possible to make them drink

Membuka situs jejaring sosial, kalimat di atas yang dilontarkan seorang teman cukup memancing saya untuk menyambangi kembali kompasiana. Padahal seminggu terakhir ini cetusan ide berbanding terbalik dengan kemauan nulis, sampai membaca status teman yang tengah mengikuti pertemuan APEC 12 - 26 September 2011 di San Fransisco, Amerika.

Teman di jejaring sosial ini memang belum sempat bertatap muka langsung, namun kapasitas dan jabatan yang dipegang sekarang di lembaga pemerintahan membuat saya tidak ragu dalam memahami persoalan pembangunan di era otonomi daerah. Kebetulan pula, saya memiliki minat pula mengkaji bidang pembangunan. Jam terbang saya dalam mengkaji persoalan pembangunan tidak dapat menandingi teman jejaring, oleh karena itu maaf jika tanggapan ini pun kurang akademis dan lebih didasarkan pada cetusan seorang yang tengah mencoba memahami realita masyarakat.

[caption id="attachment_136759" align="alignright" width="300" caption="Kuda tidak lagi haus (www.dimesion31.com)"][/caption] Kalimat di atas oleh teman saya dimaksudkan kurang lebih: “mudah saja untuk melaksanakan program2 reformasi (mis reformasi birokrasi, dll), tapi tidaklah mudah supaya masyarakat menerimanya. Status tersebut saya tanggapi: “berarti kuda, air/sungai dan haus merupakan simbol ya Kang?”. Kemudian teman saya menjawab: “betul sekali gan. Diperlukan strategi yg jitu supaya kudanya haus”. Rasa penasaran untuk mengomentari lebih lanjut dan menemani teman saya yang berbeda waktu selang dua belas jam ini urung dilakukan. Hal ini khawatir mengganggu kegiatan beliau yang sedang menjalankan tugas negara. Sehingga rasa penasaran saya tumpahkan dalam tulisan ini.

Apabila benar dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang tengah bergolak akhir-akhir ini dan kemudian di-logika-kan dengan kalimat teman saya di atas, maka terdapat empat komponen utama yaitu kuda, air/sungai, rasa haus, dan tentu saja penunggang/penggembala kuda itu sendiri. Pemahaman saya atas logika ini, mengartikan kuda sebagai gambaran masyarakat, air/sungai melambangkan perubahan termasuk program reformasi, rasa haus adalah keinginan untuk berubah dan penunggang/penggembala kuda itu sebagai pemerintah. Di sini letak masalah yang ingin mendapat penjelasan lebih lanjut dari teman saya, namun tidak tahu apakah akan menjawabnya atau tidak punya kesempatan karena kesibukan beliau.

Seandainya, masyarakat sekarang digambarkan sebagai kuda yang dibiarkan haus agar mau dikendalikan masuk ke sungai, pemikiran seperti ini sah saja. Begitu pula ‘rasa haus’ yang muncul sesuai keinginan pemerintah, saya pun tidak keberatan. Namun perlu mendapat perhatian dan disadari oleh penunggang/penggembala, ternyata keadaan kuda sekarang tidak semata ‘haus’ setelah selama sepuluh tahun digembalakan di lapangan reformasi.

Memperhatikan ‘celoteh’ dan tulisan kompasianer mulai dari kasus korupsi, pengadilan iPad, hingga kinerja dunia pendidikan di tanah air terakhir. Saya melihat kuda ternyata tidak ‘haus’ melainkan sudah ‘mabuk’ persis seperti juga kuda yang dihela terus oleh sais untuk menarik delman meski tanda kelelahan dan buih air liur mengalir dari mulut kuda dan menetes satu demi satu mengiringi langkah gontai dan nafas yang terengah-engah, sedangkan beban yang ditarik tidak kunjung dikurangi.

Tidak tahu sampai kapan kuda ini dapat menikmati waktu istirahat meskipun tidak mesti mendapat jatah rumput hijau atau dedak karena memang dipaksa mencapai sungai untuk minum, padahal sama sekali ‘tidak haus’. Saat dikendalikan pun, kuda sudah kebal dari rasa sakit akibat cambuk yang mendera sekian lama, sehingga menuju sungai mungkin mencari kenyamanan sekedar ‘mendinginkan’ rasa panas akibat cambukan cemeti. Saya berharap masih ada cerita Dalem Boncel menjadi bacaan bagi para penunggang/penggembala kuda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline