Dalam menapaki jalan hidup, setiap orang tidak berkeinginan melalui lembah nestapa dan sengsara penuh dengan keprihatinan. Namun, jika harus hidup menderita selama bertahun-tahun dan bangkit kembali menapaki kehidupan, maka tidak semua orang dapat melakukan dengan keyakinan bahwa suatu saat hidup akan berubah lebih baik.
[caption id="attachment_136411" align="alignleft" width="300" caption="Santi tersenyum getir di antara dua model pengantin (dok. pribadi)"][/caption] Salah satu orang yang ditemui siang ini membuat saya sangat terharu, apalagi cerita yang dituturkan selama kurang dari sepuluh menit itu diiringi linangan air mata dan sedu sedan. Nada suara penutur cerita disertai sedu sedan pada bagian sepertiga cerita perubahan hidup selama sepuluh tahun terakhir. Penutur cerita ini adalah Santi (bukan nama asli) seorang ibu beranak tiga dan merupakan istri seorang tentara.
Di hadapan kamera, Santi menuturkan alasan mengikuti kursus tata rias pengantin di salah satu kota di Jawa Barat. Keikutsertaan dalam kursus, pertama kali muncul setelah pemilik lembaga kursus dan pelatihan (LKP) menawarkan kesempatan memperoleh pelatihan tata rias pengantin. Tawaran yang bukan diberikan satu kali ini, pada saat awal ragu-ragu diterima.
Keraguan menerima tawaran mengikuti kursus muncul karena rasa kurang percaya diri dan tidak yakin mampu memenuhi harapan merubah kehidupan. Selama lima tahun menderita sakit kronis yang telah menghabiskan ‘kekayaan’ seorang prajurit dan tentu saja hutang yang menumpuk, membutuhkan kemauan dan upaya ekstra untuk bangkit. Pemilik kursus meyakinkan dan berulang kali menawarkan pilihan untuk menjadi peserta pelatihan tata rias pengantin.
Santi sendiri dengan keadaan kesehatan fisik dan psikis yang rentan akibat sakit selama lima tahun dan baru sembuh akhir tahun 2008, memang perlu motivasi kuat dari dalam untuk bangkit. Apalagi kekayaan seorang prajurit tidak dapat banyak diharapkan - sudah untung - dapat menopang kebutuhan keluarga sejak awal tahun 2003. Sehingga tawaran pemilik kursus pun belum dianggap obat penawar kepahitan hidup.
Keterbukaan untuk menerima tawaran mengikuti kursus tata rias pengantin dengan enggan diterima dan kegaitan kursus diikuti perlahan namun pasti hingga menyelesaikan semua tahapan dan menyelesaikan ujian baik teori dan praktek. Ternyata diperlukan waktu tidak lama untuk menyelesaikan seluruh proses pembelajaran teori dan praktek. Bahkan kurang dari tiga bulan sejak menyelesaikan kursus, Santi sudah dapat mempraktekkan kemampuan sebagai penata rias pengantin dengan penuh percaya diri. Keyakinan ini tidak dibayangkan oleh Santi ketika pertama kali menapakkan kaki memasuki ruang belajar mengikuti pelatihan tata rias pengantin.
Air mata yang menggelayut di kelopak mata akhirnya meluncur membasahi pipi, sekalipun kepala didongakkan ke atas, manakala Santi menceritakan kembali ‘sentuhan awal’ sebelum mengikuti kursus dan menerawang kesengsaraan akibat sakit dan ekonomi keluarga yang carut marut. Oleh kamera jelas ditangkap nada suara yang berat dan sekali-kali disertai senggukkan menunjukkan betapa berat penderitaan hidup yang dialami Santi, seakan tidak mungkin bangkit.
Masih dengan sedu sedan, setelah tiga tahun lulus dari kursus dan memiliki ketrampilan sebagai penata rias pengantin. Santi sekarang mengaku merasa jauh lebih baik terutama dalam membantu perekonomian keluarga sebagai istri seorang prajurit sekaligus memenuhi kebutuhan hidup tiga orang anak kandung. Setiap bulan rata-rata Santi mengantongi penghasilan sebesar sembilan ratus ribu di luar tambahan tip sebagai bentuk penghargaan dan kepuasan pelanggannya. Dari penuturan pemilik kursus, Santi sekarang dengan kerudung didominasi warna pink dan kebaya muslim oranye telah berpenampilan dan memiliki kesehatan yang berubah seratus delapan puluh derajat dibandingkan tiga tahun lalu.
[caption id="attachment_136409" align="alignright" width="300" caption="Senyum Bangga Santi (dok. Pribadi)"][/caption] Aliran air mata di pipi masih meninggalkan bekas di atas wajah dengan make up sederhana yang juga hampir disapu keringat di dalam ruang sebuah LKP. Sebagai almamater tempat menimba keterampilan sebelum menjadi penata rias pengantin, LKP yang terletak berseberangan dengan mega shopping and culinary arcadetidak akan dilupakandan untuk kesekian kali Santi datang kembali bukan sekedar bernostalgia namun juga mensyukuri nikmat dan karunia hidup yang telah berubah. Seperti hendak berbagi bahagia, Santi berpesan bahwa ikut kursus memang ‘ruar biasa’.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H